Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Euisa-nim

Tadi malam, Tuan Widjaya dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi kejang seperti epilepsi. Ayah Diana komplikasi karena tetanus. Infeksinya sudah parah hingga menyebar ke ujung saraf otak. Hingga sore ini kondisinya masih kritis di ruang ICU.

Diana menjejakkan kaki ke Busan tidaklah sendiri, ia bersama Dina dan Juna.

Mungkin karena suasana yang sedang harap-harap cemas perihal kesembuhan Tuan Widjaya, Yuri dan ibunya menyambut ramah Diana dan Dina, pun begitu dengan Juna. Entahlah, barangkali karena tabiat mereka berdua sudah berubah, semoga saja seperti itu.

"Mari aku antar ke dalam, Noona." Itu suara Daeshim, adik Yuri satu ini dari awal pertemuan memang sudah ramah pada Diana.

Diana mengangguk.

"Ayo, Samchon," ajak Daeshim pada Juna.

Mereka bertiga pun masuk bersama Daeshim, meninggalkan Yuri dan ibunya di luar ruang ICU.

Tak butuh waktu lama, pandangan Diana disuguhkan oleh tubuh Tuan Widjaya yang terbaring pasrah di atas ranjang pasien dengan dipasang alat monitoring untuk memantau denyut nadi, ventilator, selang infus, dan alat medis lain.

"Papa ...," sebut Diana dengan lirih, kakinya melangkah perlahan ke ranjang pasien. Disusul Dina, Juna, dan Daeshim.

Diana memeluk ayahnya dengan hati-hati, begitu juga dengan Dina. Kakak-adik itu menangis dalam diam dengan memeluk ayahnya.

"Diana di sini, Papa ...," ujar Diana.

"Kak Dina juga di sini .... Kak Juna juga di sini .... Bertahan ya, Papa. Nanti Diana buatkan seblak ceker kesukaan Papa setelah Papa sembuh. Tenang, hasilnya bakalan enak kok, Diana juga pandai memasak kayak Kak Dina," lanjutnya, terisak.

"Papa ... Maaf ..." Kata itu keluar dari mulut Dina. Hatinya sesak mendapati kondisi ayahnya kini. Pula, ia sesak sebab mengingat bagaimana kelakuannya dulu yang sangat membenci sosok ayah. Ia menyesalinya, ia ingin diberi waktu sedikit lebih lama untuk memperbaiki semuanya setelah hampir 4 tahun terakhir ini sudah berbaikan.

"Bang, maafin Juna juga, ya .... " Tinggal suara bariton Juna yang mengatakan. Kedua tangan Juna memegang sebelah tangan abangnya yang tidak terpasang selang infus.

"Maaf, selama ini sisa hidupku diisi dengan membencimu, Bang. Bertahan ya, aku ingin memperbaiki semuanya, mengisi sisa waktuku ini dengan kembali menjalin silaturrahmi denganmu," imbuh Juna dengan kedua mata kelamnya berkaca-kaca. Sama halnya dengan Dina, adik kandung Tuan Widjaya juga menyesal telah memutus tali silaturrahmi dengan kakak kandungannya ini setelah perceraian dengan Bu Sandra.

Dulu, Juna menjadi mualaf perantara abangnya ini. Ia tertarik dengan Islam setelah abangnya menikah dengan Bu Sandra. Ia ingat sekali, dulu awal-awal tertarik mempelajari Islam adalah karena mengikuti pengajian-pengajian di Masjid, perlahan-lahan mempelajari salat, ikut puasa Ramadhan, hingga jadilah Mualaf.

Juna semakin yakin dengan agama yang dianutnya ini seiring berjalannya waktu, tetapi nyatanya sebaliknya dengan abangnya, Tuan Widjaya justru memutuskan kembali ke agama sebelumnya, menuai prahara di rumah tangganya hingga berakhir perceraian, menuai luka di sana-sini. Termasuk dengan dirinya yang ikut kecewa terlalu dalam sebab abangnya ini terkesan mempermainkan wanita sekaligus agama. Namun, nyatanya ia salah, prasangka itu salah besar, Tuan Widjaya sangat mencintai Bu Sandra pada saat itu dan abangnya itu sudah berupaya sekuat tenaga untuk yakin dengan jalan barunya, tetapi pada akhirnya gagal.

Dan pada akhirnya semuanya tidak bisa dipaksakan; Tuan Widjaya memilih kembali ke jalannya dulu dan tidak berpengaruh pada kadar keimanan Juna pada Islam sedikitpun. Juna juga tidak bisa memaksa abangnya untuk tetap bertahan di jalan yang sama jika sudah jelas tidak lagi yakin. Toh, bukankah begini kehidupan, kita bebas memilih jalan kita masing-masing?

Sekon kemudian, ruang rawat Tuan Widjaya lengang, menyisakan tangisan dalam diam, pula lambungan doa-doa ke langit untuk keselamatan Tuan Widjaya.

Hingga, beberapa saat ke depan, jemari Tuan Widjaya bergerak lemah.

***

Ruang inap Tuan Widjaya ini terkesan gelap dan tenang; korden ditutup, lampu dipadamkan, dan suhunya di sini sengaja didinginkan. Ini karena pengidap tetanus tidak boleh terkena cahaya, suhu panas, suara bising, hingga sentuhan berlebihan. Semua rangsangan normal itu akan menyebabkan kontraksi otot yang tidak normal pada penyidap tetanus, menjadikan mudahnya penyumbatan pada berbagai pembuluh darah, kejang.

Di luar sana, siang sudah semakin matang, tetapi udara tetap dingin karena di Korsel sedang musim dingin. Orang-orang yang lalu lalang di rumah sakit pun tampak mengenakan baju berlapis. Tak terasa, sudah hampir 2 hati Tuan Widjaya dirawat.

"Papa, Diana keluar sebentar, ya?" pamit Diana dengan lirih.

"Iya, Nak," jawab Tuan Widjaya dengan mengangguk pelan, tersenyum.

"Dina dan Kak Juna juga, Papa. Sebentar aja kok," ujar Dina.

"Iya, Nak. Jangan khawatir. Jangan lupa makan hingga kenyang supaya nggak sakit, timpal Tuan Widjaya dengan menasehati.

"Jun, jaga dua keponakanmu ini, ya," alih percakapannya ke Juna

"Jangan khawatir, Bang. Juna selalu jagaian dua keponakan ini layaknya anak sendiri," jelas Juna.

Mendengar ungkapan Juna barusan membuat Tuan Widjaya lega. Wajahnya mengaura semringah.

Diana, Dina, dan Juna pun keluar dari kamar rawat. Untung saja rumah sakit di Busan ini menyediakan Musala kecil, mereka pun melangkah ke Musala di lantai paling bawah untuk mendirikan salat dzuhur. Gantian yang berjaga adalah Yuri dan ibunya, Daeshim sedang pulang mengambil perbekalan.

Setelah salat dzuhur, mereka bertiga ke kafetaria untuk makan siang. Diana tidak bernafsu makan, ia hanya memesan kentang goreng dan secup kopi moccachino panas.

"Aku pergi lebih dulu ya, Kak," pamit Diana setelah berhasil memakan beberapa irisan kentang goreng.

Dina dan Juna yang masih mengunyah tahu dari doenjang-jjigae yang dipesannya pun mengangguk.

"Sebaiknya kau ke hotel saja. Beristirahat di sana. Lihatlah mukamu, kau terlihat sangat kelelahan, Di," titah Juna setelah berhasil menelan unyahan tahu, menatap melas wajah Diana yang lesu dengan mata panda bergaris legam.

"Iya, ke hotel saja. Biar yang jaga Papa aku dan Kak Juna, juga dengan Yuri dan ibunya." Dina ikut menyahut.

"Tapi--"

"Sudah. Pergilah. Lagian di sini ada Yuri dan ibunya. Sebentar lagi Daeshim juga datang. Jangan dipaksakan, nanti kau malah sakit," sela Dina mendapati adiknya ini hendak menolak.

"Baiklah, Kak. Aku pergi ke hotel, nanti aku kembali setelah maghrib, giliran kalian yang beristirahat. Aku mau ke kamar Papa dulu untuk pamit," balas Diana. Disusul anggukan Dina dan Juna. Beringsut ke kamar rawat Tuan Widjaya.

Tak butuh waktu lama untuk pamit, Diana kini sudah berjalan turun untuk keluar dari rumah sakit.

Kepala Diana terasa sangat pening, mungkin ini efek dirinya terjaga dari semalaman untuk menjaga ayah, ia belum tidur hingga kini, kedua matanya pun sampai bermata panda.

Diana menguap dan gesit ditutupnya dengan punggung tangan.

Diana berjalan dengan lesu. Ia sudah mengantuk sekali dengan kedua matanya yang sudah berair karena telah menguap berkali-kali. Sembari masih berjalan, ia menyesap moccachino-nya, menunduk menatap langkahan kakinya sendiri yang mengenakan ankle boots.

Terus berjalan dengan cara seperti itu, kantung matanya semakin lemah untuk tetap terbuka, sepertinya ia tidak bisa pergi ke hotel sendirian dengan mengemudi mobil SUV yang disewa Juna selama di sini. Sembari terus berjalan pelan, ia merogoh saku jaket puffer yang dipakainya untuk mengambil ponsel.

Sial. Tidak ada ponsel di saku jaket puffer-nya. Diana menghentikan langkah, sebelah tangannya beralih membuka shoulder bag. Yap, menemukan benda pipih itu di sana bersebelahan dengan dompet. Segera mengambilnya dan menelepon Juna sembari meneruskan langkah.

Seraya menunggu teleponnya terjawab, Diana menyesap kopinya. Berjalan dengan fokus menatap langkah kakinya sendiri lagi.

Hingga beberapa detik ke depan, tetiba tubuhnya menabrak punggung seseorang. Tepatnya, kepala dan cup kopi di sebelah tangannyalah yang menabrak punggung seseorang, hingga cairan moccachino itu tumpah ke jaket puffer hitam yang dikenakan seseorang itu.

Diana terlonjak kaget, kedua mata kelamnya membulat sempurna dengan pemandangan cairan moccachino yang mengalir deras ke jaket puffer seseorang itu yang anti air.

Sekon kemudian, seseorang itu berbalik akibat kekacauan yang Diana buat. Seseorang itu adalah lelaki bertubuh jangkung, tampilannya tertutup sekali dengan mengenakan hoodie hitam dilapisi jaket puffer hitam, tudung hoodie-nya dikenakan sempurna ke kepala yang juga mengenakan topi hitam, tak tertinggal menggunakan masker mulut hitam.

Rempong sekali. Begitu kesan Diana mendapati tampilan satu pria di hadapannya dengan visor topi yang direndahkan hingga menyamarkan sepasang matanya. Mendikte dalam senyap tampilan pria itu membuat Diana lupa untuk meminta maaf.

"Josonghamnida, Ahjussi ...," maaf Diana kemudian sembari membungkuk hingga rambut sebahunya beringsut jatuh.

Pria itu tak langsung merespon, rupanya ia juga mendikte dalam senyap tampilan wanita di hadapannya sejemang. Keningnya berkerut saat tatapannya saling bertumpu sekelebat dengan Diana yang lelah menunduk dan memilih meliriknya.

"Josonghamnida, Ahjussi ...," ulang Diana mendapati tak kunjung mendapat respon. Merutuki pria itu dalam benak yang tak kunjung tanggap, padahal ingin cepat-cepat membereskan masalah dengan pria ini, ia sudah ingin cepat ke hotel untuk tidur.

"Assalamualaikum, ada apa, Di?" Rupanya Juna sudah menjawab telepon, langsung mengatakan itu.

Suara bariton Juna dari seberang telepon yang berada di sebelah tangan Diana ini membuatnya tambah rikuh, Diana segera menjawab cepat dengan lirih, "Waalaikum salam, nanti aku telepon lagi, Kak." Tergesa mematikan ponselnya, lalu dengan pose yang masih membungkuk, ia melirik ke pria itu lagi.

Seperti patung. Pria ini kukuh bergeming menatap Diana, hingga Diana risih.

Diana mendesah dalam benak dengan laku pria ini. Sedangkan pria itu justru melepas masker mulutnya, mengembangkan senyum, menyapa dengan nada dalam yang familiar di rungu Diana.

"Euisa-nim ...."

__________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro