Still Hope
Diana tahu, cinta beda agama adalah cobaan; sebuah cobaan untuk memilih setia ke arah mana, Tuhan atau seseorang yang dicintai.
Diana tidak pernah terpikir akan terjebak dalam keadaan seperti ini. Dulu, ia bahkan memandang remeh masalah cinta pada spesies lelaki sebelum halal, apalagi saat masa remaja SMA. Dulu, ia bahkan memandang norak teman-temannya yang putus cinta dengan pacar, sesenggukan dengan air mata berlinangan hanya karena pacar. Ia tidak pernah tahu persis seperti apa kata patah sebab sayang berlebihan kepada lawan jenis karena selama ini tidak pernah sekalipun menyimpul berpacaran.
Baginya, berpacaran hanya membuang-buang waktu sebab terikat dengan seseorang lelaki yang sebenarnya ... tetap bukan apa-apa. Ia tidak pernah berhasrat memiliki pacar dari dulu, kecuali pacar halal, sosok suami. Namun, berprinsip menjadi jomblo bukan berarti ia tidak pernah jatuh cinta pada sosok lelaki. Ia masih ingat, cinta pertamanya dulu adalah cowok ketua Rohis di SMA. Sedangkan saat dibangku kuliah, ia sangat mengagumi seniornya; Pradikta, alias Dikta. Dan semuanya sebatas mencintai dalam diam, kecuali pada Chanyeon, ia berani jujur soal perasaannya.
Dulu, sempat dalam doa-doanya selalu ia lantunkan nama Dikta, agar kelak bisa dipertemukan dalam hubungan yang direstui-Nya. Kini, semua doa-doa ke arah itu semakin dekat. Namun, masalahnya tinggal dirinya yang ingin menjauh sebab hatinya sudah dimenangkan lelaki lain; Ji Chanyeon, sosok lelaki yang berhasil memporakporandakan perasaannya selama hampir 4 tahun terakhir ini.
Hati Diana berdenyut ngilu. Tatapannya fokus ke arah jalanan sepi Lembang dengan kanan-kiri hutan pinus. Kedua tangannya siaga dengan tuas kemudi mobilnya. Ia dalam mode perjalanan pulang dari rumah sakit tempat kerjanya. Namun, bukan perjalanan pulang ke rumah tampaknya, justru menjauh dari arah rumahnya. Ia malah menuju ke tempat keramat yang menjadi muara kecelakaan Chanyeon.
Mobil merah Diana terus melaju dalam lengangnya malam. Hingga, laju empat rodanya memelan perlahan tatkala sepasang netranya menyorot lengkungan bodi terowongan yang gagah di hadapannya.
Diana nekat keluar dari mobil tatkala sudah menyelipir ke pinggiran jalan. Ia keluar dan melangkah pelan ke titik di mana Chanyeon dulu terkapar.
Bayangan Chanyeon terkapar mengenaskan di pinggiran jalan terpampang jelas dalam pikirannya. Di sini, di tempat Diana yang kini sudah berjongkok adalah tempat di mana dulu kepala Chanyeon tergeletak dengan bersimbah darah. Jemari tangannya menyentuh aspal yang dulu menuai percikan darah merah segar kepala Chanyeon. Dulu, ketika mendapati Chanyeon tergeletak lemas dengan kepalanya luka parah, ia langsung bergegas meraih kepala itu dalam pangkuan, segera menyumpal aliran darah yang keluar deras dengan kardigan abu-abu yang sedang ia kenakan.
Kedua mata kelam Diana sudah memanas. Dadanya sesak oleh sebuah penyesalan berat, pula rasa bersalah teramat dalam. Bahkan dalam sekali malah rasa bersalah itu, tak lain sebab muara kecelakaan Chanyeon adalah dirinya.
Kedua pipi kuning langsat Diana sudah basah oleh air mata. Ruang dadanya semakin terasa menciut oleh sesakan rasa bersalah, berakhir dengan banyak merutuk dengan awalan seharusnya; seharusnya tak pernah bercerita tentang lorong keramat ini, seharusnya tak pernah, tak pernah, andai dulu tak seenteng itu berbicara asal kepadanya.
Menangis dalam diam sembari jemari tangannya masih menyentuh aspal yang menjadi titik banyak bercak darah Chanyeon menempel. Menunduk dalam sejenak dengan kenangan pra-tragedi Chanyeon terputar jelas dalam pikirannya.
***
"Beri aku satu kesempatan. Kumohon, Anna ..."
Suara dalam Chanyeon membuat risih rungu Diana. Ia yang sudah mengenakan nightgown putih hendak tidur, menjadi tidak mengantuk.
"Aku sudah bilang tidak. Berarti tidak untuk selamanya." Diana menutup timpalannya dengan meneguk ludah.
"Jangan keras kepala, Anna. Semakin kau keras kepala, maka aku akan menjadi semakin gila untuk lebih keras kepala dari padamu."
Diana mendesah. Tubuhnya yang sudah terbaring di kasur ia angkat menjadi duduk berselonjor. "Seharusnya kau tidak usah seperti ini, Oppa. Cinta bukan seperti ini dengan menyakiti dirimu untuk sedemikian mengupayakanku. Lepaskan saja aku ...."
"Tidak, Anna. Dulu, aku melepaskanmu adalah untuk kembali ke kehidupanmu di masa depan agar bisa memetik bunga mawar mekar di taman dengan etika yang baik. Dulu, ak--"
"Jika kau memang serius berniat memetik bunga mawar mekar di taman, seharusnya kau sudah memanfaatkan 3 tahun lesap dari kehidupanku untuk mencoba menghilangkan sekat ini, yang pada akhirnya ... seharusnya kau kembali bukan lagi dengan status perbedaan yang ada; seharusnya kau kembali dengan status yang sudah menjadi sama, jika tidak ... seharusnya kau tak pernah kembali padaku," interupsi Diana dengan jantungnya berdenyut ngilu. Emosinya terlalu random; antara senang bisa berkomunikasi dengan lelaki itu lagi, kesal sebab lelaki itu bersikeras mengupayakannya di saat ia sudah menolak mentah-mentah kemarin--tidak mau Chanyeon menjadi mualaf karena niat untuk bisa menikahinya saja.
"Tapi, An--"
"Jangan rusuhi hidupku lagi. Kumohon... Sudah cukup untuk semuanya. Mari tidak saling mengenal layaknya dulu saja kalau kau tetap bersikukuh seperti ini. Sepertinya lebih baik memang kita tidak untuk saling mengenal lagi .... " Diana mengehela napasnya singkat. Ia lelah dengan semua ini. Ia lelah dengan terjebak mencintai seseorang yang tidak mungkin bisa dimilikinya. Ia lelah dengan harapan semu yang ia miliki dengan akhir bahagia, karena itu .... sepertinya lebih baik untuk tidak saling mengenal saja.
Benar. Lebih baik untuk tidak saling mengenal saja. Di dunia ini, bukankah ada 2 alasan mengapa seseorang memilih pergi dan tak pernah kembali layaknya hilang di telan bumi? Tak lain sebab kebencian teramat dalam, dan satunya lagi sebab mencintai teramat dalam.
"Mari tidak saling mengenal saja ....," ulang Diana dengan tekanan batin yang justru bergejolak sebaliknya, menginginkan tetap mengenal yang bahkan seakrab dulu.
"Tidak bisa seperti ini, Anna. Kenapa prinsip hidupmu kini berubah? Dulu, aku belajar memaafkan darimu. Aku belajar untuk tidak menuai dendam lewatmu. Aku belajar menerima keadaan sebab melihat kegigihanmu bertemu ayahmu, memaafkan segala kekhilafannya, dan menjalin silaturrahmi lagi dengan harmonis. Aku sungguh belajar darimu, Anna. Itulah yang membuatku akhirnya memaafkan segala kesalahan orangtuaku yang menjadikanku sebagai alat. Aku menerima takdir itu dengan lapang layaknya dirimu. Namun kini, aku kehilangan jati dirimu, Anna. Apa salahnya beri aku satu kesempatan untuk mencoba menghilangkan sekat ini, bukan malah melesapkanku dengan tidak saling mengenal saja?"
Diana kehilangan kata-kata. Jantungnya semakin menyiksa dengan denyut ngilu yang ada. Napasnya terasa sesak oleh kenyataan perkataan Chanyeon tentang dirinya menjadi berubah. Itu memang benar. Cinta yang membara dalam jiwanya inilah yang membuatnya berubah. Ia kelimpungan; tentang ia sudah memilih melepaskan Chanyeon, tetapi lelaki ini malah memaksa mengikatnya sedemikian.
"Aku sangat mencintaimu, Anna. Aku sangat merindukanmu. Aku sungguh putus asa dengan semua ini, tetapi .... apa yang aku bisa?"
Nada bass Chanyeon merendah. Diana prediksi lelaki itu memang sangat putus asa kini. Kedua mata kelam Diana memanas seiring singgahan embun di kelopak mata. Hatinya merintih. Hanya bisa menjawab dalam senyap bahwa; Aku pun sangat mencintaimu. Aku merindukanmu teramat dalam. Aku sangat putus asa layaknya dirimu. Namun ..., aku juga tidak tahu harus berbuat apa.
Diana masih menunduk dalam dengan menangis dalam diam. Selaras layaknya dulu dalam kenangan itu yang pada akhirnya ia juga menangis dalam diam. Hingga, pada telepon itu, akhirnya ia menjawab, "Aku--"
"Kau sudah gila, Di?!"
Putaran rekaman masa lalu tersendat sudah oleh suara bariton yang mendadak merutukinya. Suara Juna. Sial sekali!
"Hei! Sedang apa kau di sini? Kupikir barusan adalah hantu perawan penghuni terowongan ini, tetapi malah keponakanku sendiri. Aish!" decak Juna yang kini sudah berdiri di samping Diana.
"Cepat bangun, masuk mobilmu, dan pulang!" titah Juna dengan kesal sembari mengulurkan sebelah tangannya.
Diana membisu. Hanya melirik ke uluran sebelah tangan Juna.
"Ayo pulang. Jangan membuat ibumu sedih karena kau masih terus-terusan memikirkannya. Semuanya sudah berakhir, Di. Dia sudah lupa dan katamu dia sudah mempunyai kekasih. Lalu untuk apa kau masih berharap? Jangan gila! Lebih baik kau mulai memikirkan untuk memulai hidup baru, kau pantas bahagia," lanjut Juna, tatapan kesalnya berubah melas. Ia sangat iba pada keponakannya satu ini. Demi apa pun, ia sangat membenci Chanyeon dari awal dulu keponakannya ini dimanfaatkan.
Masih membisu, tetapi akhirnya Diana memilih uluran tangan pamannya yang masih saja suka disebut "Kak". Ia akhirnya berdiri dengan perasaan masih semrawutan. Bukan berjalan bersegera ke mobilnya, tetapi ia justru memilih merangkul Juna. Ia memilih menangis dalam pelukan pamannya ini yang tahu benar kisah pertamanya dengan Chanyeon seperti apa.
"Tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja, Di. Aku percaya, kau akan bahagia jika kau mau untuk bahagia; yaitu dengan melepaskan idola itu, memberi ruang perasaan lelaki lain untuk mengisinya," nasihat Juna sembari mengelus belakang kepala Diana yang berambut sebahu.
Sedangkan di Seoul, kini Chanyeon tengah bertelepon dengan Alina. Bukan Chanyeon yang mengawali percakapan tentang bermain piano dengan River Flows in You, melainkan Alina yang seperti bisa membaca keresahan Chanyeon.
"Aku tidak tahu, apakah ini bisa membuatmu mengingat sesuatu. Dulu, kau ini gemar sekali memainkan piano untukku dengan River Flows in You setiap aku berkunjung ke rumahmu, Chagiya ...."
________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro