Part 17~ Misi Bersama
Tujuan kami hanya satu, yaitu mempertahankan apa yang sudah kami miliki
-Alvi Darmawan-
本本本
Satu tahun yang lalu, Alvi merasa seperti terlahir kembali. Kala itu, yang ia ingat hanya benturan keras yang menghantam kepalanya. Ketika seorang dokter bertanya siapa dirinya, kepala Alvi seperti ditusuk jarum bertubi-tubi. Sakit sekali saat Alvi mencoba mengingat identitas aslinya, walau hanya sekadar nama panggilan saja.
“Kasihan sekali kamu. Keluargamu tewas semua dan hanya kamu sendiri yang selamat. Tetapi kamu justru mengalami amnesia.” Begitu ucapan dokter yang merasa iba pada Alvi.
“Keluarga saya?” ulang Alvi.
“Iya. Kamu dan keluargamu mengalami kecelakaan beruntun. Ibu, Ayah, dan adikmu tewas di tempat. Kamu ingat kalau kamu hendak pergi ke mana bersama keluargamu?”
Alvi menggeleng lemah. Lalu dokter itu menanyakan usia, tanggal lahir, dan alamat rumah. Namun tidak ada satu pertanyaan dari dokter yang berhasil Alvi jawab. Kepalanya langsung sakit saat mengingat bagian kecil dari masa lalunya. Akhirnya dokter menyerah, ia keluar dari kamar rawat Alvi.
Tak lama setelah itu yang Alvi lihat dari ranjangnya, dokter tersebut berbincang-bincang dengan seorang wanita. Usai berbincang lama, dokter tersebut pergi dan wanita itu memasuki ruangan yang ditempati Alvi. Wanita itu duduk di kursi yang letaknya dekat dari ranjang Alvi.
Wanita itu lantas bertanya, “Hai anak manis, apa yang kamu rasakan sekarang?”
“Sakit.” Hanya kalimat itu yang bisa Alvi lontarkan. Alvi benar-benar merasakan sakit yang luar biasa, terlebih di kepalanya.
“Kalau kamu sudah boleh pulang, kamu mau nggak ikut sama saya?”
“Ke mana?”
“Ke rumah singgah. Di sana, kamu akan mendapat keluarga yang baru. Kamu juga nanti punya teman baru. Oh ya, karena kamu tidak ingat nama kamu, saya akan kasih nama kamu ‘Alvi Darmawan'. Alvi berarti ‘berbelas kasih', sedangkan Darmawan artinya ‘mematuhi janji'. Saya berharap dengan nama baru itu, kamu akan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Yang selalu berbelas kasih dan suka menepati janji. Bagaimana? Kamu suka?”
Alvi mengangguk-angguk. “Suka sekali, Tante.”
“Panggil saya Bunda Vio, ya. Dan hari ini, kamu anggap saja saya orang tua kamu,” ucap wanita itu seraya tersenyum.
Pada akhirnya, begitu Alvi sembuh dan boleh keluar dari rumah sakit, Bunda Vio benar-benar membawanya ke rumah singgah Daisy. Tidak butuh waktu yang lama bagi Alvi untuk bisa berbaur dengan anak-anak penghuni rumah singgah. Alvi bertemu dengan anak perempuan cantik dan lucu bernama Shana, juga ibu baik hati yang sering dipanggil Bunda Nana. Alvi satu kamar dengan cowok bernama Rian. Pertama kali mendengar nama lengkap Rian yang panjang seperti rel kereta, kepala Alvi langsung pusing. Karena satu kamar, Alvi jadi paling dekat dengan Rian. Alvi juga berteman baik dengan Shindu, Langit, Rayyan, dan penghuni rumah singgah yang lain.
Jika ditanya Alvi bahagia apa tidak? Tentu saja Alvi dengan lantang menjawab sangat bahagia. Terlepas dia tidak ingat lagi masa lalunya, sekarang Alvi memiliki masa depan yang cerah. Bersama keluarga barunya. Dan di hari itu, Alvi berharap semoga rumah singgah akan terus berdiri kokoh.
本本本
Kilas masa lalu tadi membawa Alvi ke masa sekarang. Akhir-akhir ini rumah singgah sedang terombang-ambing. Terancam akan diambil oleh salah satu keluarga Gavin yang bernama Nyonya Tyo. Bahkan kemarin sudah merenggut nyawa salah satu penghuni rumah singgah. Sama seperti teman- temannya yang lain, Alvi tidak mau rumah yang selama ini sudi menampungnya direnggut. Alvi tidak bisa membayangkan, bagaimana nasibnya jika rumah singgah benar-benar diambil? Alvi belum siap kehilangan rumah singgah, Alvi belum siap berhenti menggoda dua petugas kebersihan jika sedang menjalani tugasnya, Alvi belum siap jika lidahnya tidak merasakan lezatnya nasi uduk buatan Mbak Nia.
Alvi tak habis pikir, kenapa Nyonya Tyo tega sekali ingin merebut rumah singgah? Bukankah beliau sangat tahu jika para penghuni rumah singgah bernasib sama seperti Erland, anaknya? Apakah di dalam hatinya tidak ada rasa kasihan walau sedikit saja? Jika seandainya nasib Zevan juga menimpa Erland, apakah Nyonya Tyo tetap teguh pada niatnya?
Duka masih menyelimuti rumah singgah. Kehilangan Zevan, sama saja seperti kehilangan separuh jiwa. Mengingat kejadian yang membuat Zevan pergi, membuat dada Alvi berdenyut nyeri. Saat ini Alvi hanya bisa berdoa semoga Zevan diterima di sisi-Nya.
Walau masih berduka, Rian mengadakan rapat dadakan. Rapat dadakan tersebut berjalan alot karena belum menemukan titik terang. Alvi sedari tadi hanya menyimak saja. Ada Erland di rapat itu, Alvi merasa tidak enak mengungkit perbuatan Nyonya Tyo dihadapan anaknya. Rian menginginkan, bagaimanapun caranya rumah singgah tetap bertahan agar tidak menimbulkan korban selanjutnya. Selain itu, Rian juga mempunyai misi untuk meluluhkan hati Nyonya Tyo. Alvi sangat setuju dengan Rian. Walau Rian kelihatan keras orangnya, tetapi sebenarnya dia memiliki hati yang lembut.
“Vi, ada ide nggak?” Langit bertanya.
Alvi diam. Keningnya berkerut. Menandakan bahwa ia sedang berpikir keras. Alvi yakin, Nyonya Tyo sebenarnya perempuan yang baik. Juga termasuk orang yang mampu. Mungkin karena suatu alasan, Nyonya Tyo berani melakukan hal yang keji. Maka dari itu, harus ada orang yang bisa melunakkan Nyonya Tyo. Karena jika meluluhkan hati Nyonya Tyo menggunakan harta, menurut Alvi tidak akan berhasil.
“Aku tahu,” ucap Alvi saat sebuah ide melintas di kepalanya. Otomatis menarik perhatian teman-temannya.
“Apaan?” tanya mereka nyaris serempak.
“Kita bikin satu persembahan untuk Nyonya Tyo.”
“Ya apaan?” tanya Agha penasaran.
“Bikin lukisan Nyonya Tyo duduk berdua sama Erland. Terus sama buat video tentang kita yang nggak mau kehilangan rumah singgah. Durasi videonya jangan lama, dua menitan aja. Gimana?”
“Gue sih setuju,” kata Rian.
“Setuju!” seru yang lainnya, termasuk Erland.
“Terus siapa yang mau ngelukis sama bikin video?” tanya Devan.
Alvi diam lagi. Mengingat-ingat siapa di antara teman-temannya yang bisa melukis dan membuat video. “Rasya sama Langit jago ngelukis tuh. Nanti biar Deva yang cari peralatannya. Kalau Rasya sama Langit kesulitan, kita bantu sebisanya. Terus untuk video, kita bagi dua tim. Tim yang pertama bagian ambil gambar, tim yang kedua yang edit.”
“Tapi ... apa cara ini berhasil?” tanya Shindu ragu.
“Kita belum tahu hasil seperti apa kalau belum mencobanya. Kita harus optimis biar beban A' Gavin ringan. Kita memang nggak bisa membantunya dengan materi, tapi kita bisa membantunya dengan memberi dukungan dari belakang. Tujuan kita sama, mempertahankan apa yang sudah kita punya. Kalau kita kompak, kita akan mencapai tujuan itu.” Setelahnya, Alvi merasakan bahunya ditepuk keras dari belakang. Siapa lagi kalau bukan kerjaan Rian. Anak itu kalau lagi senang ya begitu.
“Ide lo oke juga,” kata Nevan.
“Siapa dulu dong temen gue,” sahut Rian.
“Alvi mau-maunya sama Rian. Jangan-jangan kalian nggak normal.”
“Apa lo bilang?!” Rian tidak terima. Sudah mengambil ancang-ancang untuk menonjok Nevan. Tetapi Alvi lebih dulu melerai mereka berdua.
“Udah dong jangan berantem. Kalau lagi ngumpul-ngumpul gini tuh dinikmati gitu Iho. Jarang- jarang kan kita semua bisa kumpul kayak gini.”
Rian mendengkus.
Kemudian, Siti, Fitri, dan Bunda Nana datang membawa cemilan sehat dan juga sirup. Tentu saja anak-anak rumah singgah langsung mengerubunginya.
Alvi melengkungkan bibirnya, kedua matanya memandang satu-persatu teman-temannya. Rasanya sulit sekali jika harus kehilangan senyum dan tawa mereka. Alvi yakin, idenya tadi akan membawa secercah harapan untuk teman- temannya dan rumah singgah.
___________
Written By pesulapcinta and SickStoryArea Member
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro