Part 6 ~Pelipur Lara
Tanpa berbicara pun, ucapanmu akan terdengar bagi dia yang memberikan sebagian hidupnya untuk mengenalimu.
Hal-hal kecil sekalipun akan menjadi sumber bahagiamu, jika kamu berada di tengah-tengah mereka yang memberi sebagian hatinya untuk menyayangimu.
____________________________
From : Alana
Rasya, nanti malam aku ke sana. Sekarang aku masih di kantor. Banyak pekerjaan yang harusku selesaikan dulu. Kamu jangan lupa makan dan minum obatnya, ya. Aku menyayangimu ....
Senyum tipis terpatri di wajah Rasya. Saat membaca pesan singkat dari Alana, sungguh membuatnya merasa bahagia. Rasa sayang Rasya semakin mengalir deras untuk gadis itu. Walau pada kenyataannya, hubungan keduanya selalu ditentang oleh orang tua mereka. Namun, Rasya tak pernah gentar terus mencintai gadis itu, apa pun yang terjadi, kerapkali berbagai cara orang tua Rasya lakukan mencoba memisahkan hubungannya dengan Alana, hal itu jusru semakin kuat keinginan Rasya tetap keukeuh mempertahankannya. Karena cuma Alana yang selalu ada untuknya. Di saat ia sakit parah sampai mendekam berhari-hari di rumah sakit, gadis itulah yang paling pertama rajin memberikan perhatian penuh dan peduli. Sementara kedua orang tuanya, selalu sibuk mengurusi pekerjaan tanpa mengenal waktu. Bahkan, sekadar melihat keadaan Rasya pun bisa dihitung dengan jari. Meskipun berlimpah materi, tetap tak membuat seorang Rasya Aditya Tama bahagia.
Rasya meletakkan ponselnya kembali di atas nakas. Ia beranjak turun dari ranjang, lalu membawa kakinya melangkah menuju jendela kaca transparan yang terbuka lebar, tiang untuk menggantung kantung infus, ia dorong. Rasya lantas berdiri diam menghadap ke luar, pandangannya menyapu ke segala arah taman yang dipenuhi beraneka macam tumbuhan bunga-bunga yang sangat cantik, cukup memanjakan penglihatan Rasya sejenak. Angin sore pun juga terasa sejuk hingga menyebar masuk ke ruangan VIP kamar 305, tempat inap selama Rasya dirawat. Terhitung empat hari sudah pemuda 22 tahun itu menjadi tahanan rumah sakit, karena penyakit emfisema yang diderita sejak lama mulai berulah lagi. Terkadang, rasa putus asa sering mengelabui jiwa Rasya. Ia sudah tidak tahan lagi menanggung rasa sakit ini yang setia bercokol di dalam tubuhnya. Bahkan, sempat terlintas di benaknya, ingin sekali ia segera mati. Terkubur sempurna di perut bumi, agar ia tidak menikmati lagi hidup penuh rasa sakit yang cukup hebat. Masih memiliki orang tua lengkap, tapi Rasya seperti hidup hanya sebatang kara. Rasya selalu terabaikan, tak terlihat, dan kesepian. Namun, mengingat ada Alana senantiasa setia di sampingnya, memberi semangat untuk berjuang melawan penyakitnya. Pikiran negatif yang sempat merajalela pada otaknya, langsung ia tepiskan.
Rasya membalikkan badan ketika mendengar derit pintu dibuka. Tampak dua orang pemuda tampan masuk dengan memperlihatkan senyum lebar.
"Gavin? Rayyan? Kalian kok ke sini? Habis dari mana?"
"Nih, habis nemanin Rayyan fisioterapi," jawab Gavin sekenanya.
"Jangan bilang kamu melamun lagi," sahut Rayyan, diatas kursi roda yang didorong oleh Gavin. Sedangkan Gavin memilih duduk di kursi plastik tepat di sebelah Rayyan.
Rasya mendengus. "Sok tahu, kamu!"
"Tapi aku benar, 'kan?" Rayyan terkekeh. Hal lumrah baginya mengetahui sosok Rasya. Pemuda itu memiliki karakter yang tak mudah ditebak, tapi Rayyan tahu betul kebiasan aneh Rasya. Apabila sedang sendiri kalau tidak melamun, Rayyan pasti menemukan Rasya tengah meringkuk di atas tempat tidur seperti janin seharian penuh, atau berdiam diri di toilet berjam-jam sambil membaca novel.
"Tahu, ah! Kamu udah kaya cenayang aja."
"Baru tahu, kamu," jawab Rayyan. Masih disela kekehan renyah. "Kamu mikir apaan, sih?"
"Mikirin kamu," jawab Rasya asal.
"Benarkah? Oh, kamu so sweet banget, aku jadi terharu. Rasya paling bisa bikin aku gemay, deh," ucap Rayyan. Ia menunjukkan ekspresi seimut mungkin dengan mata yang berkedip lucu. "Kenapa mikirin aku? Kangen, ya?"
Rasya berdecih. Melihat wajah Rayyan terbilang lebay, bak drama Korea sad berjudul winter sonata yang sering ditontonnya, membuat pemuda berwajah tirus itu ingin sekali memuntahkan semua isi di dalam perutnya.
"Ogah, aku mikirin kamu ... kamu ini kapan pintarnya, sih?"
"Sialan! Aku ini udah pintar dari jaman nenek moyang dulu, tauk! Aku jago masak, aku juga pintar hampir disegala mata pelajaran. Nggak kayak kamu ... jaman sekolah aja masih nyontek," timpal Rayyan tak mau kalah telak dari Rasya.
Rasya berdecak, "Bisa masak apaan? Paling cuma bisa masak air dan mie rebus doang. Dan perlu aku perjelas ke kamu, ya. Aku nyontek itu ... kalo pas lagi ada PR aja, bego," balas Rasya.
"Sama aja dungu!"
"Aish ... terserah kamu, deh," sahut Rasya dengan malas. "Tumbenan kamu banyak omong sekarang? Sekalinya banyak omong, omongan kamu berpotensi buat darah tinggi yang dengar naik, tahu nggak?"
Rayyan cengengesan, membuat Rasya kesal, ternyata cukup menghibur.
"Itu karena aku pintar." Rayyan menjawab, dengan cengiran lebar hingga menampakan deretan giginya yang putih. "Aku serius ini, kamu lagi mikirin apa?"
"Mau tahu aja, kamu."
"Alana?" tebak Rayyan, sembari mengerling sebelah matanya. Seolah sudah terjawab apa yang Rasya pikirkan.
"Nggak. Udah, ah. Jangan bahas itu lagi."
Rasya beralih ke arah Gavin. Sejak tadi Gavin hanya diam saja, tak menggubris celetukannya dengan Rayyan. Entah kenapa tiba-tiba pemuda tampan itu membisu dengan menundukkan kepala. Seakan ada hal pelik yang tengah Gavin pikirkan. Gavin memang sosok yang tidak banyak bicara, ia juga cenderung pasif. Jika bicara hanya seperlunya saja. Berbeda dengan Rayyan. Kalau pun Rayyan asli pendiam akut, tapi saat ketiganya berkumpul, Rayyan mudah berbaur. Kelebihan Rayyan yang satu itu memang sangat berguna untuk persahabatan mereka. Karena dengan sifat itu, Gavin dan Rasya akan tertular energi positif itu.
Dan lagi, Rayyan juga mempunyai sifat manja apabila sedang sakit.
Lain halnya dengan Rasya. Rasya yang super duper cuek, terkenal dengan mulut pedasnya, tapi ia selalu peduli terhadap sekitarnya, setia kawan bila salah satu dari mereka mempunyai masalah. Hubungan persahabatan mereka sudah terjalin sejak lama, ketika mereka sama-sama masih dibangku SMA dulu. Meski perbedaan karakter pada ketiganya, tapi mereka saling melengkapi, menutupi kekurangan dan kelebihan satu sama lain yang mereka miliki. Bahkan, nama julukan persahabat mereka pun dinamakan 2RG forever.
"Gav, kamu kenapa?" tanya Rasya.
Gavin mendongakkan wajahnya. Terlihat jelas oleh Rasya wajah Gavin tampak kusat mesat, seperti pakaian tak pernah disetrika. Rasya merasakan perubahan diamnya Gavin, pasti ada masalah berat yang menjadi beban hidup pemuda itu, yang semampangnya sulit ia atasi sendiri.
"Ayolah, Gav. Kamu, mikirin apa? Kalo ada sesuatu yang mengganjal pikiran, sebaiknya kamu cerita."
"Benar kata Rasya, Gav. Udah cerita aja," timpal Rayyan.
"Kita ini sahabatan udah lama loh, Gav. Please ... bagi masalah yang kamu hadapi ke kita."
Desahan halus menggema, Gavin menetralkan rasa sesak yang sedari tadi menyempit di dadanya. Haruskah ia bercerita tentang masalahnya pada kedua teman karibnya? Rasya benar, mungkin menceritakan semua, Gavin bisa lega. Bagaimana akhir-akhir ini yang ia pikirkan mengenai rumah singgah Daisy, telah diambil alih oleh tantenya dengan menggunakan cara picik.
"Rumah singgah ...." Gavin menggantungkan kalimatnya sejenak. Ia mendesah, mencoba mengumpulkan rangkaian kalimat yang ingin ia sampaikan pada kedua sahabatnya.
"Kenapa dengan rumah singgah? Rumah singgah baik-baik aja, 'kan?" tanya Rasya.
Gavin menggeleng lemah. Dengan suara pentar, ia berkata," Nggak, Sya. Rumah singgah udah dialihkan atas nama Tante Tyo."
"Kok bisa?"
"Aku nggak tahu," ucap Gavin lirih.
Alih-alih Gavin mulai menceritakan pada Rasya dan Rayyan. Bagaimana sampai bisa rumah singgah itu dialihkan oleh Tyo. Dimulai beberapa hari yang lalu Gavin mengunjungi kediaman Erland untuk menemui Tyo. Namun, yang Gavin dapatkan ialah dokumen-dokumen penting hak milik rumah singgah, yang disugukan oleh Tyo di atas meja dengan sikap jemawa tanpa ada belas kasih. Hal itu membuat Gavin kesal, rasa marah pun mulai menyeruak. Dengan serampangannya, Tyo mengatakan pada Gavin, rumah singgah Daisy sudah menjadi miliknya. Tanpa sepengetahuan Gavin, entah bagaimana cara Tyo bisa melakukannya. Gavin tidak rela, tapi ia tak bisa menyangkal, karena dokumen tersebut tertera atas nama wanita berhati angkuh itu. Bukan Gavin takut, hanya saja ia mencoba mencari cara paling tepat untuk mengambil kembali rumah singgah itu. Gavin tak ingin semua penghuni rumah singgah terlantar dan tidak punya tempat untuk tinggal. Sekuat apa pun, kalau perlu melalui jalur hukum, Gavin akan berusaha agar rumah singgah dapat ia miliki lagi. Demi Vio, Nana, dan anak-anak yang tinggal di sana.
Mendengar Gavin bercerita, Rasya menggeleng keras. Ia tidak menyangka, Tyo begitu tega pada keponakannya sendiri. Mengambil rumah singgah yang bukan haknya.
"Tante kamu, udah keterlaluan banget. Aku nggak habis pikir, dia kaya, lalu kenapa masih mau rumah singgah itu juga," ujar Rasya dengan intonasi suara setengah oktaf. "Kalau aku jadi kamu, aku akan tuntut tante kamu!"
"Nggak semudah itu, Sya. Tante Tyo udah memiliki dokumennya. Aku bingung harus berbuat apa," ucap Gavin dengan suara lemah.
"Kamu sabar, ya. Aku dan Rayyan selalu ada buat kamu, kita cari jalan keluarnya sama-sama untuk mengatasi masalah ini."
"Iya, Gav. Aku juga bakal bantuin kmu, kalau perlu ... aku bikin wajah Tante Tyo rusak pake cabe rawit pedas," celetuk Rayyan. Kedua tangannya saling mengepal, napasnya naik turun, layaknya ingin beradu jotos dengan sang lawan.
"Cerdas," sambung Rasya sembari mengacungkan dua jempol ke arah Rayyan.
Gavin tersenyum. Ia sudah merasa lega. Itu artinya ia tidak sendirian menghadapi masalah ini. Gavin sangat beruntung memiliki dua sahabat yang selalu setia, dan memberikan solusi serta semangat di kala ia sedang bingung.
"Terima kasih. Kalian adalah sahabat terbaikku. Aku bahagia, memiliki sahabat seperti kalian," ungkap Gavin tulus.
"Sama-sama, Gav. Kamu tenang aja, aku dan Rayyan akan ikut andil buat menghadapi Tante Tayo, kamu itu."
"Tante Tyo!" seru Gavin dan Rayyan bersamaan. Sementara Rasya cengengesan, merasa bodoh saat nama Tyo ia ganti dengan Tayo.
"Sorry ...."
"Kita jalan ke taman, yuk? Sekalian ke apotik."
"Ngapain ke apotik?" tanya Rasya.
"Ya, ambil obat aku, lah, bego," ujar Rayyan.
***
Rasya tampak kesusahan mendorong tiang infus. Ingin meminta tolong Gavin membantunya, dia sadar betul bahwa Rayyan lebih butuh bantuan Gavin.
Setelah berceloteh di kamar inap Rasya, ketiga pemuda itu memutuskan pergi ke taman belakang rumah sakit. Tapi sebelum ke sana, Rasya dan Gavin menemani Rayyan menebus obat di apotik.
Seorang gadis muda, cantik, dan berhijab, dengan senyum ramah membuat ketiga pemuda tampan yang telah berdiri di depan apotik terkesima. Layaknya telah menemukan bidadari cantik turun dari langit.
"Selamat sore," sapa gadis itu, terlihat label name tag di dadanya, bernama Lilis Suryani.
"Sore, Mbak. Saya mau nebus obat," kata Rayyan, sembari mengeluarkan kertas resep dari dokter yang menanganinya. Resep itu ia berikan pada penjaga apotik.
"Sebentar, ya."
"Namanya Mbak, Lilis Suryani, ya? Nama yang cantik. Sama kayak nama penulis cerita OLT di wattpad kesukaan saya," ujar Rasya.
"Oh, ya? Mas ini suka baca novel juga?" Lilis bertanya, namun tangannya terus saja memilah dan memasukkan obat ke dalam botol untuk Rayyan.
"Iya, dong Mbak. Bahkan, saya juga punya favorit penulis wattpad. Namanya Eky Neltry, penulis cerita sedih."
"Aku juga suka baca novel di wattpad. Author kesayangan aku Ikaratnasih, itu author kece banget," celetuk Rayyan juga tak mau kalah mengumbar nama-nama penulis favoritnya.
"Alah, kalian kira ... cuma kalian aja suka baca novel dan punya penulis favorit? Aku juga punya, dong." Kini Gavin menimpali yang sejak tadi diam mendengarkan argumen konyol kedua teman absurdnya.
"Emang ada? Siapa?" tanya Rayyan.
"Author paling aku sukai itu, Bukan SleepingBeauty."
"Itu nama?" Gavin hanya mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum kecil.
Setelah menunggu, gadis itu kembali dengan membawa obat yang Rayyan butuhkan. Dengan gamblang ia menjelaskan tentang indikasi pun aturan pakainya.
"Ini, Mas obatnya. Diminum sesuai anjuran, ya?" Lilis memberikan kantung obat pada Rayyan.
"Terima kasih, Mbak Lilis," ucap Rayyan, setelah menerima kantung plastik berisi obat yang akan ia minum setiap harinya. "Habis pulang dari sini, aku mau nelpon Ratna."
"Penulis itu?" tanya Gavin.
"Bukan, pacar aku," jawab Rayyan malu-malu.
Demikianlah celetukan ketiga pemuda itu. Hari semakin senja, Rasya, Rayyan, dan Gavin meninggalkan apotik. Melangkahkan kaki mereka serentak menuju taman belakang rumah sakit.
Teman sejati selalu ada untuk menemani saat kita terpuruk, punya masalah, dalam keadaan susah, senang, sedih, dan melepaskan keluh kesah, mereka selalu saling berbagi. Tak peduli dalam keadaan apa pun. Rasya cukup bahagia, selain ada Alana. Ia juga memiliki dua sahabat paling terbaik. Begitu juga sebaliknya Gavin dan Rayyan, juga bahagia mempunyai Rasya, selalu peduli dan paling depan untuk membantu siapa pun tengah merasa punya masalah. Itulah Rasya, walaupun Gavin dan Rayyan tahu, sosok tinggi 170 cm ini memiliki karakter tidak jelas.
"Setelah aku keluar dari rumah sakit, kita ke rumah singgah, ya? Aku masih kesal sama sikap kejamnya Tante Tayo ...."
"TYO, RASYA!" koor Gavin dan Rayyan.
"Bagus juga, Tayo. Jahat gitu orangnya, pokoknya aku mau manggil Tante Tayo, titik nggak pakai koma," kekeh Rasya.
"Serah deh, Sya. Sebahagia kamu aja," jawab Rayyan kesal.
Gavin terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya, menyimak perdebatan kedua sahabatnya tentang nama panggilan untuk Tyo. Tak urung ia tertawa kecil, suara tawa itu membuat Rayyan dan Rasya menoleh bersamaan. Keduanya bersitatap sejenak, kemudian tersenyum. Suara tawa itu membuat keduanya terhenyak. Pasalnya, sudah sangat lama mereka tak mendengar suara tawa itu.
"Masih bisa ketawa juga, kamu?" ejek Rayyan, kemudian diangguki oleh Rasya.
Gavin menghentikan tawanya, kemudian menoleh. Benerkah, seorang Gavin baru saja tertawa? Bahkan ia sempat tak percaya telah melakukannya.
"Ya, bisalah. Aku manusia, hei. Bukan robot."
"Lah, kita pikir kamu emang robot." Jawab Rasya.
Gavin mendengus kecil namun diikuti dengan kekehan kecil lainnya.
"Bisa dapat rekor muri nih, Gavin bisa ketawa seperti tadi." Rasya tertawa kecil.
"Berkat kalian juga, aku bisa ketawa. Aku bahkan udah lupa, kapan terakhir kali ketawa lepas seperti tadi." Gavin berusaha tersenyum.
Rasya merangkul bahu Gavin dari samping. Sedangkan Rayyan hanya bisa memeluk pinggang pemuda itu, karena ia duduk dikursi roda. Keduanya mencoba memberi kekuatan lebih untuk pemuda itu. Namun, Gavin justru segera menepis tangan kedua sahabatnya. Membuat keduanya terkejut dengan gerakan refleks Gavin.
"Aku masih normal kali, nggak usah rangkul-rangkul gitu. Selain geli, aku juga malu tahu diliatin orang-orang. Dikiranya kita nggak bener lagi," ketus Gavin.
Penuturan Gavin membuat Rayyan juga Rasya melongo. Rasya menggeplak kepala Gavin cukup kuat, membuat empunya meringis kesakitan. Sedangkan Rayyan mencubit pinggangg pemuda itu.
"Kalian ini bisa aku laporkan ke polisi dengan tuduhan KDP," ucap Gavin serius.
Rayyan serta Rasya bersitatap, keduanya menggeleng bersamaan.
"KDP?" tanya keduanya bersamaan.
"Kekerasan dalam persahabatan," ujar Gavin menahan tawa, kemudian berlalu terlebih dulu meninggalkan Rayyan serta Rasya yang masih cengo di tempatnya.
_____________________________
Written by Eky_Neltry
Co Writter by Ikaratnasih2 Na_NarayaAlina dan segenap crew yang terlibat.
Salam sayang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro