Drama
Di sebuah ruangan nuansa putih, Diana masih duduk terpaku. Pendengarannya baru saja diganggu oleh sebuah suara. Bukan suara hantu yang menjailinya malam hari ini di rumah sakit yang sudah sepi, melainkan suara itu berasal dari ponselnya di samping telinga yang tertutupi kain hijab nude. Suara itu adalah suara bass seorang lelaki. Ji Chanyeon.
"I miss you more than life, Anna ...."
Rungu Diana dipenuhi oleh kata-kata indah itu lagi. Jantungnya semakin berdebar cepat. Kedua matanya berkaca-kaca. Pikirannya semrawutan menerka, sungguhkah Oppa sudah bisa mengingat semuanya?
Diana menghempaskan napasnya. Ia mencoba berpikir sejenak untuk mencari jalan keluar aman, soal jawaban apa yang harus diberikannya. Ia harus hati-hati, sekalipun barusan Chanyeon memanggilnya Anna, tetapi belum pasti juga lelaki ini sudah mengingatnya, bisa saja justru malah iseng.
"Jangan mengerjai saya, Chanyeon-ssi. Saya merasa bersalah telah membohongi Anda kemarin perkara fanfiksi. Tetapi tolong, jangan memanggil saya dengan Anna. Apalagi dengan ...." Diana ragu melanjutkan perkataanya. Ia sungguh ragu menyambung dengan gamblang dengan ... bahasa dan intonasi sebucin itu.
Sedangkan Chanyeon yang masih mengemudikan mobilnya jalanan kota Seoul, menghempaskan napas. Tidak habis pikir dengan Diana yang masih saja bisa berkilah. Andai saja Diana berada di sampingnya kini, pasti sebelah tangannya sudah jail mencubit cuping hidung kenya itu atau memberantaki rambutnya sampai mendecak sebal.
Pada akhirnya Chanyeon mengurvakan bibirnya. Mendapati Diana masih saja bersandiwara, jadi baiklah, ia akan mengikuti alur sandiwara Diana beberapa saat ke depan, sepertinya juga seru.
Chanyeon pun tertawa renyah.
"Maafkan saya, Euisa-nim. Bukan seperti itu maksud saya. Hanya saja saya sedang latihan dialog untuk syuting besok. Maaf, pada akhirnya saya memilih Anda sebagai teman latihan. Pasti Anda sangat kaget dan ini tidak membuat nyaman. Sekali lagi saya minta maaf karena telah lancang mengganggu waktu Anda," bohongnya. Semangat sekali mengerjai Diana.
Di kantor kerja Diana di rumah sakit, sial sekali setetes air mata jatuh ke pipi begitu saja sebab barusan terlampau senang, malah berakhir menyesakkan begini, ditipu.
"Oh, tidak apa-apa, Chanyeon-ssi. Ini tidak mengganggu waktu saya. Saya memang sedang berada di rumah sakit, tetapi tidak ada apa pun yang sedang saya kerjakan," jawabnya, "Akting Anda sangat bagus. Saya jelaslah terkejut, Anda tetiba mengatakan hal itu kepada saya." Berakhir mencoba tertawa ringan.
"Sekali lagi, saya minta maaf, Euisa-nim," maaf Chanyeon itu. Mobilnya sudah sampai ke pelataran rumah. "Jadi, sekarang tinggal Anda yang menjawabnya."
"M-maksudnya?"
Chanyeon mengurvakan bibir, tepat selesai memasukkan mobilnya ke garasi, keluar dari mobil sembari menjawab, "Anda harus menjawab pertanyaan barusan."
"Haruskah?"
"Iya. Lalu untuk apa Anda menjadi teman berlatih saya, jika Anda tidak menjawabnya?"
"Oh. T-tapi saya bingung mau menjawab apa."
Chanyeon gemas dengan timpalan Diana. Kakinya terus ia bawa ke dalam rumah. Tertumpu pada rak buku, mengambil kotak warna coklat. "Terserah Anda. Bayangkan saja, barusan yang mengatakan itu adalah seseorang yang Anda cintai, seseorang yang sangat Anda rindukan juga, Euisa-nim."
"Baiklah. Tunggu sebentar."
Di tempatnya, Diana kelimpungan untuk menjawab apa. Sial sekali manusia satu ini, selalu saja pandai merepotkannya.
Diana malah meraih pulpen, mengetuk-ngetukkan asal ke meja, berpikir keras.
Chanyeon masih menunggu khidmat jawaban Diana. Ia membawa kotak coklat itu dan duduk di bean bag.
Membuka kotak itu, matanya berotasi pada cincin paladium di dalamnya, menyematkan ke jari manis.
Chanyeon tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya selama ini. Belum paham kenapa Diana tetiba menjauh, malah gadis bernama Alina itu yang muncul dan mengaku-ngaku sebagai kekasihnya, dan parahnya semua member EXE juga ikut berpartisipasi dalam kebohongan ini.
Ah, tidak penting baginya perkara itu malam ini. Yang terpenting sekarang, ia sangat merindukan Anna-nya, ia akan melepas rindunya dengan banyak mengobrol dengan Diana malam ini. Jika memungkinkan, ia juga ingin bertatap muka dengan video call.
"Aku juga sangat merindukanmu. Kumohon, cepatlah kau kembali, Oppa ...."
Jawaban Diana barusan itu berhasil membuat jantung Chanyeon terasa berhenti sejenak. Ada rasa haru di bilik hatinya.
Diana berkata sembari menitikkan air mata. Ini bukan akting, murni kejujuran hatinya. Menyebalkan memang, menjadi cengeng seperti ini karena sungguh benar merindukan Chanyeon. Tepatnya merindukan Chanyeon yang dulu, Chanyeon yang bisa mengingat siapa dirinya ini. Berharap lelaki itu kini sudah mengingatnya, bukan drama seperti ini dengan kebetulan sekali menyebutnya Anna.
"Anna ...," panggil Chanyeon. Mata kelamnya menatap cincin paladium dalam kotak yang dulu dipakai Diana.
"Iya?" Dada Diana semakin sesak. Ia menangis tanpa suara. Untung saja tak ada orang lain di ruangan ini.
"Bersabar sebentar lagi, ya? Aku akan kembali padamu, Chagiya ...."
***
Diana pulang dengan pikiran semrawutan. Telepon mendadak dari Chanyeon saat di rumah sakit itulah penyebabnya. Apalagi kebetulan Chanyeon menyebutnya Anna dengan kata-kata manis, itu petaka besar karena menjadikannya kini berfantasi; andai saja barusan itu bukanlah sebatas sandiwara.
Tak mau banyak membuang waktu karena sudah dini hari. Diana bergegas bebersih diri sebelum tidur.
Tidak sampai 15 menit, Diana sudah keluar dari kamar mandi dengan mengenakan nightgown warna peach.
Dengan melamun, Diana menyisir rambutnya sembari sorot matanya menatap wajah dirinya di pantulan cermin. Pikirannya tidak bisa lengah dari telepon barusan, itu menyebalkan sekali.
Mendengkus. Merutuki Chanyeon lewat senyap, perkara kenapa lelaki ini masih bertindak seenaknya padanya di saat masih lupa ingatan. Bisa-bisanya bertindak mirip sekali layaknya sosok Chanyeon yang ia kenal.
Ajang menyisir rambut sudah selesai. Diana meletakkan sisir ke meja rias. Lalu membawa tubuhnya ke petiduran.
Sedangkan, Seoul sudah masuk jam 3 pagi, tetapi Chanyeon belum juga tidur. Ia sengaja untuk tak kunjung tidur, menunggu Diana sampai rumah untuk dirinya jujur tentang semuanya.
Seulas senyum singgah di bibir Chanyeon. Ia sedang merebahkan tubuhnya di kasur, mengangkat sebelah tangannya yang tersemat cincin paladium, menatapnya dalam temaran lampu tidur.
"Sampai saat ini, apakah kau masih sendiri, Anna?" gumam Chanyeon. Ulasan senyumnya mengendur. Ia takut Diana sudah memilih lelaki lain sebagai piihan hidupnya. Merutuki kenapa terlalu lama untuk bisa mengingat semua masa lalunya.
Chanyeon meneguk ludahnya. Ia mencoba menghilangkan pikiran buruk itu yang hinggap. Mengambil ponsel di nakas. Menilik jam di ponsel. Berkesimpulan jika Diana sudah sampai rumah.
Mengangkat tubuh bongsornya menjadi duduk berselonjor, Chanyeon memberanikan diri menelepon Diana lagi.
Sedangkan Diana sudah menarik bed cover hingga dada. Berdoa sejemang untuk kemudian tidur. Namun, nyatanya sebelum berhasil memejamkan mata, ponselnya berdering, membuatnya mau tak mau beringsut mengulurkan tangan untuk mengambil ponselnya di atas nakas.
Telepon itu dari Chanyeon. Entah mau senang atau malah bertambah nelangsa, Diana memilih menggigit bibir bawahnya. Mengangkatnya dengan posisi masih berbaring di kasur.
"Yoboseyo ...."
"Ada yang bisa saya bantu lagi, Chanyeon-ssi?" tanya Diana. Tak mau basa-basi.
"Euisa-nim ...."
"Iya. Ada apa?"
"Saya mau mengatakan sesuatu."
"Iya. Katakan saja. Jangan sungkan."
"Maaf. Lagi-lagi saya lancang mengganggu Anda dengan menelepon dini hari seperti ini."
"Tidak apa-apa. Jangan sungkan, Chanyeon-ssi."
Diana menghempaskan napasnya. Ia berharap Chanyeon tidak mengajaknya belajar dialog lagi seperti di rumah sakit.
"Euisa-nim ...."
Rupanya Chanyeon sungguh lambat untuk mau mengatakan hal sebenarnya. Itu cukup menjadikan Diana agak kesal karena ia juga ingin segera tidur.
"Barusan itu saya berbohong, Euisa-nim."
Kejelasan Chanyeon ini lolos membuat Diana mengerutkan dahi. Ia belum paham maksud Chanyeon. Barusan itu 'kan memang bohong, sekedar drama, ia tahu, lalu kenapa jujur perkara kebohongan itu lagi?
"Maaf, saya belum paham dengan kejelasan Anda ini, Chanyeon-ssi," timpal Diana dengan hati-hati.
"Euisa-nim ...."
"Iya?"
"Saya sangat merindukan Anna. Barusan itu bohong. Saya sudah bisa mengingat semuanya, Euisa-nim."
Jantung Diana terasa berhenti berdetak sejenak. Ia belum bisa percaya dengan apa yang barusan didengar oleh runganya. Ia malah khawatir, sangat khawatir, jika ini hanyalah sebuah mimpi atau malah halusinasi belaka.
"Aku sudah mengingat semuanya, Anna. Aku merindukanmu. Aku sangat merindukanmu. Dan aku juga masih sangat mencintaimu, Anna ...."
Perasaan Diana tambah rumit mendapat kejelasan ulang Chanyeon itu yang lebih gamblang. Bibir Diana terkelu. Jantungnya berfungsi lagi dengan menggedor hebat dadanya. Kedua mata kelamnya berkaca-kaca.
"Hari-hari aneh kemarin itu tidak bisa menghapus perasaanku ini padamu. Bukankah cinta tak bisa dipaksakan, Anna? Itulah kenapa gadis itu tak bisa mencuri hatiku sepenuhnya. Pada akhirnya, cintaku tetaplah dirimu. Bahkan aku mencintaimu lebih dari yang kau pikiran, Anna ...."
Diana menumpahkan bendungan air matanya.
_________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro