Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Last Part : Pelangi Yang Tak Muncul Setelah Hujan

Gemuruh Guntur masih terdengar.
Suara derap air hujan pun masih terdengar.
Sekali lagi, langit turut menangis.
Tangis pilu melepas kepergiannya.

Meski berusaha menahan, hanya ada sesak.
Meski berusaha menepis, namun ini nyata.
Meski berusaha berkilah, tetap saja kalah!

Dia yang pergi, akan tetap pergi.
Memungkirinya, menepisnya, menolaknya, semua sama.
Dia, takkan pernah lagi kembali.
----

Setelah pemakaman Erland, orang-orang masih sangat sibuk dengan tetap melayani kerabat dan kolega dari Tante Tyo dan beberapa kenalan dari mendiang Kakek Erland. Sebagian sudah mendengar dari pesan berantai yang menyebutkan di mana Erland akan dimakamkan. Tak banyak yang tahu bahwa sebelumnya Erland sudah mempersiapkan segalanya. Dan itu hanya diketahui oleh pengacara keluarga. Ketika semua terbongkar, sang mama hanya mampu menangis dan bersimpuh di samping ranjang tempat Erland menghembuskan nafas terakhirnya.

Dalam pesan yang ditulis oleh Erland, dia menyebutkan bahwa dia ingin tetap berada di rumah singgah. Sampai kapan pun rumah singgah adalah rumahnya.  Dia juga menyebutkan untuk memakamkannya di samping makam sahabatnya, Langit. Jadilah dua makam sahabat itu berdampingan.

Di bawah langit gelap yang masih meneteskan air, Shana duduk di pelataran teras Rumah Singgah Daisy. Dia gadis kecil yang masih sulit untuk memahami sepenuhnya apa yang sudah terjadi selama ini. Memainkan tangannya di bawah tetes-tetes air hujan dari atap dan memercikkannya ke segala arah. Sebagian bajunya sudah basah. Namun, masih saja air hujan sangat menarik perhatiannya.

Shana menengok ke kiri dan ke kanan dan menghela napas. Tangannya yang basah dia usapkan ke baju dan mulai bergerak menerobos rintik hujan. Langkah kecilnya membuat air bercipratan, dia berlari menuju salah satu kebun yang sering dirawat oleh Langit. Kebun yang berisikan beberapa jenis mawar mulai dari candy rose atau tiger rose,baby rose, black rose, dan beberapa warna mawar desa yang menebarkan wangi semerbak. Namun, yang menjadi favoritnya adalah mawar putih. Sering kali dalam candanya dia berkata bahwa jangan pernah menaruh apa pun di atas makamnya kecuali mawar putih. Karena dia sangat menyukai warna putih yang menenangkan.

Shana membuka pintu kebun, dia tak peduli bajunya sudah basah kuyup. Berjalan kecil mendekati deretan mawar-mawar putih yang sebagian sudah mulai mekar. Gadis kecil itu berusaha meraih tangkainya dan duri-duri itu sedikit melukai jari Shana.

"Ugh, duri nakal. Shana bilang Kak Langit yah kalo nakal!"

Tangan mungilnya masih terus menggapai dan mencari celah tak berduri agar tidak lagi terluka.

"Yeay, dapat! Maaf yaa mawar, Shana minta bunganya mau dikasih buat Kak Langit boleh 'kan? Ehh, sama Kak Erland juga yahh. Shana cuma minta dua kok."

Setelah mendapat apa yang dia cari, Shana bergegas masuk ke dalam rumah singgah. Gadis kecil itu selalu lolos dari pengamatan orang karena masih banyaknya beberapa kerabat yang mengucap turut berbelasungkawa. Shana mencari seseorang untuk dia ajak mengunjungi makam Langit dan Erland sore ini.

Ternyata orang yang dia cari hanya berdiri saja di depan dapur dan tak beranjak sedikit pun. Shana mendekatinya dan berdiri di dekat kaki wanita paruh baya itu. Wanita dengan baju setelan berwarna gelap, dan stiletto yang masih membungkus kakinya.

Penampilan elegan itu masih terlihat mempesona bagi yang melihatnya. Namun, tidak dengan tatapan dan sorot mata sendu yang memperlihatkan kehilangan. Setetes dua tetes air matanya tetap jatuh membasahi pipi dan diikuti oleh rombongan tetesan lainnya.

"Laahhh, iyoo! Bener aku 'kan? Jeneng wae Hanandityo Ardiningrum Carendelano. Artine iku lohh apik. Harum, suci, baik hati. Lahh iki? Nggak loh. Malah sebaliknya." Sayup-sayup suara itu terdengar oleh Shana dari arah dapur. Dan tentunya oleh sang pemilik nama tersebut pun mendengar.

"Hush, jangan begitu. Kasihan Nyonya Tyo, dia sudah kehilangan putra semata wayangnya. Sudah, didoakan saja, semoga setelah ini masalah pun selesai." Suara lain itu terdengar lembut dan menenangkan, yang Shana tahu itu adalah suara dari Bunda Vio, sahabat karib bundanya.

Kaki jenjang yang berada disebelah Shana mulai bergerak mundur perlahan. Tangan yang baru tergantung setelah mengusap air mata itu diraih oleh Shana dan sontak membuat pemilik tangan tersebut menoleh.

"Shana? Ada apa, Nak?" ujar Tante Tyo dengan lembut dan berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Shana. Jejak-jejak air mata itu masih kentara dan sesekali masih ada air mata yang lolos membasahi dan dengan segera diusapnya kembali.

"Tante Tayo nangis? Kata Mbun yahh jangan nangis, Tante! Kalo Tante nangis  nanti Kak Erland juga nangis." Shana menunduk setelah mengucapkan nama Erland, dia merasa sedih kala mengingat tubuh Erland yang ditimbun dengan tanah kemarin saat pemakaman berlangsung.

"Tante nggak nangis, sayang! Tadi dari dapur itu asapnya bikin perih ke mata," ujarnya kembali.

"Tante Tayo beneran nggak nangis? Kalo Mbunnya Shana nangis yah, Shana itu juga nangis, makanya jangan nangis lagi yaa biar Kak Erland juga nggak nangis." Mata polosnya berkedip dengan mulut yang sedikit mecucu.

"Tante janji. Ehhh, ini kok baju Shana basah sihh? Shana main hujan? Kalo sakit gimana, Sayang?" Perlakuan hangat Tante Tyo pada Shana juga sedikit membuat rasa hangat menjalar dihatinya.

Shana tak menjawab dan hanya menapakkan giginya sembari menyodorkan dua tangkai bunga mawar putih yang dipetiknya tadi. Tante Tyo hanya diam dan menerima dua tangkai mawar tersebut. Kini, ganti tangan kanan Tante Tyo yang ditarik oleh Shana.

"Mau ke mana, Shan?" tanya Tante Tyo. Namun, Shana tetap saja menariknya.

Beberapa orang yang mereka lewati pun hanya melihat dan mengabaikan. Beberapa bertanya namun tetap diabaikan oleh Shana. Mereka terus berjalan dan membelah hujan. Tak peduli baju basah, Shana terus menarik tangan Tante Tyo hingga mereka sampai di bawah pohon tempat dua tubuh bersemayam dalam damai.

Di bawah pohon tersebut terdapat dua batu nisan, satu bertuliskan nama Anugrah Langit Prasenja lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal wafat. Sedangkan di sampingnya bertuliskan nama sang sahabat Arkana Erlan Carendelano. Dua sahabat yang pernah tak bertegur sapa itu kini telah bersanding berdua.

Langkah kaki dua perempuan beda usia itu terhenti. Shana melihat ke arah Tante Tyo.

"Tante Tayo, Kakak Langit itu suka mawar putih. Tadi Shana sudah petik dan ijin sama mawarnya."

Shana sedikit menarik tangan Tante Tyo untuk berdiri di tengah-tengah makam tersebut dan mengajaknya berjongkok.

"Kakak, maap yaah. Shana petik-petik mawarnya, kan Kak Langit suka sama yang putih. Jadi Shana petik-petik yang putih dua saja. Ini satu buat Kak Langit, satu lagi buat Kak Erland."

Tante Tyo mengulurkan dua kuntum mawar putih tersebut. Diletakkannya secara perlahan di atas makam putra semata wayangnya. Dan tangisnya kembali pecah.

Shana, gadis kecil polos itu perlahan mendekat ke arah Tante Tyo. Shana berdiri di hadapan Tante Tyo dan merengkuh kepala Tante Tayo dalam peluknya. Tangis itu semakin menjadi. Shana hanya berdiam dan sedikit menghapus air mata yang terus menetes. Shana mengusap kedua mata yang basah itu.

"Mata yang baik, sudah yah jangan nakal. Tante Tayo nangis terus nanti matanya jelek".

Cup ....
Sebuah kecupan mendarat di mata kiri Tante Tyo.
Cup ....
Kecupan kedua pun mendarat di mata kanannya.

Mendapat perlakuan manis dari seorang bocah membuat rasa hangat menjalar semakin luas didirinya. Dia memikirkan betapa sengsaranya orang-orang yang dulu pernah berseteru dengannya. Bahkan keponakannya sendiri, kini dia bisa melihat bagaimana orang-orang yang dulu ingin dia hancurkan justru menjadi orang yang paling depan merengkuhnya dan ada untuknya yang sedang hancur saat ini.

"Terima kasih, sayang. Tante sayang sama Shana. Maafkan tante yang dulu bersikap tidak baik," ucap Tante Tayo seraya mencium puncak kepala Shana.

Tepukan pelan di bahunya menyadarkannya. Dia berdiri dan menolehkan kepalanya. Di belakangnya seluruh penghuni rumah singgah sudah berada di sana. Entah berapa lama mereka menunggu. Yang pasti sebagian dari mereka pun basah kuyup di bawah rintik hujan yang mulai memelan. Orang yang berada tepat di belakangnya adalah Gavin.

Gavin mendekat dan memeluk erat tantenya itu.  "Maafkan Gavin, Tan. Gavin ...." Ucapannya terpotong karena kedua tangannya sudah berada dalam genggaman tantenya itu.

"Tante yang minta maaf, Sayang. Tante egois dan Erland jadi korban. Satu-satunya harapan Tante sudah pergi. Tante mohon, jangan pernah pergi dari Tante. Tante akan sangat kesepian."

Sebuat tangan terulur mengusap bahu Tyo. "Jangan merasa sendiri, masih ada kami di sini. Bantu kami menjaga anak-anak di sini." Bunda Nana berujar lembut.

Shana yang berada di antara orang dewasa itu merasa tersingkir. Dan akhirnya menerobos dan berdiri di tengah-tengah.

"Tadi Tante Tayo sama Shana mau main ke sini. Kok yang lain ikutan sih?"

"Shana, nggak baik menyela orang dewasa yang lagi bicara," tegur Bunda Nana.

"Shana, bajunya basah. Kita mandi dulu yuk, terus ganti baju. Setelah itu kita main di dalam rumah saja," bujuk Gavin.

Tante Tyo yang melihat bibir manyun Shana tersenyum kecil dan mencubit gemas pipi gembul Shana. Satu persatu penghuni rumah singgah mulai berbalik dan kembali ke dalam rumah. Shana yang menggandeng tangan Tyo sembari bersenandung kecil membuat kedukaan itu sedikit memudar. Gavin, Nana dan Vio mengikuti di belakang mereka.

"Tante Tayo, kok setelah hujan ini pelanginya nggak ada ya? Katanya kalo habis hujan ada pelangi."

"Shana, tidak pasti setelah hujan akan ada pelangi. Pelangi itu akan muncul jika matahari terlihat dan terjadi pembiasan cahaya melalui titik-titik air," jelas Tyo pada Shana.

"Oww, begitu! Shana nggak tau, ehh nggak paham sih, hmm iya-iya." Shana mengangguk-angguk sok mengerti arah pembicaraan tersebut.

"Bunda Nana, Bunda Vio, meski tak ada pelangi setelah hujan sore ini, tapi perlu Bunda berdua ketahui bahwa masih ada senja yang akan hadir dan selalu hadir di setiap sore. Walau dia tertutup mendung atau kabut, senja itu tetap hadir dan akan selalu hadir. Jadi, meskipun setelah kemalangan tertimpa kehilangan jangan pernah khawatir akan ada kebahagiaan lainnya yang akan senantiasa hadir menemani. Bukankah begitu, Bunda?"

Bunda Vio dan Bunda Nana kompak menganggukkan kepala tanda setuju dengan ucapan Gavin. Ternyata kehilangan tidak membuat Gavin terpuruk. Dia masih bisa berpikir jernih dan menenangkan semua.

Semua yang berada di rumah singgah, keluarga Carendelano dan bahkan orang-orang sekitar rumah singgah adalah salah satu contoh dari keberagaman hidup. Sejauh mana pilihan dalam hidup akan mempengaruhi. Sedikit mempengaruhi, atau banyak mempengaruhi. Semua tergantung, tergantung bagaimana kita akan memilihnya. Sebuah pilihan akan menentukan akhir dari tujuan dalam hidup.

---

Berlakulah sesuka hatimu untuk pilihan hidupmu.
Namun, jangan pernah mengkritisi pilihan hidup orang lain.
Jalanilah hidupmu sesuai pilihanmu sendiri, dan jangan pernah hakimi jalan hidup yang menjadi pilihan orang lain.

Hidup itu pilihan, baik buruknya semua bergantung pada pribadi masing-masing.
Hidup tak harus dipenuhi dengan hujatan dan makian.
Hidup harusnya penuh kedamaian.
Menghujat tak membuatmu hebat
Pun memaki takkan membuatmu sakti


-Don't judge me until you understand me.
You can't understand me if you've already judge me.-
(Orson Scott Card - Ender's Game)

______________

Mohon maaf untuk keterlambatan bagian terakhir dari cerita ini.

Mungkin cerita ini sudah berakhir, namun segala kehidupan di dalamnya takkan pernah berakhir.

Mungkin kisah di sini sudah dicukupkan sampai disini. Namun, masih banyak kisah-kisah lain yang bisa dinikmati.

Written By Na_NarayaAlina
And SweetStoryArea Crew

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro