Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

River Flows in You

Hari terus berlalu sebagaimana mestinya. Kalender duduk Diana semakin banyak tertanda silang.

"Apa kau tak penasaran dengan suara dan permainan musikku, Anna?" celutuk Chanyeon malam ini kala bulan sabit tergantung apik di langit gelap Seoul.

"Tidak. Akhir-akhir ini aku banyak mendengar lagu-lagu EXE. Dan suara dalammu juga kentara sendiri. Aku paling paham," jawab Diana sembari tak acuh lagi dengan lelaki itu, bergegas mengambil sekotak jus apel di kulkas dan mengambil setoples camilan di pantry.

"Oh, iya?" Seperti biasanya, Chanyeon gemar membuntuti Diana.

"Hmm. Kau tidak percaya? Mau lihat list lagu di Spotify-ku?" sahut Diana setelah berhasil mengambil toples camilan, menatap Chanyeon.

"Tidak usah. Aku percaya padamu. Dan aku juga percaya jika suara dalamku di setiap lagu EXE pastilah menjadi daya tarik terbesar untukmu mendengarnya dengan penuh pengkhayatan." Chanyeon nyengir lebar.

Sorotan mata kelam Diana berubah sinis. 

"Aish! Dasar arogan! Itu asumsi sepihak. Aslinya tidak begitu. Aku lebih suka suara Bae Hyun Oppa," cecarnya.

"Serius? Aku tidak percaya." Chanyeon mengangkat sebelah alisnya. Cemberut.

"Serius. Aku suka suara Bae Hyun Oppa, lalu Kyung Seo Oppa, kemudian Key Oppa, dan seterusnya. Terakhir adalah dirimu," decak Diana, lalu enyah meninggalkan lelaki itu yang selalu pede berlebihan. Melangkah cepat ke kamar. Ada hal yang harus diurusnya malam ini daripada meladani sikap lelaki so' manis ini, mengerjakan tugas Mr. Theo.

Chanyeon masih cemberut menatap punggung Diana yang semakin jauh darinya.

"Ya! Tunggu, Anna!" serunya kemudian, mengejar Diana, memotong arah jalan Diana dengan tubuh jangkungnya.

"Ada apa? Kau suka sekali berlaku seperti ini. Memotong arah jalanku. Tidak sopan sekali!" cicit Diana. Netra kelamnya mengilat sebal.

Chanyeon cemberut lagi.

Diana tertawa kecil untuk itu. Uh, dari awal tinggal di rumah ini muka masygul lelaki oriental di hadapannya adalah hal yang dirinya sukai.

"Apakah tertawamu sudah puas, hmm?" selidik Chanyeon kemudian, tatkala tawa kecil Diana berhenti. Wajah gadis ras melayu di hadapannya tampak semringah sekali.

Diana malas menjawab. Memilih menatap sinis Chanyeon.

"Ikut aku sebentar," ajak Chanyeon. Tanpa ragu menarik sebelah tangan Diana yang menganggur--tidak memeluk toples camilan dan sekotak jus apel--untuk mengikuti langkahnya.

Cukup terhenyak, tetapi Diana tetap bungkam mengikuti alur langkah Chanyeon yang menarik sebelah tangannya ini. Melangkah ke sudut ruangan rumah yang di mana terdapat sebuah grand piano dengan body dari kayu berwarna merah kecokelatan, menghadap ke dinding kaca lebar yang sebagian tirainya terbuka.

"Kenapa ke sini?" Diana tampak bingung.

"Kau pikir untuk apa aku membawamu ke sini, hmm?" Chanyeon malah menanya balik.

"Kau mau pamer bermain piano dan menyanyi dengan suara sumbangmu?"

"Iya, aku mau pamer bermain piano, tapi bukan dengan suara sumbang yang tak kumiliki. Berhentilah mengatakan suaraku sumbang, Anna. Bohong sekali kau ini!" Chanyeon mencicit sebal.

Diana nyengir lebar.

"Jadi sekarang duduklah." Chanyeon menyilakan Diana untuk duduk setelah ia menggered bangku piano ganda yang memang didesain bisa diduduki untuk 2 orang.

Diana melirik sejemang bangku piano yang berwarna senada dengan body piano, sebelum menatap kembali wajah Chanyeon yang masih khidmat menatapnya.

"Mainkan piano yang bagus dan jangan buka mulutmu dengan suara sumbang!" peringatannya sesaat lalu sebelum duduk seperti titah Chanyeon.

***

River Flows in You dari pianis masyhur Yiruma mengharmoni, memecah sunyi yang ada di malam rumah Chanyeon.

Chanyeon sungguh masuk dalam permainan pianonya. Mengkhayati setiap nada yang berhasil ia ciptakan oleh jemari-jemari tangan kekarnya yang lincah menekan tuts-tuts. Sesekali lelaki bongsor ini tampak mengulas senyum, memamerkan rendah lesung pipitnya.

River Flows in You ini adalah salah satu jajaran lagu favoritnya. Beberapa kali juga dirinya membawakan lagu ini dalam tampilan di variety show, saat menunggu di belakang panggung, saat sendirian di studio musik, atau di rumahnya dengan grand piano ini. Instrumennya indah dan sangat menyentuh hati, itulah mengapa kali ini dirinya tunjukkan permainan pianonya bersama instrumen River Flows in You untuk Anna-nya.

Sedangkan, gadis Indonesia ini rungunya sungguh termanjakan oleh alunan syahdu yang ada. Bibir kenyalnya merekah senyum sembari dua kelereng matanya mengamat gerak lincah tangan Chanyeon pada tuts-tuts piano.

Perlahan, Diana menatap ke samping, menemukan wajah Chanyeon dengan jarak sedekat satu lampiran buku tangan. Mengamat sebagian furnitur wajah itu yang sedang mengkhayati nian instrumen hasil permainan pianonya.

Apa yang sebenarnya diharapkan dari lelaki ini? Tetiba sisi hati Diana bertanya demikian. Membuat kenya syahda ini mengendorkan senyumannya. Melupakan sejemang perkara afeksi menyebabkan afsun sosok Chanyeon yang pekat.

Entahlah. Ia tidak paham. Ia sungguh tidak paham. Yang ia paham kini hanyalah sebatas rasa nyaman bersama Chanyeon dan rasa cinta yang semakin berkobar-kobar. Berakhir rasa resah yang menyiksa.

Benar. Rasa resah yang menyiksa sekali malahan. Kenyataan perjanjian 3 bulan tinggal menghitung jari sesaat lalu berhasil membuat wajah Diana murung.

Akan berakhir seperti apa? Apakah pada akhirnya akan ada yang merasa dilukai atau melukai? Ia sungguh tidak tahu.

Ah, hubungannya dengan Chanyeon ini rumit. Sekalipun Diana tidak menerima ajakan berpacaran itu, tetapi Chanyeon cukup pandai bersikap dan menjadikan seolah-olah ia adalah kekasihnya, bukan sekedar teman. Kadang, ia juga menyesali, kenapa dulu jujur perkara perasaannya pada Chanyeon.

Karena melamun, Diana menjadi tidak ngeh kalau permainan piano Chanyeon di sampingnya berakhir. Meninggalkan kesunyian malam di antara mereka berdua lagi.

"Ya! Apa yang sedang kau pikirkan? Kenapa wajah Anna-ku ini malah murung? Apakah permainan pianoku barusan jelek?" Chanyeon menyelidik bingung. Merasa cukup kecewa juga sebab tidak mendapat apresiasi baik setelah instrumen romantis yang dibawakannya barusan habis.

Lamunan Diana pecah sudah. Ia sungguh sinting dengan baru sadar kalau Chanyeon tengah menatapnya penuh selidik kini. Lebih sintingnya lagi dengan jarak yang sangat dekat hingga mungkin lelaki itu bisa mendengar deru napas kagetnya barusan.

Cepat-cepat Diana menarik wajahnya untuk menatap ke arah semula--ke arah grand piano di hadapannya.

"Permainan pianomu sangat bagus. Aku sangat menyukainya. Kapan-kapan kau bisa memainkannya lagi untukku dengan lagu yang berbeda, Oppa," kilah Diana dengan apresiasi itu. Menatap semringah Chanyeon sejemang.

Chanyeon jelaslah menyukai pujian Anna-nya. Apalagi dengan permintaan yang terucap barusan perkara memainkan piano lagi di lain waktu dengan lagu berbeda, ia sangat bersemangat.

"Gomawo, Anna. Aku berjanji akan memainkannya lagi untukmu dengan lagu yang berbeda nanti," ujarnya dengan sorotan mata berpendar pancarona.

Diana melirik ke arah Chanyeon lagi. Mengangguk senang sebagai jawaban.

"Ada sesuatu yang sedang meresahkan pikiranmu. Apa itu, Anna? Bagi tahu aku," pinta Chanyeon kemudian, berhasil membuat Diana tampak cukup terhenyak.

"Tidak ada," kilah Diana cepat dengan terburu menarik arah pandangnya dari Chanyeon.

Bohong. Begitu kesimpulan Chanyeon mendengar jawaban barusan dengan tubuh Diana yang tampak gusar.

"Bukan jawaban seperti itu yang aku inginkan, Anna," keluhnya dengan nada bass yang meresahkan rungu Diana.

"Jawaban seperti apa yang kau mau?" Diana kukuh menatap grand piano.

"Kejujuran," tegas Chanyeon.

Diana tehenyak lagi. Merutuki Chanyeon yang semakin pandai saja membaca sikapnya.

"Apa yang sekarang kau resahkan? Katakan padaku. Barangkali aku bisa membantumu, Anna." Chanyeon terus membujuk Diana agar mau jujur.

Diana membisu. Air mukanya semakin keruh, tetapi cepat-cepat merekahkan senyum untuk memanipulasinya. Beringsut menimpali tatapan Chanyeon, berbohong lagi. "Tidak ada apa-apa, Oppa. Jangan khawatir."

Chanyeon tidak mudah ditipu. Ia masih paham jawaban barusan dari Anna-nya ini adalah sebuah kebohongan, tetapi pada akhirnya ia memilih untuk tidak egois dengan pura-pura percaya. Barangkali,  memang hal terbaiknya adalah ketidaktahuannya, ia mencoba bersangka baik.

Tak ada hal lain yang bisa Chanyeon lakukan selain menimpali ulasan senyum Anna-nya itu. Berujar lirih, "Aku sangat mencintamu, Anna ...."

Kedua netra kelam Diana berubah berpendar putus asa. "Jangan begitu, Dobby ...," gumamnya dengan ejekan Dobby untuk Chanyeon.

Chanyeon membisu. Menatap dalam Diana. Mendapati hinggapan putus asa layaknya dirinya dalam bola mata kelam itu. Sekon kemudian, ia tertawa renyah.

Tawa renyah yang memenuhi rungu Diana berhasil membuat Diana iba. Tawa renyah yang membalut rasa cemas kembaran Dobby.

"Jangan tertawa! Tawamu jelek sekali, Wahai Dobby!" Diana memilih mendecak.

Perlahan tawa renyah Chanyeon pudar seiring air muka keruh Diana yang menjernih lagi setelah meledeknya dengan Dobby--si peri rumah keluarga Malfoy dalam seri film atau novel Harry Potter.

"Kenapa kau begitu senang kala memanggilku dengan sebutan Dobby, Anna?" selidik Chanyeon, bibirnya dibuat cemburut.

"Karena itu membuatmu kesal. Aku menyukainya," jelas Diana, lalu terburu-buru memalingkan muka, menatap grand piano lagi sembari merapikan rambut dengan jemarinya.

Sejemang, sunyi merasuk lagi. Giliran Chanyeon khidmat menyimak furnitur wajah Diana dari arah samping. Pikirannya tetiba berseliweran lagi ke beban pikiran yang akhir-akhir ini menghantuinya. Membuat kadang ia enggan memejamkan mata untuk tidur setiap malam atau enggan membuka mata saat pagi. Karena hantu itu tak lain adalah hari demi hari yang bergulir cepat tanpa bisa dirinya kendalikan agar berwaktu lebih lama, agar perjanjian 3 bulan tak cepat berakhir.

Apakah setelah perjanjian 3 bulan berakhir, pada akhirnya Anna tetap mau berteman dengannya? Inilah keresahan Chanyeon yang sungguh menuai siksa dengan terka-terka tak pasti perkara jawaban apa yang akan diputuskan Diana nanti.

Chanyeon meneggak salivanya, menyebut, "Anna ...."

"Hmm, ada apa?" sahut Diana dengan lembut, tanpa menatap balik Chanyeon.

Pikiran Chanyeon mendadak semrawutan. Sifat tak sabarannya muncul dan tak bisa dirinya tahan lagi. Lelaki oriental ini meraih kedua tangan Diana yang menganggur untuk digenggamnya dengan lembut. Membuat kenya syahda ini perlahan menengok untuk balik menatapnya dengan membawa pertanyaan sama perihal ada apa dengan dua bola mata cokelat yang dimiliki.

Perasaan Chanyeon semakin kalut, wajah tampannya pun kusut, menjadikan Diana semakin penasaran perihal ada apa ini.

"Jika hari berakhirnya perjanjian 3 bulan itu datang, apakah kau mau membuat perjanjian baru, tetap menjadi temanku?" Kalah sudah, Chanyeon memilih meluapkan keresahannya tanpa banyak pertimbangan lagi. Memilih bebal akan jawaban-jawaban menakutkan yang barangkali akan dirinya dapatkan setelahnya.

Diana seketika membeku. Pikirannya mendadak semrawutan dengan manuver pertanyaan Chanyeon.

___________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro