Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sunbae

Atmosfer di sekitaran ruang makan Chanyeon berubah mendebarkan.

"A-aku belum bisa menjawabnya." Mulut Diana mengeluarkan suara dengan sulit.

Chanyeon mengangkat sebelah alisnya. Menatap bingung kenya Indonesia berjepit rambut klip renda telinga kelinci yang kini malah beringsut menunduk dalam. Ia baru mengenal Diana lebih dalam kini, jika kenya ini yang biasanya cukup judes masih mempunyai sifat pemalu yang tertanam kuat.

Sesaat kemudian Chanyeon mengurvakan bibirnya. Diana semakin dalam tunduknya.

"Tidak apa-apa. Lagi pula kau tak harus menjawabnya sekarang," omong Chanyeon. Mencoba mengalihkan kecanggungan Diana.

"Atau kau tak mau menjawabnya juga tidak masalah. Mendapati fakta kau juga mencintaiku, sebenarnya juga itu sudah cukup untukku. Mianhae, aku jadi serakah," imbuhnya, menatap dalam Diana yang masih kukuh menunduk.

Gerakan Diana memainkan tangan di atas paha tertahan. Entah kenapa, ucapan Chanyeon barusan berhasil membuatnya lega. Mengangkat wajahnya.

"Jangan meminta maaf, kau tidak bersalah, itu wajar saja," sangkalnya.

"Baiklah, Anna. Gomawo."

"Tidak usah berterima kasih juga padaku, Oppa."

Chanyeon tersenyum lebar. Mengangguk pelan.

***

Seharian ini Diana sangat tidak fokus mengikuti mata kuliah. Pikirannya terus-terusan terbawa ke percakapan di habis sarapan pagi dengan Chanyeon, yang mana ia niat menjawabnya nanti malam. Perihal tanya, apakah dirinya mau menjadi kekasih Chanyeon, alias pacar.

Semrawutan sekali pikiran Diana ini. Sebenarnya, apa yang sesungguhnya ia harapkan ketika nekat untuk jujur pada Chanyeon; menginginkan fase menjadi sepasang kekasih atau sekedar untuk membuat plong perasaan dengan mengatakan kejujuran yang ada, tanpa afeksi apa pun setelahnya.

Diana malah linglung.

Egoisnya, Diana juga menginginkan bisa menjadi sepasang kekasih, tetapi di sisi lain itu menyalahi prinsip hidupnya selama ini untuk menjomblo, pacaran dalam pernikahan saja.

"Ya! Hari ini kau banyak melamun, Di," celetuk Eunji sembari menepuk sebelah bahunya, setelah berhasil duduk di kursi kayu taman kampus.

Tidak bertindak apa-apa. Diana meneruskan lamun seraya menatap lepas sesuatu di hadapannya di taman kampus.

"Kenapa? Apakah kau takut pada Soobin karena dengan gaya rias wajahmu sekarang, dia jadi lebih jelalatan menatapmu?" Eunji mencelutuk lagi setelah menyesap softdrink.

Diana mendengkus. "Tidak ada sangkut pautnya dengan Soobin. Dia sudah biasa begitu, aku sudah kebal."

Eunji terkikik. Diana malas mengucap apa pun lagi, apalagi jika yang diobrolkan haruslah Soobin--teman sefakultasnya yang terobsesi dengannya dari awal ia masuk kampus--malas sekali.

Akhirnya, Diana dan Eunji saling membisu, menatap lepas apa pun yang ada di hadapannya.

Tak berselang lama, tampak Soobin melintas dan langsung nyengir, mengedipkan sebelah mata ke Diana. Membuat Diana mual dan malas menanggapi, beringsut pura-pura tidur dengan menyandarkan kepala ke sebelah bahu Eunji.

Itu berhasil membuat Eunji terkikik lagi. Lantas berseru, "Cepat kau pergi, Soobin!" Menatap sebal.

Soobin mendengkus ke arah Eunji untuk kemudian enyah.

"Di, bangun," perintah Eunji beberapa saat kemudian.

Masih malas membuat tanggapan, Diana kukuh membisu dan memejamkan mata.

"Ada seseorang yang mau bertemu denganmu. Bangun, Di." Suara Eunji melirih.

"Pasti Soobin, 'kan? Aku malas bangun," timpal Diana dengan cemberut, kukuh memejamkan netra.

"Bukan. Ini sunbae. Dikta Oppa, Di."

Mendengar nama Dikta, tanpa dibangunkan ulang, Diana langsung beringsut membuka mata yang langsung menangkap sepasang sepatu kets putih di depan kedua kakinya dengan jarak dekat. Tergesa duduk dengan benar untuk kemudian mendongak, menatap seniornya yang sudah berdiri tepat di hadapannya itu, Kak Dikta.

Tak ada kata sapa yang diucapkan Diana sebab mendadak gugup, memilih senyum kecil ke lelaki hitam manis di hadapannya.

"Ini untukmu. Agar kau tidak mengantuk, Di," kata Dikta dengan bahasa Indonesia, sembari mengulurkan cup kopi moccachino dingin kesukaannya dan satu lembar cokelat batang.

Diana malah seperti orang linglung dengan perlahan kedua mata cokelat tuanya menatap tak percaya uluran sebelah tangan Dikta berisi se-cup moccachino dan cokelat.

"Ini benar untukku, Kak?" selidik Diana dengan bodohnya, masih meraut bingung tak percaya.

"Iya. Untukmu. Jika kau tak mau, kau bisa memberikannya pada teman di sebelahmu itu, atau siapapun, terserah dirimu," timpal Dikta dengan bariton khasnya.

Mendengar itu, Diana jadi salah tingkah. Mengulas senyum untuk kemudian meraih uluran Dikta dengan kedua tangan. Lantas sesaat kemudian berdiri untuk berterima kasih pada Dikta.

"Terima kasih, Kak Dikta. Aku akan segera meminum kopi dinginnya. Kebetulan moccachino adalah kesukaanku dan aku sangat menyukai cokelat juga. Sekali lagi terima kasih, Kak." Diana mengatakannya dengan gugup, dengan kedua tangan yang masih memegang cup kopi dan selembar batang cokelat.

Dikta tampak mengulas senyum, berhasil membuat afsun tersendiri bagi Diana yang semakin merasa canggung.

"Terima kasih kembali. Aku senang mendengar kau menyukainya. Ya sudah. Aku pergi," ungkap Dikta, beringsut pergi setelah Diana merekahkan senyum untuknya lagi sembari menyahut, "Iya, Kak."

Setelah Dikta sudah menjauh, Eunji langsung meledek Diana dengan terbatuk-batuk akan adegan macem apa yang ditontonnya barusan. Ia memang tidak paham bahasa yang digunakan Diana dan Dikta, tetapi menyimak bagaimana cara Dikta memberikan cup kopi dan cokelat, tatapan mata lelaki itu, respon Diana, ia mendapat sebuah asumsi; Dikta tertarik dengan Diana dan Diana sangat gugup karena tak terkira bahagia akan polah Dikta barusan yang tak lain adalah idolanya di kampus.

"Sunbae mulai tertarik denganmu, Di."

"Itu tidak mungkin," sangkal Diana sembari mulai meminum moccachino dingin dengan perasaan semringah.

"Aku melihat dari tatapan matanya kepadamu, dia menyukaimu, Di. Pula, tetiba dia memberikan kau kopi dan cokelat untuk apa coba jika bukan untuk menarik perhatianmu, eoh?" ujar Eunji, menatap penuh selidik ke arah Diana yang mencoba menyembunyikan perasaan semringah yang ada.

"Katanya barusan, agar aku tidak mengantuk," sahut Diana, meminum moccachino lagi dengan senyum senang mengingat nada bariton itu mengata.

"Serius dia bilang begitu kepadamu, Di?" Eunji semakin antusias.

"Hmm. Barusan dia mengatakan begitu."

"Aigo. Tak salah lagi. Pasti dia dari tadi memerhatikanmu, mendapati kau tidur, bergegas membuat perhatian dengan membelikan kopi dingin dan cokelat di kafetaria."

"Jangan berlebihan. Dia bukan tipe lelaki seperti itu. Dia tipikal manusia irit bicara dan juga irit membuat perhatian kepada perempuan." Diana mengibaskan sebelah tangannya.

Eunji ber-huh lemah. "Justru karena dia irit bicara dan irit membuat perhatian pada perempuan. Tetiba dia melakukan dua hal itu padamu, itu artinya kau sudah berhasil menarik perhatiannya, Di," cicitnya.

"Kau pikir sosok Dikta Oppa mau melakukan hal seperti barusan tanpa alasan, eoh? Apalagi melakukan perhatian remeh seperti barusan dengan tipikalnya yang selalu tampak serius. Kau pikir ini hal biasa saja?" lanjutnya.

Diana mematung linglung menatap Eunji.

"Tidak, Di. Barusan itu hal remeh yang tak mungkin dilakukannya. Kecuali satu hal; kepada seseorang yang sedang dia sukai untuk mencari perhatian sosok itu," jelas Eunji untuk membuka pemahaman baru bagi Diana.

Diana bertambah linglung. Belum percaya.

***

Malamnya, Chanyeon pulang dengan membawa dua porsi tteokbokki dan eomuk. Menaruhnya di meja keluarga untuk kemudian menelepon Diana agar segera ke ruang keluarga.

Usai menelepon Diana, Chanyeon bergegas mengambil 2 softdrink di kulkas, dan tersenyum geli saat mendapati sticky notes biru laut tertempel di pintu kulkas.

COKELAT BATANG DI KULKAS PUNYA ANNA. JANGAN DIMAKAN!

┌∩┐(◣_◢)┌∩┐

Tetapi seruan itu justru membuat Chanyeon tergerak untuk berbuat jail, mengambil 2 softdrink beserta cokelat batang milik Diana. Kembali ke ruang keluarga dan memakan cokelat batang itu.

Disela-sela Chanyeon memakan cokelat batang, Diana datang dengan langkah ringan. Mengambil posisi duduk di sofa yang bersampingan dengan sofa yang Chanyeon duduki.

"Kau tahu saja jika aku sedang ingin tteokbokki, Oppa," ungkap Diana dengan semringah, menatap tteokbokki yang sudah dihidangkan dengan mangkok, sudah juga ditata Chanyeon bersamaan dengan softdrink untuknya.

"Iya. Maka cepat makan, jika sudah dingin nanti tidak enak. Omong-omong, cokelat punyamu ini enak juga, Anna," sahut Chanyeon yang masih mengunyah cokelat batang Diana, lalu meletakkan sisanya ke meja.

Diana yang sedang menyumpit tteokbokki terhenyak, bola matanya memutar ke arah sisa cokelat batang di meja, baru ngeh jika cokelat yang sedang dimakan Chanyeon adalah miliknya.

"Jadi kau mengambil cokelat di kulkas, Oppa?" selidik Diana dengan perasaan berangsur nelangsa.

"Iya, Anna," jawabnya pendek. Chanyeon sibuk menyumpit tteokbokki, melahapnya.

Cemberut singgah di bibir Diana. Menatap kesal Chanyeon yang malah acuh tak acuh dengan sibuk ke tteokbokki, tanpa merasa bersalah sedikitpun.

"Apa kau tak melihat sticky notes di pintu kulkas?"

"Aku melihat dan membacanya. Aku juga masih hapal tulisanmu itu yang diakhiri emoticon galak." Chanyeon mulai melahap tteokbokki setelah menimpal itu.

"Cokelat batang di kulkas punya Anna. Jangan dimakan," imbuh Chanyeon, merapalkan warning Diana dengan masih mengunyah tteokbokki, tersempal senyum geli.

Air muka Diana semakin keruh menatap Chanyeon.

"Besok aku akan menggantinya. Tenang saja, Anna. Aku akan membelikanmu cokelat banyak nanti. Kalau perlu dan kau mau, aku juga akan membelikan yang panjangnya satu meter," jelas Chanyeon dengan sikap angkuhnya yang kumat lagi. Enteng mengulas senyum pada Diana yang sedang menanggung kesal.

"Tidak usah," ketus Diana, kemudian melahap tteokbokki.

Nada ketus barusan membuat Chanyeon melirik ke arah Diana lagi. Menatap wajah Diana yang ambek, memakan tteokbokki dengan gaya kurang berselera.

"Apa kau hendak memakan cokelat itu malam ini, Anna? Jika iya, aku akan membelinya segera. Jangan ngambek begitu." Chanyeon mulai merasa bersalah.

"Tidak. Sudahlah. Jangan dipikirkan. Berikan saja sisanya itu untukku," omong Diana, menatap Chanyeon sekilas untuk kemudian melahap tteokbokki lagi.

Chanyeon masih membisu menatap Diana yang benar-benar ambek. Melirik ke arah sisa cokelat batang di meja yang tinggal sebalokan kecil.

Merasa bersalah dan sangat rikuh mendapati sikap masygul Diana, Chanyeon menaruh mangkuk tteokbokki-nya ke meja, meraih jaket denim yang terselempang di sofa.

"Tunggu sebentar, ya. Aku akan segera membelikan cokelat itu untukmu," kata Chanyeon sembari tergesa mengenakan jaket, beringsut untuk pergi.

"Tidak usah, Oppa!" seru Diana mendapati pergerakan cepat Chanyeon untuk enyah.

Langkah Chanyeon tertahan. Membalik tubuh untuk leluasa menjawab Diana.

"Tidak apa-apa. Bukankah kau ingin segera memakan cokelat itu sekarang?"

Diana menggeleng cepat. "Tidak. Jadi cepatlah kembali dan habiskan tteokbokki-mu."

"Tidak, Anna. Aku aka--"

"Jika kau membelikannya untukku, aku juga malas memakannya." Diana menginterupsi.

"Wae?" Dahi Chanyeon melipat samar, cukup tersinggung.

"Karena cokelat itu tak seberharga dengan cokelat yang kau makan."

Chanyeon belum maksud, tetapi alasan Diana itu cukup membuatnya kecewa.

"Apa maksudmu, Anna?"

Diana tampak ragu untuk menjawab, mengigit labium bawahnya.

"Apa maksudmu, Anna?" ulang Chanyeon.

"Karena cokelat itu adalah dari sunbae yang selama ini kukagumi," jelas Diana, kemudian memalingkan sorot matanya yang saling bertumpu dengan Chanyeon, memilih mulai memakan eomuk..

Chanyeon terhenyak akan pengakuan Diana barusan dengan perkara sunbae. Daksanya berasa remuk dengan kenyataan itu. Kenyataan akan pemberian cokelatnya nanti tidak akan seberharga dengan pemberian cokelat si sunbae, ini sangat mengesalkan.

Sedangkan, Diana justru menjadi melamunkan sosok Dikta. Mengingat kenapa dirinya diam-diam mengagumi lelaki hitam manis itu, tak lain sebab lelaki itu berbeda dari para sunbae lain; Dikta pribadi yang cukup membatasi pergaulan dengan perempuan, supel, dan cukup taat dalam agamanya sekalipun belum bisa dikatakan alim seperti ustadz. Inilah yang membuat Diana kagum, bahkan dalam munajat doanya, ia juga tak tanggung meminta dipertemukan di masa depan untuk menjadi imam rumah tangganya.

Perlahan, tanpa sadar melengkungkan bibirnya dengan membayangkan Dikta.

Sedangkan, melihat senyum Diana itu yang bukan untuknya, kedua tangan Chanyeon saling mengepal kesal. Lalu Diana tampak membuka tutup softdrink. Serebrumnya malah membawanya dalam memori Diana yang jujur perkara sunbae adalah bohong dan pengakuan jika kenya ini juga mencintainya.

Namun, sekarang apa? Diana mengakui selama ini mengagumi sosok sunbae? Chanyeon merasa dibodohi.

Jadi, sebenarnya siapa yang dominan di hati Diana sekarang kini? Atau jangan-jangan pengakuan Diana juga mencintainya adalah omomg kosong belaka? Memikirnya membuat Chanyeon pakau seketika. Tersenyum kecut.

Kepalan tangan Chanyeon semakin menguat. Emosinya meriuh. Batinnya mencecar hebat.

Kau sungguh hebat memainkan perasaanku, Anna!

__________________

Translate:
Sunbae: senior

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro