Different
Gadis perawan ini layaknya mawar di taman yang sedang mekar, harum semerbak, mengagumkan mereka yang melihat, bahkan sebagian berhasrat ingin memiliki. Dan jelaslah jika sudah berhasrat ingin memiliki, haruslah mendatangi si pemilik taman, meminta restu untuk memetik. Beginilah analoginya ketika seorang lelaki pula mencintai seorang gadis perawan dan ingin memilikinya, mendatangi orang tuanya, meminta restu untuk menikahi si gadis. Begitu yang dijelaskan Diana kemarin malam pada Chanyeon. Sebuah umpama yang Diana dapatkan dari Syekh Edebali dalam serial kolosal Turki; Kurulus Osman.
Ini adalah analogi yang pernah diberikan Diana belum lama ini, membuat Chanyeon dengan sendirinya sadar; bahwa jika dirinya ingin benar-benar memiliki Diana, ia harus meminta restu orang tua Diana, jika menginginkan memiliki hubungan spesial dalam arti menikah.
Namun, apakah dirinya benar-benar tengah ingin serius dengan Diana? Atau, hanya sekedar obsesi dimabuk cinta kini? Entahlah, Chanyeon belum mengerti. Yang ia mengerti, untuk sekarang dirinya sangat mencintai Anna, terbesit ingin menikah dengan Anna juga di masa depan, tetapi dirinya sadar kalau mereka berbeda agama.
Tidak mau memikirkan itu yang membuat dirinya galau, baru-baru ini Chanyeon membeli cincin palladium couple yang sangat simpel tanpa mata--agar tidak mencolok saat dikenakan dan tidak menuai kecurigaan member EXE.
Entah apa maksud Chanyeon membeli cincin beginian, Diana tidak paham. Ia juga tak mau menerima itu, tetapi Chanyeon memaksa untuk menerimanya.
Huh, sebetulnya beginian pula membuat Diana tidak nyaman di dalam nyaman. Maksudnya, ini perkara afeksi Chanyeon yang diberikan itu, menoreh afsun yang semakin kuat yang membuatnya merasa semakin nyaman dengan lelaki itu, yang mana ini perlahan membuatnya resah kalau-kalau jerat afsun ini sulit pudar setelah perjanjian 3 bulan selesai. Iya, keresahan inilah yang tidak menyamankannya. Sebuah afsun, alias pesona.
Sesungguhnya, Diana kini sedang banyak memikirkan perihal besok, ketika perjanjian 3 bulan itu selesai seiring dengan tanda silang di kalender duduknya semakin banyak. Memikirkan tentang hubungan mereka, apakah akan berlanjut untuk saling mengenal atau kembali ke perjanjian awal dengan saling pura-pura tidak kenal.
Kadang, di sela waktu, Diana ingin bertanya tentang ini kepada Chanyeon, tetapi selalu saja ia urungkan. Pasalnya, ia takut kemungkinan-kemungkinan tak mengenakkan yang akan ia dapatkan. Pula, ia tak mau merusak pendar semringah di wajah oriental lelaki itu.
Aih, entahlah, sebenarnya apa yang ia mau setelah perjanjian 3 bulan ini selesai, ia juga belum paham sendiri. Egoisnya ia ingin tetap menjadi teman dekat bagi lelaki itu. Namun, nuraninya mengatakan sebaliknya, ia tidak boleh melakukan hal itu, ia takut akan semakin dalam cintanya pada Chanyeon.
Dan satu lagi, sebutan Anna ini membuat afsun sendiri bagi Diana sekarang, karena sudah berkonotasi lebih dari sekedar sebutan nama seperti sebelumnya, tetapi juga sebagai bentuk afeksi Chanyeon, katanya "untuk panggilan gadis spesial", imbuh Chanyeon kemarin.
Oh, ini cukup semrawutan. Semoga saja, Diana berharap, pada akhirnya hubungan mereka besok bisa diselesaikan dengan baik-baik agar tak ada yang merasa melukai ataupun dilukai sekalipun pilihannya adalah menjadi orang asing lagi, seperti sedia kala.
"Anna ...."
'Kan, baru saja disinggung oleh benaknya, lelaki itu dengan suara dalam yang dimiliki menyebutnya dengan sebutan itu. Menghampirinya yang sedang mengisi stok bumbu di pantry.
"Aku sakit, Anna. Makanya aku pulang lebih cepat sore ini," lapor Chanyeon yang baru pulang dari pemotretan sebuah majalah. Berkata polos seperti bocah.
"Jika kau sakit, maka minum obat, lalu beristirahat," singkat Diana, masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Kau tak bertanya aku sakit apa?" Chanyeon cemberut menatap Diana yang bahkan tak meluangkan melirik ke arahnya sekalipun.
"Palingan kau sakit karena kecapean.
Akhir-akhir ini 'kan kau tampak lebih sibuk bekerja daripada biasanya." Diana masih acuh tak acuh.
"Aish! Kenapa kau tidak antusias aku sakit, Anna?" Pemilik suara bass ini masih saja mengeluh.
"Buat apa aku antusias, kau terlihat baik-baik saja. Sakitmu palingan ringan," timpal Diana, melirik ke arah Chanyeon setelah selesai mengisi stok bumbu di pantry.
"Lihatlah, mukaku tampak pucat, 'kan? Suaraku pun sumbang. Dan ya, tubuhku juga sangat panas, Anna." Chanyeon terus saja berkeluh, mencari perhatian, wajahnya melas.
Namun, Diana tidak mudah memberi perhatian pada lelaki jangkung satu ini yang ternyata sangat manja dan jelas sekali kini sedang berakting, pura-pura sakit. Ya ampun, bahkan ia kini ingin memarahi lelaki itu sebab mulai meraup wajah kusut seperti manusia kekurangan gizi.
"Aku serius, Anna. Coba periksa, kau kan calon dokter." Chanyeon bertambah memelas. Batuk-batuk kecil.
Diana belum mau percaya begitu saja. Menatap datar Chanyeon yang kini baru berganti warna rambut menjadi merah menyala untuk kepentingan pemotretan.
"Tubuhku sangat panas, Anna. Ayolah, periksa aku." Chanyeon merendahkan punggungnya, wajahnya setara dengan wajah Diana kini.
Diana tampak malas, tetapi akhirnya ia memilih mengikuti titah Chanyeon karena tak mau dibodohi. Mengecek suhu tubuh Chanyeon dengan menyentuh kening lelaki itu dengan sebelah tangan.
Sesaat kemudian, suhu kening Chanyeon merambat ke telapak tangan Diana. Dan hasilnya adalah bersuhu normal.
"Dasar pembual!" decak Diana kemudian. Cepat-cepat menarik sebelah tangan yang menempel di kening Chanyeon.
Chanyeon nyengir lebar mendapati decakan itu. Sungguh senang berhasil membuat kenya Indonesia ini menyentuh keningnya, terkena jebakan.
Sedangkan Diana yang masih kesal langsung memilih menghindar dari lelaki kurang ajar satu ini, enyah dari pantry, tetapi tertahan oleh seruan Chanyeon.
"Maafkan aku, Chagiya ...."
Kedua bola mata cokelat Diana membulat tatkala mendengar permintaan maaf macam apa barusan dari suara dalam Chanyeon.
Tanpa tahu bagaimana cengengesannya Chanyeon kini di belakangnya, Diana berbalik, mendongak dengan tatapan sinis.
"Bilang apa tadi, ha?"
"Maafkan aku, Chagiya ...." Rapper EXE ini masih saja cengengrsan.
"Aku bukan kekasihmu. Kita hanya berteman, tidak lebih. Dan jangan memaksaku untuk menerima barang-barang darimu lagi juga. Aku tidak nyaman dengan semua itu," titah Diana dengan muka kesal.
Melipat jidat, Chanyeon tampak bingung. "Mianhae. Dan kenapa semua itu membuatmu tidak nyaman, Anna?"
"Karena itu bisa menjadi pelantara aku semakin menyukaimu. Dan aku tidak mau semua itu terjadi." Diana memilih jujur dengan semua kecemasannya.
"Kenapa tidak mau?"
"Kita tak seharusnya saling menyukai seperti ini, Oppa."
"Maksudmu? Ini manusiawi, Anna."
"Iya. Ini memang manusiawi. Tapi aku sungguh tak mau menyukaimu terlalu dalam agar di hari perpisahan nanti, patahan di hatiku tidak begitu sakit." Intonasi Diana melamban.
Tidak langsung menjawab, Chanyeon mendaratkan sebelah tangannya di pucuk kepala Diana, mengelus lembut rambut hitam yang ada sembari berujar, "Jika begitu. Mari jangan berpisah. Aku juga tak mau berpisah denganmu. Aku akan meminta restu untuk memetik bunga mawar merah mekar di taman ibumu, Anna." Seutas senyum singgah di bibirnya.
Kini tinggal Diana yang mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
"Aku ingin kau menjadi takdirku, Anna," balas Chanyeon, tanpa hinggapan ragu.
"Apa kau masih waras?" tanya Diana, cukup kasar.
Malah diangap lelucon pertanyaan barusan. Chanyeon tersenyum geli. "Terserah kau saja mau menganggapku waras atau tidak."
Diana meneguk ludahnya. Mengalihkan sebelah tangan Chanyeon di kepalanya itu. Menitah sesuatu.
"Lihatlah bandul kalungmu, Oppa ...."
Tatapan mata Chanyeon jatuh ke bawah, ke arah bandul kalung emas putihnya. Bandul kalung bersimbol salib yang sangat dirinya banggakan kala memakai itu.
"Kita berbeda, Oppa. Sedalam apa pun cinta kita ... kita tetaplah tidak ditakdirkan untuk bersama ...."
Ungkapan Diana yang langsung pergi setelah mengucapkannya itu menohok Chanyeon. Dadanya seketika nyeri. Lelaki bercuping telinga caplang ini meremas kedua tangannya dengan netra terus fokus ke punggung Diana yang semakin menjauh.
Perasaan Chanyeon amburadul. Omongan Diana menggaung dalam telinganya lagi.
Kita berbeda, Oppa. Sedalam apa pun cinta kita ... kita tetaplah tidak ditakdirkan untuk bersama.
___________________
Translate:
Chagiya= sayang
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro