Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Walk on Memories

Setelah sarapan, Chanyeon membawakan beberapa lagu dengan iringan gitar. Tapi bukan perkara permainan musik dan suara yang setelahnya Chanyeon tanyakan, melainkan perkara rasa masakan.

"Lumayan." Satu kata itu yang keluar dari mulut Diana secara mulus setelah ditanya rasa masakan Chanyeon.

Setelahnya, Diana malah membahas permainan piano Chanyeon saat membawakan lagu Love Me milik Yiruma di saat dulu, beberapa hari setelah Chanyeon pulih sempurna dari amnesia.

"Kau mau kumainkan piano lagi, Anna?" tanya Chanyeon dengan gitar yang masih di pangkuannya.

Diana yang duduk di bean bag samping Chanyeon mengangguk.

"Rahma, permainan piano Oppa juga bagus tahu," omong Diana ke Rahma yang duduk di bean bag samping Chanyeon sebelah sana.

"Oh, iya?" sahut Rahma yang habis menyuput teh panas. Kedua manik mata kelamnya berbinar cerah.

Diana mengangguk antusias.

"Sayangnya di sini tidak ada piano, Anna," keluh Chanyeon. Meletakkan gitar akustik ke lantai, menyandarkannya ke dinding.

"Tidak apa. Lain waktu saja," sahut Diana.

Chanyeon tersenyum tipis. "Maaf."

"Ya! Kenapa harus minta maaf," cicit Diana. Ia mendengkus.

Tidak seperti biasanya jika Diana mendengkus, Chanyeon akan tertawa, lelaki oriental ini malah menggigit bibir bawahnya.

"Anna," sebutnya dengan nada cukup rendah.

"Hmm?"

"Aku harus mengatakannya sekarang," ungkap Chanyeon.

Diana pun mengangguk. Meminta Rahma dengan hati-hati untuk meninggalkan mereka berdua di ruang keluarga vila ini.

Tak berselang lama, Rahma pun berpamit. Menyisakan mereka berdua dengan keheningan yang tetiba menyelusup.

Diana menunduk untuk menunggu Chanyeon membuka cakap. Jantungnya berdebar kencang.

Chanyeon tampak merogoh saku hoodie biru tua-nya. Ia mengambil sesuatu di sana.

"Anna," panggil Chanyeon dengan sebelah tangan menggenggam sesuatu itu.

Mendengar nada bass itu, Diana merotasikan wajah ke sumber suara. Chanyeon mengulurkan sesuatu padanya. Itu lolos membuatnya mengernyit sebab ia belum bisa melihat sesuatu dalam genggaman tangan kekar itu.

"Ya! Ulurkan tanganmu!" Chanyeon mulai menyuruh.

"Apa itu? Jangan-jangan ulat bulu," cicit Diana. Wajahnya masih curiga, sungkan untuk menerima apa itu di sana yang belum jelas perkara benda apa.

Melihat muka muram Diana ini membuat Chanyeon tersenyum lebar.

"Kenapa kau berpikiran seperti bocah, ha?" decak Chanyeon, "Tidak mungkinlah aku menaruh ulat bulu di sakuku."

Wajah muram Diana perlahan pudar.

"Cepat ulurkan tanganmu!" Chanyeon mulai memerintah lagi.

Perlahan, Diana mengulurkan sebelah tangannya. Seutus senyum singgah di bibir Chanyeon karena ini. Lalu si kembaran Dobby ini menaruh sesuatu itu di uluran tangan Diana yang mengadah ini.

Sesuatu itu ... kisaran 10 permen rasa mangga.

Sepasang netra kelam Diana membulat mendapat apa sesuatu itu. Permen rasa mangga kesukaannya saat di Seoul, dulu.

"Gomawo," ucap Diana. Menarik uluran tangannya yang terisi permen. Membuka satu bungkus permen mangga kesukaannya ini. Melahapnya.

"Kau menyukainya 'kan?" tanya Chanyeon di sela Diana mengemut permen di mulut.

Diana mengangguk pelan.

Chanyeon mengurvakan bibir hingga lekuk kecil di pipinya tampak.

Suasana kembali lengang. Entah kenapa, mereka berdua mendadak menjadi canggung. Ini sangat tidak nyaman.

Diana menunduk lagi sembari mengemut permen. Pikirannya masih saja semrawutan menerka-nerka jawaban apa yang nanti Chanyeon berikan padanya.

Chanyeon sendiri, lelaki jangkung ini berkali-kali hendak menyebut "Anna", tetapi kerap tertahan. Berakhir mendesah dalam senyap, meringis.

"Anna." Akhirnya ia kuasa menyebut satu nama ini.

Wajah Diana mengatensi ke arah Chanyeon. Permen mangga di mulutnya sudah habis diemut.

"Anna, aku ...."

***

Ayo, kita menikah, Anna.

Maukah kau menikah denganku, Anna?

Ungkapan sejenis itulah yang selama ini diilusikan Diana dari Chanyeon di akhir kisah. Dengan iringan pandangan semringah di wajah oriental itu. Lalu menular aura semringahnya pada Diana seraya mengangguk pelan dengan malu-malu, kedua pipi memanas.

Namun, nyatanya semua itu hanya sekedar ilusi.

"Aku ... Maafkan aku, Anna. Aku tidak bisa memetik bunga mawar mekar di taman ibumu ...." Suara dalam Chanyeon ini dipenuhi nada rikuh. Tidak ada wajah semringah di sana. Aura mukanya keruh. Ada keputusasaan di bola mata kelamnya.

Jantung Diana yang semula berdebar cepat, mendadak terasa berhenti berdetak sejemang, dan ketika berdetak lagi, rasa ngilu menyakitinya. Tidak ada aura semringah Chanyeon yang menularinya. Tidak ada debaran kencang yang membuatnya merasa melayang hingga ke nirwana. Tidak ada semu malu di wajah ayunya. Pun tidak ada pipi yang memanas yang terasa.

Sungguh tidak ada perasaan-perasaan itu yang didambakan Diana selama rute membiarkan Chanyeon mengupayakannya. Sungguh tidak ada. Adanya, aura keruh yang Chanyeon tularkan, jantung berdetak menyakitkan, perasaannya remuk layaknya habis jatuh ke dasar jurang, tatapan matanya berubah menyirat putus asa layaknya Chanyeon, dan kedua pipinya bahkan terasa beku.

"Maaf, Anna. Aku tidak bisa menikah denganmu. Aku sudah berupaya sedemikian, tetapi aku tetap tidak bisa ...."

Diana masih bergeming. Ia menunduk perlahan. Menyembunyikan wajah yang mulai kehilangan binar cerahnya.

"Aku juga mencoba untuk menuruti egoku untuk bisa bersamamu, berakhir memilih segaris iman denganmu, tetapi saat sebelum tidur di setiap malam ... aku berulang-ulang bertanya pada diriku sendiri; 'apakah ini yang harus kuputuskan?' 'apakah ini yang kuyakini dan bisa membuat hidupku tenang?' 'apakah ini jalan terbaik untukku?' pada akhirnya aku tak menemukan apa pun selain jawaban 'tidak', Anna. Bahkan di detik terakhir saat sarapan bersamamu, aku juga bertanya seperti itu lagi pada diriku dan jawabannya tetap sama, tidak ...."

"... Maafkan aku, Anna. Aku sungguh minta maaf. Bahkan egoku juga pernah kurang ajar sekali berpikiran untuk tinggal membujukmu masuk ke agamaku, gantian kau yang mengupayakanku, tetapi segera kusangkal semua pikiran buruk itu. Aku tahu ... kau jelaslah akan menolaknya dengan sedemikian karena kau begitu percaya pada agamamu. Pun sama. Aku terlalu percaya pada agamaku. Karena itulah ... aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita ini. Maaf, aku sungguh minta maaf, Anna. Waktumu banyak terbuang sia-sia karenaku. Aku telah memberimu harapan palsu."

Diana masih bergeming. Perasaannya hancur berantakan. Sebelah tangannya menggenggam erat permen-permen mangga.

"Tidak, Oppa. Kau tak memberikanku harapan palsu. Dari awal aku sudah bisa menduga jika kemungkinan inilah yang terjadi. Kamu tetap percaya pada Tuhan-mu dan aku juga tetap percaya pada Tuhanku. Maka hal terbaiknya adalah saling melepaskan agar tidak ada ketimpangan lagi. Memang, aku sempat berharap jika penyatuanlah yang ditakdirkan di akhir kisah, tetapi pada akhirnya yang terbaik untuk kita adalah perpisahan. Tidak apa. Jangan merasa bersalah padaku .... "

Aneh. Perkataan itulah yang tetiba mengalir deras dari mulut Diana setelah memberanikan diri menatap Chanyeon kembali. Diana keheranan sendiri setelah sadar perkara apa yang dirinya barusan ucapkan. Telah membuat benteng pertahanan dengan pura-pura baik-baik saja.

"Tetapi tetap saja aku merasa sangat bersalah padamu, Anna. Waktumu banyak terbuang sia-sia karenaku, padahal ka--"

"Tidak ada yang sia-sia, Oppa," interupsi Diana. Himpunan kata lain siap ia keluarkan di sekon kemudian.

Chanyeon mengatupkan bibirnya.

"Aku tak pernah merasa sia-sia selagi berakhir pemahaman baik yang aku dapatkan. Dan ya, pada akhirnya pemahaman baik ini aku dapatkan juga bahwa akhirnya kau memilih melepaskanku dalam kisah yang seperti mau dimulai. Aku sangat menghargai keputusanmu. Karena bisa jadi ... kalau kau pada akhirnya menuruti egomu untuk tetap bisa bersamaku dengan kebimbangan yang ada, di masa depan kau bisa saja meninggalkanku layaknya ayahku, mencederaiku dengan patahan yang lebih besar dibanding sekarang. Dan ya, pemahaman baik itu akhirnya datang, bukan? Bahwa cinta pada Tuhanlah yang tetap menjadi prioritas utama kita hidup di dunia ini, sekalipun ada banyak sesuatu yang juga kita cintai selain-Nya?"

Terhenyak. Chanyeon membenarkan penjelasan Diana. Mengangguk perlahan.

"Maaf, Anna ...."

Diana menenggak salivanya. Ia paham sekali bahwa Chanyeon tak enak hati padanya kini.

"Aku memang kecewa sekarang, tetapi kecewaku lebih mengarah ke diriku sendiri yang telah berharap berlebihan, bukan kecewa kepadamu. Lain halnya jika kau memutuskan bersamaku kini, tetapi meninggalkanku di masa depan, maka jelas aku kecewa padamu, bahkan mungkin aku berakhir membencimu layaknya Mama. Namun sekarang tidak, aku tidak membencimu sedikitpun, jadi jangan pernah merasa bersalah padaku, kau telah melakukan hal yang seharusnya kau lakukan, aku sangat menghargai semua ini." Diana menutupnya dengan senyuman singkat.

Hati Chanyeon bertambah perih melihat senyuman Diana. Sebuah senyuman penerimaan atas rasa sakit hati yang membara.

"Anna ...," sebutnya.

"Oppa, bukankah di dunia ini, ada sesuatu yang sehebat apa pun kita mengusahakannya, tetap saja sesuatu itu tak bisa kita gapai? Bukankah di dunia ini, ada sesuatu yang sebegitu keras kita mengupayakannya, tetapi tetap saja sesuatu itu tak bisa menjadi milik kita?"

Chanyeon mengangguk perlahan.

"Itulah kita, Oppa. Tidak apa-apa." Diana tersenyum lagi. Genggaman tangannya pada permen mulai melonggar.

"Anna, aku min--"

"Jangan meminta maaf lagi, aku tak mau mendengarnya," sangkal Diana, malas mendengar ucapan maaf dari lelaki satu ini.

"Tapi aku masih sangat mencintaimu, Anna." Entah apa yang dipikirkan Chanyeon, ia kurang ajar sekali masih berani mengatakan ini.

Diana merasa terpukul dengan pernyataan itu. Merutuki Chanyeon dalam benak jika lelaki itu sungguh bedebah. Apa maksudnya mengucapkan seperti itu, apakah itu adalah sebuah pancingan agar dirinya mau menjawab bahwa dirinya juga masih mencintainya? Sungguh kurang ajar. Menyebalkan.

Chanyeon tampak menggigit bibir bawahnya. Ia tahu pengungkapannya barusan tak bisa memulihkan keadaan yang sudah di ujung tanduk untuk berakhir. Namun, entahlah, ia hanya ingin memberi tahu Anna-nya bahwa dirinya masih mencintai kenya itu, bahkan sedang dalam mode subur-suburnya.

"Oppa ...."

"Iya, Anna."

"Maukah kau mengabulkan satu permintaanku untuk terakhir kali?"

Chanyeon mengernyit. Tetapi cepat-cepat mengangguk.

"Jangan panggil aku Anna lagi, Oppa
...."

***

Ada orang bilang; kita tidak bisa memilih kapan perasaan cinta itu datang, tetapi kita selalu bisa memilih kapan kita memutuskan mengakhiri untuk mencintai seseorang itu. Semua itu benar, tetapi merealisasikannya tak semudah omongan.

Kisaran setahun sudah perkara terjadinya Diana mendapat firasat menakutkan lewat kontak mata Chanyeon saat membawa sepiring cumi pedas itu. Kontak mata Chanyeon yang membuat Diana seketika takut perkara bukan hanya soal membenci yang menjadi antonim mencintai, tetapi ... juga soal memilih pergi. Dan semua itu benar terjadi.

Ternyata, takdir lebih memilih Diana berteman hidup dengan Dikta, sosok lelaki hitam manis yang Diana kagumi ini. Lelaki satu ini mencintai Diana dalam diam selama bertahun-tahun, memilih mengungkapkan di saat yang menurutnya paling tepat dengan langsung menghadap orang tua Diana.

Memang, awal perjuangannya tidaklah berjalan mulus, Diana kukuh memilih Chanyeon dan mengupayakan lelaki itu sedemikian pada saat itu. Namun, jika jodoh memang tidak akan kemana, waktu yang paling tepat akhirnya mempertemukan mereka berdua lagi.

Entahlah, Diana sendiri seperti mati rasa, ia memang mengagumi Dikta, tetapi perasaan menyukai Chanyeon belum juga hilang. Bukahkah ini kurang ajar?

Entahlah.

Tetapi Diana mempercayai jika Dikta memang jodoh terbaik untuknya; lelaki seiman yang memang dirinya butuhkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi, lebih mendekat pada-Nya, berakhir samawa. Diana juga percaya, ini hanya soal waktu, ia akan beralih begitu mencintai suaminya sendiri.

Sedangkan Chanyeon. Lelaki oriental ini sungguh keras kepala. Ia memilih berjalan di atas kenangan bersama Diana di sisa hidupnya dan entah akan berakhir sampai kapan. Ia memilih bebal. Ia menikmati semua ini. Nyatanya, melepaskan itu sungguh sulit jika diri sendiri tak mau sungguh-sungguh melepaskan sesuatu itu.

Tapi Chanyeon juga berharap semua ini akan segera berakhir, ia akan menemukan cinta sejatinya di akhir kisah, bukan dengan Anna, melainkan dengan wanita lain yang jelaslah segaris iman dengannya agar tak ada ketimpangan lagi.

Chanyeon ingin berdamai dengan semua masa lalunya; bukan hanya perkara rasa sakit yang mendera, tetapi juga perkara momen indah yang tinggal kenangan saja. Ia pasti bisa. Ia yakin dengan semua ini.

Kini Chanyeon sedang berada di Ukraina, tepatnya di Kota Kiev.

Setelah perpisahan dengan Diana itu, ia menjadi sangat menyukai silaturrahmi. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga jika mempunyai libur kerja, juga menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya. Omong-omong, ia menjadi seorang penyanyi solo sekarang, aktor, komposer, serta produser musik.

Bertepatan di salju pertama turun di Kota Kiev, Chanyeon sedang dalam perjalanan pergi ke rumah seseorang. Ia ingin menyambung silaturrahmi lagi setelah kisaran 2 tahun ia los kontak dan seseorang itu juga pindah ke negara asalnya. Seseorang itu pernah menemaninya di masa-masa yang berat, Chanyeon ingat sekali. Juga, ia sudah bisa kembali mengingat tentang cerita seseorang itu yang ternyata benar adanya; soal dirinya pernah bertemu dengan seseorang itu di masa lalu, kemudian mengunjungi museum-museum bersama.

Seseorang itu, Alina Olene. Chanyeon ingin memperbaiki hubungannya dengan gadis Ukaraina bermata hazel satu ini.

_________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro