Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Gomawo, Anna

Pandangan Chanyeon terserobot oleh sebuah benda di rak buku yang tersudut di dinding. Sebuah benda itu, sebuah kotak kecil berwarna cokelat.

Langkah Chanyeon yang hendak ke kamar akhirnya berbelok, memilih tertuju ke arah tersimpannya kotak itu.

Mengamat khidmat kotak cokelat itu yang kini berada di hadapan, menerka-nerka perihal kemungkinan kotak itu tak lain adalah miliknya.

Sungguh dirinya baru menemukan sebuah kotak ini di rumahnya. Mungkinkah kotak ini adalah milik salah satu member EXE yang tertinggal? Tetapi jika benar punya member EXE, kenapa juga harus diletakkan di rak bukunya ini yang seolah-olah adalah miliknya?

Aigo, daripada terlalu banyak menerka, lebih baik dirinya tanyakan ke member lain yang mungkin masih dalam perjalanan pulang dari rumahnya ini.

"Aku menemukan sebuah kotak cokelat di rak bukuku, apakah itu adalah punyamu, Bae?" tanya Chanyeon beberapa detik lalu ke Bae Hyun.

"Sebuah kotak cokelat? Apa isinya, Chan?"

"Entah, aku belum membukanya."

"Coba buka, aku penasaran apa isinya. Itu bukan punyaku. Serius."

"Ya! Aku belum tahu itu kotak punya siapa. Aku belum berani membukanya begitu saja. Jika itu bukan kotakmu, coba tanyakan ke yang lainnya, Bae."

"Baik. Sebentar, Chan ...."

Dari seberang telepon, Chanyeon dapat mendengar Bae Hyun bertanya pada member lain yang masih dalam perjalanan pulang dari rumahnya dengan satu mobil ini. Bertanya mulai dari Kyung Seo, Shou, Dae, Xiu, hingga Sehan dan Key si duo maknae ini yang sedang molor tidur.

Jawabannya sempurna tidak ada yang mengaku memiliki kotak cokelat itu.

"Baiklah. Gomawo ...," ujar Chanyeon setelah tidak mendapati informasi memuaskan perihal si empu kotak cokelat ini.

"Jangan lupa, jika sudah dibuka, bagi tahu aku isinya apa, Chan," seru Bae Hyun sebelum menutup telepon.

Sambungan teleponpun terputus setelah Chanyeon menjawab Bae Hyun, "Baiklah. Tapi tidak janji juga akan memberitahumu isinya apa."

Mematung sesaat menatap kotak cokelat itu yang entah kenapa sangat mencuri perhatiannya kini, Chanyeon pun akhirnya mengambilnya juga. Membawa kotak itu bersamanya ke kursi bean bag.

Setelah berhasil mendaratkan pantatnya ke bantalan besar bean bag yang terisi styrofoam ini, akibat terlalu penasaran, Chanyeon pun akhirnya membuka kotak itu perlahan sekalipun belum tahu siapa si empunya. Memastikan isinya apa, barangkali memanglah kotak miliknya yang ia lupa.

Setelah kotak cokelat itu terbuka sempurna, sepasang netra sipit Chanyeon menemukan beberapa macam benda dalam kotak; cincin couple paladium, gelang rantai berlian, dan jepit rambut klip berenda telinga kelinci. Ini membuat kening Chanyeon mengernyit menemukan dominan barang perempuan di dalamnya.

Jemarinya terulur mengambil cincin paladium. Mengamat dua cincin kembar itu dengan ukuran yang berbeda. Ia penasaran, mencoba mengenakan cincin itu dengan ukuran yang paling besar, terkagum setelahnya mendapati cincin itu pas sekali dalam jari manisnya, menjadikan ia merasakan seolah-olah ini memang miliknya.

Chanyeon menerawang cincin ukuran lebih kecil, yakin sekali jika cincin ini adalah pasangan dari cincin yang sedang dikenakannya kini. Menerka-nerka, milik siapa ini sebenarnya atau untuk siapa cincin pasangan ini.

Kerongkongan Chanyeon tetiba terasa tercekik. Pikirannya bergelanyar pada wanita dalam River Flows in You. Namun, setelahnya ia menyangkal penuh sangkaan adanya sosok itu lagi, menyugesti jika sosok itu adalah Alina, sosok itu adalah Alina seperti yang diungkapkan kekasihnya ini, jangan mengada-ngada apa pun lagi.

Cepat-cepat Chanyeon menaruh cincin itu dalam kotak lagi, melepas cincin yang dikenakannya juga, menutupnya segera, takut sekali jika pada akhirnya pikirannya semakin bergelanyar pada sesuatu yang jelas semu itu.

Masih ada 2 orang yang bisa ditanyai perihal kotak cokelat ini; Ahjumma yang biasa membereskan rumahnya setiap pagi-petang dan Ahjussi tukang kebun rumahnya.

Chanyeon pun tergesa meraih ponselnya lagi di saku kemeja flanel untuk menghubungi 2 orang itu. Entah kenapa dalam kasus ini ia belum ingin melibatkan Alina.

***

"Tolong, jangan buat aku untuk bercanda lebih keras lagi, Semesta," ungkap Alina pada langit malam Seoul lewat teras taman belakang rumahnya. Manik mata hazel-nya menatap putus asa. Poni rambut brunette-nya beringsut lemah terkena angin malam yang lewat. Pelukan kedua tangannya pada kaki yang ditekuk semakin mengerat.

"Kupikir ini akan membahagiakan, tetapi ternyata tidak, karena itu aku tak mau bercanda lebih keras lagi," lanjutnya. Tatapannya berotasi dari hamburan gemintang ke arah bulan sabit di atas sana.

"Mianhae. Jeongmal mianhae, aku  telah bercanda sekeras ini ...." Gadis Ukraina ini menyelipkan poni rambutnya ke sudut telinga.

Setelahnya bergeming seperti patung seraya menatap kosong langit malam yang apik itu. Bertanya-tanya pada benak perkara apakah dirinya sungguh bahagia kini?

Dadanya berdenyut ngilu. Lolos menjawabnya dengan lantang lewat denyutan ngilu itu perkara hakikatnya ia tidaklah bahagia. Cinta yang selama ini diidam-idamkan untuk bisa memilikinya di suatu saat dan berakhir terijabkan, nyatanya tak bisa membuatnya puas dan tenang dengan cara jalan pintas yang ia lalui.

Semesta, gadis Ukraina ini sungguh menginginkan bisa kembali hidup seperti dulu. Hidup tenteram mencintai seseorang tanpa pernah mengharapkan bentuk afeksi nyata sebagai imbalan.

Cinta tak memberikan apa pun, kecuali keseluruhan dirinya, utuh penuh, dia pun tak mengambil apa-apa, kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tak memiliki ataupun dimiliki, karena cinta telah cukup untuk cinta.

Kata-kata sastra Kahlin Gibran memeluk laranya kini. Satu tulisan sastrawan masyhur Kahlil Gibran yang paling Alina sukai dari masa ke masa. Kata sastra yang mampu menanamkan pola pikir mencintai seseorang tanpa perlu mengharapkan memilikinya, karena sejatinya cinta telah cukup untuk sekedar dicintai saja, sesederhana itu.

"Bawa aku kembali ke situasi sediakala, Semesta ...," rintih Alina kemudian. Menatap sendu sabitnya bulan di langit malam sana.

"Atau bawa aku ke Bulan-mu, aku malu terus berpijak di Bumi-mu ini karena ulahku.  Atau kau malah akan membawaku ke Pluto agar aku lebih jauh lagi dari jangkauan Bumi, it's okay ...," lanjutnya. Poni rambut brunette-nya beringsut lemah tertimpa angin malam lewat lagi.

Kedua mata hazel Alina berkaca-kaca. Ia ingin menangis dengan keadaannya kini, tetapi rasa-rasanya sangat tidak pantas untuk dirinya mengeluarkan air mata itu. Sebuah air mata putus asa atas dosa apa yang telah dirinya lakukan. Sebuah air mata, yang mana dirinya juga merasa rapuh dengan semua ini. Hidupnya semrawutan nian kini, tetapi yang tampak dipermukaan adalah sebuah keberuntungan maha besar yang tengah mendatanginya.

Kalah sudah. Mata hazel-nya yang mendung, akhirnya hujan. Ia menangis dalam diam. Sesak dadanya. Lantas memilih menyembunyikan wajah kacaunya itu ke dalam tekukan kakinya.

"Kekasihmu datang, Alina sayang. ..."

Itu suara mama-nya Alina. Nyonya Inna. Menepuk sebelah bahu Alina yang terbungkus hoodie oren.

"Kau menangis? Kenapa? Kakimu sakit?" selidik Nyonya Inna dengan iba mendapati keadaan anak gadisnya ini yang diam-diam sedang menangis.

"Tidak, Eomma ...."

"Lalu?"

"Aku tidak apa-apa ...."

"Jangan berbohong, Chagiya. Pasti kakimu sakit, ya?"

Kedua bola mata hazel Alina langsung berotasi ke arah Chanyeon yang kini sudah berdiri di depannya.

"Aku tidak apa-apa. Sungguh ...," sangkal Alina. Cepat-cepat menyeka bekas air mata di pipi dengan kedua tangan.

"Bukankah kau sudah ke dokter? Coba kulihat sebelah kakimu," ujar Chanyeon dengan air muka keruh khawatir. Kedua tangannya cekatan meraih kaki kiri Alina yang mengenakan sandal rumah oren. Memeriksa apakah kondisi sebelah kaki Alina ini sungguh baik-baik saja setelah terkilir kemarin saat latihan balet.

"Aku sungguh tidak apa-apa, Chagiya," omong Alina ini sembari menatap rikuh ke arah Chanyeon yang kentara mengkhawatirkannya. Kekasihnya itu kini tengah berjongkok dan memeriksa sebelah kakinya yang pastilah lelaki itu juga bingung memastikan.

"Aku baik-baik saja, Eomma ...." Kini Alina tinggal mengujar ke Nyonya Inna yang masih berdiri di sampingnya dengan menatap khidmat Chanyeon. Kemudian mengelus pundak Alina lembut.

Kedua tangan besar Chanyeon pun memasangkan kembali sandal oren ke kaki kiri Alina yang putih pucat seperti boneka porselen. Mengelus lembut kepala Alina seraya berucap, "Aku percaya kau baik-baik saja. Namun, apa gerangan yang membuat kekasihku ini menangis, hmm?"

Pertanyaan Chanyeon barusan berhasil membuat kerongkongan Alina tercekat. Membisu sejenak untuk menatap dalam bola mata kelam Chanyeon. Seketika dadanya berdenyut ngilu lagi.

"Aku merindukan kerabat di Ukraina," bohongnya kemudian dengan mulus.

"Aigo ...," sahut Chanyeon dan Nyonya Inna bersamaan. Tersenyum gemas.

***

Kedatangan Chanyeon malam ini disambut baik oleh Sangwoo, adik tiri Alina. Setelah Sangwoo pulang dari sekolahnya ini, ia langsung bergegas mengganti pakaian dan mengajak Chanyeon bermain basket, tetapi ditentang oleh Nyonya Inna. Alhasil berakhir membuat BBQ di taman belakang rumah bersama.

Mereka kini hanya berempat, tanpa ayah tiri Alina yang sedang tugas kerja di luar kota. Bagian memanggang BBQ adalah Alina dan Nyonya Inna. Sedangkan Chanyeon dan Sangwoo bermain gitar.

Tepatnya Sangwoo meminta diajarikan bermain gitar, tetapi malah berujung ngobrol.

"Saat militer, bukankah kau berhasil menjadi pasukan khusus, Hyeong?" sela Sangwoo saat penat diajari kunci gitar oleh Chanyeon, memilih menganggurkan gitar dalam pangkuannya.

"Ah, iya, kabarnya begitu. Aku berhasil bergabung dalam pasukan khusus White Horse," jawab Chanyeon, sebelah tangannya memilih mengambil gitar di pangkuan Sangwoo.

Mendapati jawaban Chanyeon barusan dengan "kabarnya begitu", membuat Sangwoo menjadi rikuh. Sebab terlalu semangat, ia menjadi lupa jika Chanyeon masih  belum bisa mengingat masa lalunya, yang lelaki di sampingannya tahu tentang dirinya adalah lewat cerita-cerita orang lain, sebatas itu.

"Apa kau mau membawakan lagu di malam ini dengan gitar itu, Hyeong?" Sangwoo akhirnya mengalihkan topik mendapati minat Chanyeon teralihkan pada gitar akustik di pangkuan.

"Hmm. Aku akan bernyayi malam ini untuk kalian," jawab Chanyeon sembari sebelah tangannya memetik dawai gitar, tepat sekali dengan seruan Nyonya Inna akan BBQ-nya sudah matang.

Beberapa saat ke depan, seperti niatnya di awal, di sela-sela menyantap BBQ, Chanyeon membawakan lagu Creep dari Radiohead dengan iringan permainan gitarnya.

Suara dalam Chanyeon pun memecah sunyinya malam dengan iringan dawai-dawai gitar yang dipetiknya. Memanjakan rungu Alina, Nyonya Inna, dan Sangwoo.

When you were here before
Couldn't look you in the eye
You're just like an angel
Your skin makes me cry

You float like a feather
In a beautiful world
And I wish I was special
You're so fuckin' special

Suara bass Chanyeon semakin memeluk malam dengan iringan lagu Creep. Sebuah lagu perkara seorang lelaki terpesona pada kecantikan seorang wanita bak malaikat, terpesona begitu dalam, hingga pada akhirnya kenyataan merundungnya jika dirinya hanyalah orang aneh yang tak pantas untuk gadis itu.

Semakin larut, semakin berujung lagu Creep ini hingga menyisakan bait-bait terakhir yang melankolis.

But I'm a creep
I'm a weirdo
What the hell am I doing here?
I don't belong here
I don't belong here

Salah satu lagu Radiohead ini akhirnya habis sudah. Petikan dawai gitarpun usai. Chanyeon masih nyaman memejamkan netranya seiring dengan riuh tepukan tangan dari mereka bertiga sebagai bentuk apresiasi.

Hingga, di detik kemudian, Chanyeon dipaksa masuk dalam imaji layaknya deja vu dalam otaknya; sesuatu yang asing, tetapi terasa familiar, terputar ambigu dalam memorinya.

Chanyeon tampak sibuk mengirim pesan balasan pada seseorang dengan posisi berbaring di petiduran, tetapi bukan dalam kamar di rumahnya.

Sepertinya si perima pesan balasan sudah tidak lagi online dan tak kunjung menerima balasan balik, itulah mengapa Chanyeon akhirnya memilih meletakkan ponselnya ke nakas. Menarik selimut hingga dada. Namun, tak kunjung melelap, ia justru melamun menatap langit-langit kamar. Berujar semringah seperti insan sedang terundung kasmaran, "Gomawo, Anna."

_________________











Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro