Entah kenapa keadaan gemar sekali mempermainkan perasaan. Sering kali di saat kita tidak menginginkan dipertemukan dengan suatu hal, justru hal itu dipertemukan tiba-tiba dengan mudahnya. Layaknya pertemuan antara Diana dengan Alina barusan, walaupun sekedar saling tatap sejemang.
Rupanya tidaklah sampai di situ. Hal lain merundung Diana; keadaan Tuan Widjaya kembali menurun drastis tiga jam lalu, hingga akhirnya Tuan Widjaya menghembuskan napas terakhirnya.
Yuri dan ibunya menangis meraung sembari menciumi wajah Tuan Widjaya yang dingin. Daeshim terisak. Juna, Dina, dan Diana menangis dalam diam hingga sesekali sesenggukan.
Kepergian ini terlalu cepat bagi mereka semua. Egonya tidak mau mengikhlaskan, tetapi keadaanlah menjebak mereka untuk terpaksa rela.
Dina pingsan. Tubuhnya limbung ke samping Juna. Segera Juna membopong Dina ke sofa dengan paha Diana sebagai sandarannya.
Kondisi Tuan Widjaya tampak lebih baik dari sebelumnya, bahkan dokter mengatakan bahwa peluang untuk sembuh cukup besar. Namun, nyatanya apa pun yang ada di dunia ini seutuhnya kekuasaan-Nya. Prediksi sosok hamba dipatahkan dalam sekejap dengan kondisi Tuan Widjaya memburuk drastis diawali dengan kejang-kejang hebat.
Tuan Widjaya tak meninggalkan sepatah kata pun di detik-detik sebelum meninggal. Hanya saja sebelumnya beliau sudah berpesan agar Juna senantiasa menjaga Diana, hingga anak perawannya ini menikah. Tuan Widjaya menangguhkan kepercayaannya pada Juna karena beliau tahu, besok saat Diana menikah, Juna-lah yang berhak menjadi wali atas anaknya itu yang sudah terputus secara agama. Hanya Juna-lah sosok lelaki Muslim yang segaris darah dengan ayah Diana sekalipun jika Tuan Widjaya tidak meninggal, tetaplah Juna yang berhak atas Diana untuk bisa menjadi wali nikah. Seperti sebelumnya yang menjadi wali nikah Dina adalah Juna.
Tak butuh waktu lama, Dina siuman saat brankar jenazah Tuan Widjaya didorong keluar ruang rawat oleh petugas rumah sakit untuk diurus pemandian dan hal lainnya. Yuri, Daeshim, dan ibunya mengekori.
Diana beringsut mengambil sebotol air putih untuk Dina.
Mata Dina yang masih memerah menangis lagi. Ia menerima uluran sebotol air putih dari Diana. Meneguknya perlahan.
Kedua mata Diana pun tak kalah sembap. Bahkan kini cairan bening itu keluar lagi dari kelopak matanya. Cepat-cepat ia menunduk, menyekanya dengan punggung tangan. Sekon kemudian kala mengangkat wajahnya, Diana menangkap wajah seseorang yang sedang mengamatinya lewat kaca di pintu.
Diana memicing untuk memperjelas siapa sosok itu di luar sana. Oh, ternyata penglihatannya tidaklah salah. Itu Chanyeon.
Mengangkat tubuhnya. Diana melangkah pelan ke arah pintu.
Tanpa permisi, Chanyeon membuka pintu mendapati Diana beringsut melangkah ke arahnya, membiarkan tubuh bongsornya masuk, mengamat wajah beraura kacau milik Diana.
Chanyeon tahu Diana sedang berkabung, barusan dirinya sempat berpapasan dengan brangkar jenazah dari ruangan ini.
Diana maupun Chanyeon sama-sama menghentikan langkahnya kala mereka sudah saling berhadapan. Tatapan keduanya saling bertumpu.
Kedua mata Diana sembap dan ada sisa air mata di sudut kelopak mata Diana. Itu berhasil membuat sebelah tangan Chanyeon tergerak, menghapus pelan sisa air mata itu dengan jemarinya.
"Saya turut berduka atas kehilangan yang baru saja menimpa Anda, Euisa-nim. Dan saya percaya Anda adalah sosok yang tegar," ungkap Chanyeon.
"Terima kasih ...," balas Diana dengan lirih.
"Saya--"
"Maaf, Chanyeon-ssi, ada sesuatu yang harus kami urus. Kami harus segera keluar dari sini," interupsi Juna. Ia tidak peduli barusan itu sopan atau tidak, tetapi kewajibannya ini prioritas; menjaga Diana, melindungi keponakannya ini dari lelaki bernama Chanyeon.
Juna tidak habis pikir dengan mudah sekali tetiba Diana dan Chanyeon bisa berkontak lagi dan bertemu sekarang, berhasil membuat pikirannya semakin kacau. Dari dulu dirinya tidaklah menyukai Chanyeon dengan sikap arogannya itu yang memperdaya Diana dulu, hingga kini pun masih sama tidak suka, bahkan lebih tidak suka.
Cepat tanggap, sembari ada rasa rikuh berlebih di hati Chanyeon, rapper EXE ini pun berpamit. Ia pun harus mengurus samchon-nya yang sudah diperbolehkan pulang sore ini.
"Hwaiting!" Begitu kata penyemat Chanyeon yang diberikan pada Diana sebelum pergi.
***
Usai salat asar, Diana berpapasan dengan Alina lagi. Sepertinya Alina baru saja beringsut pulang dari ajang menjenguk Manajer Jang.
Diana pikir pertemuannya dengan Alina akan monoton dengan sekedar saling tatap, nyatanya Alina justru berbuat lebih. Gadis Ukraina itu tanpa permisi meraih sebelah tangan Diana, membawanya ke toilet.
"Ada apa denganmu, Agassi?" tanya Diana dengan malas setelah sampai di depan wastafel.
Alina tampak tersenyum masam mendengar pertanyaan itu.
"Aku hanya ingin menjelaskan sesuatu, Agassi," timpalnya.
"Apa? Kau akan menjelaskan jika kau masih menjadi kekasihnya, hmm?" cecar Diana.
Bukan menjawab. Alina justru mengulang senyum sinisnya. "Bukan," singkatnya.
"Lalu?" Sebelah alis Diana terangkat.
"Kau harus berterima kasih padaku, Agassi. Karena perlahan-lahan Oppa bisa mengingat masa lalunya bukanlah tanpa sebab. Melainkan karena aku sudah tidak lagi memberikan obatan itu padanya," jelas Alina, berhasil membuat kedua mata Diana membulat.
"S-serius?"
"Hmm. Kau pikir ada cara lain Oppa bisa mengingat jika tidak dengan diberhentikannya meminum obatan ilegal Dokter Louis itu?" Tatapan Alina menyinis. Menghempas napasnya sejenak. "Tidak ada cara lain, Agassi. Dan selama itu aku menggantinya dengan pil vitamin," imbuhnya.
Raut muka Diana masih bingung. "T-tetapi kenapa kau melakukannya? Bukankah ini akan membuat kau kehilangan Oppa?"
"Karena aku tidak mau lagi diperbudak oleh keserakahanku. Dan aku tidak lagi mau diperbudak oleh egoisnya Ahjumma. Dan juga aku tidak lagi mau diperbudak olehmu." Nada kalimat terakhir untuk Diana terlesat penuh penekanan.
"O-olehku?" Diana menunjuk dirinya dengan jari telunjuk, penuh keki.
"Iya. Olehmu. Kaulah yang menyeretku masuk ke lubang ini, Agassi. Jika saja kau tidak gegabah dengan keputusan itu, sampai detik ini pasti aku masih bisa hidup tenteram menjadi seorang fangirl pada umumnya," jujur Alina. Ia sungguh muak dengan keadaan yang menghimpitnya kini. Sebuah keputusan beresiko yang sangat disesalinya. Keputusan maha bodoh yang pernah dilakukan semasa hidup dengan mau menjadi kekasih Chanyeon dengan cara licik seperti ini.
Tubuh Diana terasa kaku. Ia tidak bisa berbuat hal apa-pun, bahkan hanya sekedar membalas cecaran Alina. Ia justru terbawa omongan Alina ini, pikirannya berlayang-layang ke momen saat Chanyeon kritis.
"Kau menyeretku ke drama ini, Agassi. Kau yang gegabah melepaskan Oppa, memberikannya padaku, tetapi sekarang kenapa kau mau mengambilnya kembali?" Emosi Alina semakin menjadi-jadi. Sebelah tangannya menjorog bahu Diana.
Kaki Diana tergeser ke belakang satu langkah. Pikirannya masih kalut dengan kondisi kebingungannya memilih sebuah keputusan saat Chanyeon kritis.
"Pabo! Kau telah menjadikanku robot mainanmu. Dan kau juga telah menjadikan Oppa robot keputusasaanmu. Maumu sebenarnya apa? Apa kau tak ingat yang menjadikan Oppa kecelakaan adalah dirimu? Kau bukanlah pahlawannya, melainkan kaulah muara kesengsaraannya, Agassi!" Alina menjorog Diana lagi.
Satu langkah kaki Diana tergeser ke belakang lagi. Tubuhnya sempurna menempel pada dinding putih sebelah wastafel. Omongan Alina barusan sangat menohoknya. Dadanya menyesak perkara sungguh benar jika dirinyalah muara kesengsaraan Chanyeon.
"Tetapi aku tidaklah sejahat dirimu. Aku akan melepaskan Oppa memilih jalannya. Aku akan melepaskan Oppa kembali mengingat semua masa lalunya. Aku akan membiarkan Oppa kembali mengingatmu. Aku akan membiarkan Oppa kembali padamu, lalu membelamu mati-matian sekalipun kaulah muara kesalahannya, berbalik mengkambing hitamkanku yang sebetulnya hanyalah korban." Terlalu geram. Sebelah tangan Alina mengepal kuat.
Dada Diana penuh oleh rasa sesak. Ia sangat merasa bersalah pada banyak pihak. Terutama Chanyeon dan Alina.
"M-mianhae," maaf Diana dengan susah payah. Kedua mata kelamnya berkaca-kaca.
Mendengar gumaman maaf Diana, lolos menciptakan senyum masam di bibir Alina. "Aku sangat iri padamu, Agassi," cecarnya.
"Mianhae. Jeongmal mianhae," maaf Diana lagi sembari menatap dalam mata hazel Alina. Kedua matanya semakin memanas. Sialnya tubuhnya pun terasa begitu lemas.
Alina menghela napasnya. Ada rasa iba melihat mata kelam berkaca-kaca di hadapannya, tetapi rasa kesal pada Diana ini lebih besar, egoisnya justru ingin memaki Diana kini, tetapi ia tidak bisa, padahal tak ada seorangpun di toilet ini.
"Bisakah aku meminta satu permintaan padamu, Agassi?" Akhirnya himpunan kata itu yang terlesat dari mulut Alina dengan nada lebih bersahabat.
Diana mengangguk perlahan.
"Menjauhlah dari Oppa selama ingatannya belum pulih total. Kumohon ....," pinta Alina. Entah kenapa sepasang mata hazel-nya kini memanas, cepat-cepat pergi meninggalkan Diana begitu saja, tanpa menunggu jawaban Diana.
Diana terkulai. Perlahan-lahan tubuhnya merosot ke bawah. Kedua kakinya ia tekuk. Bendungan mata kelamnya hancur sudah, mengalirkan cairan bening ke pipi. Dadanya penuh sekali oleh rasa sesak akan rasa bersalah. Berakhir menyalahkan dirinya sendiri.
Diana menangis dalam diam seraya memeluk kedua kakinya. Bayangan momen pra-kecelakaan Chanyeon mulai menghantuinya.
"Oppa, ada sebuah tempat yang bisa mempertemukan aku denganmu, jika kau benar-benar putus asa merindukanku ...."
_________________________
Translate:
Hwaiting= semangat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro