Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hopeless

Semua Muslim pasti sudah tidak asing dengan beliau Abu Hurairah, salah satu sahabat Rasulullah yang paling banyak meriwayatkan hadist, berasal dari qabilah al-Dusi di Yaman. Memeluk Islam di tahun ke 7 Hijriyah tatkala Rasulullah berangkat menuju Khaibar.

Abu Hurairah, sebuah julukan untuk Abdusy Syam atau Abdur Rahman karena gemar bermain dengan anak kucing. Abu Hurairah yang berarti bapak kucing kecil.

Dan Diana, di rumahnya belum lama ini dijuluki oleh Mamanya dengan Ummi Hurairah, alias ibu kucing kecil.

Julukan Ummi Hurairah disandang Diana belum lama ini, sekitaran sebulan terakhir sebab membeli anak kucing persia, diberi nama Gembul.

Gembul adalah kucing ras persia berjenis flatnose yang memiliki ciri khas hidung pesek yang tampak sejajar dengan matanya, kepalanya terlihat botak membuat pipinya terkesan chubby, telinganya kecil runcing, bulu panjang, badan gemuk, dan tampak pendek.

Kini, pagi-pagi di hari liburnya, Diana sedang bermain bersama Gembul di taman belakang rumah. Gembul dengan bulu putih bercampur abu-abu sedang aktif sekali mengejar dan menangkap bola yang ditendang majikannya dengan ringan.

"Ayo tangkap, Gembul!" titah Diana sembari menendang ringan bola ke arah Gembul yang berada radius 2 meter darinya.

Dengan gesit Gembul pun menangkap bola merah yang melaju ringan ke arahnya, lalu memainkannya dengan mendorong-dorong ringan.

"Wah, pintar sekali. Ayo bawa kemari, Gembul," ujar Diana yang mengamat senang laku Gembul, sembari berjongkok dengan sebelah tangan melambai agar kucing persianya mendorong bola ke arahnya.

"Sarapan, Di. Sudah dulu main sama Si Gembul-nya. Gembul juga belum dikasih makan, 'kan?" kata Bu Sandra--alias ibunya Diana--yang tampak menegur anak perawannya ini dari teras belakang rumah.

"Iya, sebentar lagi, Ma," sahut Diana setelah menengok ke arah Mama-nya. Lalu kembali mengantensi pada Gembul lagi setelah Bu Sandra masuk ke dalam rumah.

"Dirimu udah sarapan 'kan sebelum main? Mau sarapan lagi, hmm?" ujar Diana pada Gembul yang sudah berhasil mendorong bola ke arahnya. Menyentil sebelah pipi Gembul yang chubby.

Gembul tak acuh, malah sibuk dengan bola, membuat Diana gemas dengan menyentil perut gemuknya. Lalu beringsut mengemban Gembul masuk ke dalam rumah.

Setelah memberi makan untuk kali keduanya pada Gembul dan mencuci tangannya, Diana bergegas ke meja makan untuk sarapan. Kedua mata kelam Diana langsung berbinar tatkala di meja makan mendapati menu kesukaannya; sayur asem.

"Gembul udah dikasih makan, Ummi Hurairah?" tanya Bu Sandra yang sedang menuangkan kuah sayur asem ke piringnya.

"Udah, Ma. Sebenernya sebelum main juga Gembul udah dikasih makan," jawab Diana, mulai menuangkan nasi hangat ke piring.

"Nggak papa makannya banyak, biar makin gemuk. Ummi-nya juga, harusnya makannya yang banyak, biar gemukan, nggak kurus kayak gitu," balas Bu Sandra sembari meledek Diana yang duduk berhadapan dengannya. Meledek dengan sebutan Ummi, bermakna emaknya Si Gembul.

"Emang aku kurus ya sekarang, Ma?"

"Iya, kurusan sekarang anak Mama ini. Mikirin apa sih? Mikiran kakak seniormu dulu di kampus, ya? Kapan dia datang kemari dengan keluarganya? Mama menunggu," ujar Bu Sandra sembari merekahkan senyum ke Diana, melahap sarapannya. Sebuah ujaran menyindir.

Diana yang hendak menuangkan sayur asem ke piringnya, akhirnya memilih bergeming, berujar lirih, "Mama ...."

"Dikta lekaki yang baik, dia pantas mendampingi anak Mama ...," kata Bu Sandra, menatap anak perawannya sejemang, melahap sarapannya lagi.

Diana masih membisu, menatap khidmat Bu Sandra, lupa dengan sarapan menu kesukaan.

"Apa sih kurangnya Dikta? Apa sebab dia tidak setampan lelaki itu? Apa sebab dia tidak sekaya lelaki itu? Apa sebab dia tidak sepopuler lelaki itu? Apa sebab semua itu anak Mama ini tidak mau menerima Dikta? Apa spesialnya lelaki itu dibanding Dikta, hmm?"

Bu Sandra merusak suasana sarapan pagi dengan pertanyaan bejibun barusan. Diana memilih membisu menatap Mama-nya ini. Ada rasa sesak di dada Diana; perihal merasa bersalah pada sosok Mama sebab menolak Dikta kemarin dan merasa kesal sebab Mama suka membandingkan Dikta dengan Chanyeon.

"Ma, sarapannya dihabisin dulu aja, ya ...," tegur Diana dengan lembut untuk mencoba mengeluarkan percakapan tak mengenakan barusan, tersenyum tipis, beringsut menuangkan sayur asem ke piring.

Kini tinggal Bu Sandra bergeming menatap Diana yang sudah mulai menyuap sarapan. Ia bukan merasa kesal pada anak perawannya satu ini sebab telah menolak Dikta yang ia pikir adalah lelaki terbaik untuk Diana. Tepatnya, ia merasa khawatir, sangat khawatir.

"Apa lagi sih yang anak Mama ini harapankan dari lelaki itu? Bukankah lelaki itu sudah lupa, sudah memiliki kekasih sendiri, berbeda iman pula, lalu apa yang masih bisa diharapakan, hmm?" Bu Sandra menatap nelangsa Diana. Serebrumnya juga membawanya dalam ingat bagaimana dulu dirinya termabuk cinta dengan ayah Diana. Kekuatan ingin saling memiliki itu besar sekali, hingga pada akhirnya ayah Diana mengambil keputusan berani menjadi Muslim yang pada akhirnya berakhir seperti kini.

"Jangan sakiti dirimu sendiri, Di. Mencintai lelaki itu nggak salah memang, tapi jangan dijaga terus hingga semakin subur dari waktu ke waktu karena kalian berbeda. Ini cobaan, Di. Belajarlah dari hubungan Papa-mu dan Mama. Mama nggak mau anak Mama akan bernasib serupa dengan Mama ....," imbuhnya. Menasihati Diana yang keki melahap sarapan dengan menu kesukaan.

Semakin terjebak dalam suasana yang tidak disukai, rasa sayur asem yang enak bahkan menjadi terasa hambar di lidah Diana, sehambar dulu sayur asem yang dibuatkan Chanyeon untuknya di kali pertama.

Diana tidak bisa berkata-kata sekalipun ia ingin melontarkan banyak alasan untuk membela sikapnya kini yang masih tampak mengupayakan Chanyeon. Memilih menjeda sarapan ke arah Mama-nya. Merekahkan senyum tipis untuk wanita terkasihnya ini untuk kemudian menjawab dalam ruang kedap suara hatinya.

Maaf, Diana telah membuat Mama kecewa dan khawatir, tetapi Diana mohon ... beri Diana waktu untuk semua ini. Berikan Diana keleluasaan untuk semua ini, hingga tahun ini habis. Selepasnya jika Diana tetap tidak mendapatkan apa pun dari tujuan ini, Mama bebas memilih lelaki manapun untuk menjadi teman hidup Diana ....

***

Yang paling membuat Diana putus asa adalah rasa bersalah yang membelenggunya. Itulah kenapa pada akhirnya ia memilih tetap bertahan dengan keadaan seperti ini. Keadaan untuk menunggu Chanyeon kembali mengingat semuanya. Keadaan untuk memilih tetap tidak dengan siapa-siapa selama Chanyeon masih lupa.

Rasa bersalah pada Chanyeon ini sungguh menyakiti Diana. Sejujurnya kenya ini ingin sekali menemui Chanyeon akhir-akhir ini, mengatakan segalanya perihal apa yang pernah terjadi di antara mereka berdua, membantu Chanyeon mengingat sesuatu. Namun, ia tidak bisa, ia tidak mempunyai daya apa-apa sebab sebuah perjanjian dari wanita itu. Sebuah perjanjian yang mengungkungnya untuk tidak bisa berbuat hal apa pun pada Chanyeon.

"Kau serius mau melakukan ini, Di?" Suara Bae Hyun mengaura tak percaya dengan keputusan Diana. Ia yang duduk di sofa bersebelahan dengan Diana mendesah kesal.

"Pikirkan sekali lagi, Di. Ini bukanlah jalan terbaiknya. Jangan mau termakan omongan Nyonya itu." Kini suara Kyung Seo yang menasihati Diana. Kedua mata jernih Kyung Seo yang duduk berhadapan dengan Diana mengikat tak setuju.

"Pada akhirnya, Chan tidak akan pernah bisa mengingat lagi seperti sedia kala jika seperti ini," ujar Bae Hyun sembari menatap dalam Diana yang seperti patung duduk di sofa. Tatapan Diana kosong ke arah jemari-jemari tangannya yang terlampir di atas paha berbalut celana kulot cokelat.

"Perlahan-lahan dia akan kembali mengingat ketika sudah mencapai puncak kebahagiaan bersama istri terkasihnya nanti. Kembali mengingat kenangan bersama EXE, bersama penggemarnya, pula bersamaku, kembali mengingat segala masa lalunya. Dia akan sungguh bahagia setelah itu ... sebab dia sudah kehilangan rasa cintanya padaku yang melukainya selama ini ...," ungkap Diana seraya masih menatap kosong jemari tangannya sendiri. Dadanya sesak sekali, tetapi ia mencoba terlihat baik-baik saja. Memilih menunduk lebih dalam untuk menyembunyikan air muka keruhnya. Poni rambut hitamnya pun beringsut melebar ke kening seiring tundukan kepala ini, sebagian surai hitam panjang tergerainya beringsut membelai bahu.

"Tetapi bagaimana jika pada akhirnya justru sebaliknya yang terjadi, Chan berakhir membenci istrinya dan mengejarmu lagi?" tanya Kyung Seo diikuti anggukan Bae Hyun.

Masih memilih tidak bersuara. Air muka Diana semakin keruh dalam tunduknya. Ia sungguh putus asa dengan keadaan. Putus asa sekali.

Hingga sesaat ke depan, bibir Diana membuka suara setelah mengangkat kepalanya lagi.

"Itu tidak akan pernah terjadi. Karena di masa depan ... aku sudahlah menikah, barangkali malah sudah memiliki sosok anak, dia tak akan mungkin mempunyai keberanian untuk mengambil bunga mawar mekar yang sudah dipetik oleh orang lain di taman ibuku ...."

Diana memukul-mukul kepalanya dengan sebelah tangan setelah berhasil masuk kamar. Kenangan pra memenuhi perjanjian dengan wanita itu hadir tatkala ia beranjak pergi dari meja makan. Ia pun beringsut menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Meraih Piy.

"Aku jahat banget ya, Piy?" tanya Diana pada boneka lobak di kedua tangannya kini.

"Aku bingung. Kenapa harus kayak gini sih hidup aku?" keluh Diana. Mencium Piy. Menatap langit-langit kamar dalam tiduran telentangnya kini di atas kasur secara asal.

"Aku ...." Diana kehabisan kata-kata di mulutnya. Beralih air mata yang gesit keluar sebagai pengganti kata-kata atas perasaannya kini.

"Menjadi dewasa itu ternyata sulit. Boleh nggak jadi kecil lagi?" Malah mengatakan seperti itu. Lalu tertawa ringan dengan aneh.

"Boleh nggak aku lelah dengan semua ini, Piy?" Air mata Diana semakin menganak liar. Memeluk tubuh mungil Piy dengan erat.

"Bisa nggak, aku aja yang lupa, jangan dia. Pasti keadaannya nggak akan serumit ini," imbuhnya. Berakhir memilih memejamkan mata.

Memejamkan mata bukan berhasil membuat Diana tenang, nyatanya malah semakin membuat pikirannya kacau. Tentang pengharapan Mama, tentang perasaan cinta ini, dan paling menyakiti ada rasa bersalah sebab menjadi muara kecelakaan Chanyeon, serta menjadi muara rapper EXE ini sulit untuk kembali mengingat masa lalunya.

Air mata Diana keluar lagi membasahi kulit pipi. Mata kelamnya ini terbuka dengan sembap. Dadanya ngilu oleh keputusan perjanjian itu yang kini sangat disesalinya. Andai bisa kembali ke masa lalu, ia akan menggunakan kesempatan ini untuk tidak pernah mau menyetujui perjanjian itu. Benar kata Kyung Seo, "Ini bukanlah jalan terbaiknya. Jangan mau termakan omongan Nyonya itu."

Air mata Diana semakin deras, ditambah iringan tawanya yang aneh seperti sudah tidak waras lagi. Lalu perlahan-pelan ia bungkam dengan menyeka sisa air matanya, beristighfar berulang-ulang dalam batin.

Hingga, ketika dada Diana melonggar oleh rasa sesak, ponselnya di atas nakas berdering.

Diana beringsut meraih ponselnya. Timbul kerutan samar di dahi tatkala mendapati sebuah nama kontak penelepon di layar ponsel. Kyung Seo Oppa.

Bersegera mengangkat telepon itu. Nada sapa Yoboseyo dari Kyung Seo terdengar di rungu Diana. Diiringi oleh rangkai kalimat yang lolos membuat jantung Diana berhenti berdetak sejenak.

"Mari akhiri semua ini, Di. Aku mau pun member lain sudah lelah dengan semua ini. Mari untuk tidak lagi menentang takdir ...."

__________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro