Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 15~ Akhir yang Menjadi Awal

"Kehilangan di hari ini bukanlah sebuah akhir, tetapi awal dari sebuah perjuangan."

~Zevano Rafardhan~

***

Siang itu Zevan baru saja kembali dari rumah teman barunya, ia memasuki kamar dengan botol kaca berisi air di tangannya. Zevan memandangi botol itu sejenak, kemudian meletakkannya di dekat jendela karena ponselnya yang berdering.

“Halo, Ibu?” Zevan menjawab panggilan dari sang ibu dengan semangat. Ia senang sekali sang ibu meneleponnya hari ini, karena ia tidak bisa berkomunikasi dengan Ibunya setiap saat.

“Zevan apa kabar, Nak?”

“Baik, Ibu sehat? Zevan kangen Ibu, kapan Ibu ke sini lagi?”

“Alhamdulillah Ibu sehat, Sayang. Mungkin akhir pekan ini Ibu baru bisa ke sana. Maaf ya Sayang, kali ini Ibu gak bisa lama-lama telepon kamunya. Lagi ramai pengunjung, nanti malam Ibu hubungin kamu lagi ya?”

“Iya, Ibu jaga kesehatan buat Zevan ya. Zevan kangen banget sama Ibu, mau tidur sama ibu lagi. Pokoknya Zevan mau dipeluk Ibu.”

“Iya, Sayang. Kamu baik-baik ya di sana, doain supaya kerjaan Ibu lancar biar bisa bayar biaya pengobatan kamu. Ibu sudah dipanggil, Ibu tutup ya teleponnya.”

Setelahnya panggilan terputus.

Zevan memandangi ponselnya dengan tatapan sendu. Karena penyakitnya ia harus tinggal di sini sementara sang ibu banting tulang mencari uang untuk pengobatannya.
Hari ini, rasa rindunya pada sang ibu terasa begitu menyesakkan. Mungkin karena sudah lama sang ibu belum mengunjunginya, maklum saja perjalanan dari kampungnya ke rumah singgah ini lumayan jauh. Pekerjaan sang ibu yang bekerja di toko oleh-oleh pada salah satu tempat wisata di Bogor juga cukup menyulitkan intensitas pertemuan mereka.

Zevan menghela napas, ia kembali merasakan sesak itu. Ditatapnya botol kaca bening yang berisikan berudu atau kecebong yang ia dapat dari teman barunya.

Sesaat ia terkekeh karena merasa aneh ketika gadis remaja pada umumnya menyukai hewan-hewan lucu, April —teman barunya— malah menjadikan larva dari katak itu sebagai hewan kesukaannya.

Namun, ketenangan yang ia dapat ternyata tak bertahan lama. Zevan mendengar suara keributan dari arah depan.  Maka dengan rasa penasaran dan khawatir ia melangkahkan kaki jenjangnya menuju sumber suara.

Menapaki area ruang tamu, Zevan disuguhkan keadaan yang kacau. Beberapa pria dewasa berbadan kekar tampak saling dorong dengan Erland, Langit, dan beberapa penghuni rumah singgah yang lain.
Zevan tidak mengerti apa yang terjadi, tapi kekacauan ini membuat rasa sesaknya kembali. Ia panik dan takut disaat yang bersamaan. Pemuda itu menatap liar pada tiap sudut rumah yang sudah kacau. Sedetik kemudian ia membelalakkan matanya ketika melihat Shana yang ketakukan di depan pintu seorang diri.

“Shana ... Shana!”

Zevan berlari secepat yang ia bisa ketika melihat salah satu pria kekar itu berjalan ke arah Shana dengan tatapan bengis.

Grep!

Zevan berhasil membawa Shana ke dalam pelukkannya. Gadis kecil itu mengalungkan tangannya pada leher Zevan sambil terisak hebat. Tubuhnya pun bergetar karena tangis dan ketakutan.

“Shana udah aman sekarang,” ucap Zevan menenangkan. Ia kembali menatap sekelilingnya berusaha waspada.

“T-takut ... mereka siapa?” Shana bertanya di tengah isakkannya.

“Sudah jangan takut, kan ada kakak. Mereka bukan siapa-siapa, Shana tutup mata sama kuping Shana kalau masih takut.” Gadis manis itu menuruti ucapan Zevan.

Zevan masih berdiri di sana, menjaga Shana. Karena dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, inginnya membantu teman-teman yang lain tapi ia khawatir pada Shana.
Ia juga merutuki penyakitnya ketika tiba-tiba pasokan udara terasa semakin menipis. Ia munurunkan Shana dari dekapannya. Zevan memukul pelan dadanya yang semakin terasa sesak dan sakit, wajahnya semakin pias. Ia masih menatap sekelilingnya, semuanya ketakutan dan ia tidak membantu sama sekali.

“Kakak sakit lagi, ya?” Shana bertanya, ia baru saja hendak menggenggam tangan kurus Zevan ketika tiba-tiba saja pemuda itu terhuyung kemudian terjatuh dengan kepalanya yang menghantam sudut meja.

“Zevan!”

Merasa namanya terpanggil, Zevan membuka matanya dan sudah mendapati wajah pias Erland yang merengkuhnya. Sesaat ia hanya merasakan rasa sesak yang hebat hingga tubuhnya terasa ringan.
Zevan ingin membalas ucapan Erland, tapi ia tidak mendengar apa yang pemuda itu ucapkan. Telinganya berdengung serta denyutan kuat yang ia rasakan di kepalanya.

“Zevan, tolong bertahan.” Samar-samar Zevan membaca gerakkan bibir Erland, sungguh ia ingin membalas dan mengatakan kalau ia baik-baik saja. Tapi suaranya seperti tertahan, ia semakin sulit untuk sekedar menghirup napas. Menyakitkan, tapi ia tidak ingin menambah kesedihan keluarga rumah singgah.

Hari ini mereka sudah kacau, ia tidak ingin menambah kekacauan itu dengan kondisi yang seperti ini. Samar, ia melihat wajah teman-teman serta pengurus rumah singgah bergantian mengerubunginya.

Kemudian semuanya terasa hening, ia memaksakan seulas senyum ketika tiba-tiba saja bayangan dari masa kecilnya terlintas di ambang kesadarannya.

Kilasan-kilasan memori yang pernah ia lalui terus bergilir seolah ingin mengingatkan Zevan bahwa ia pernah hidup dan bahagia meski penyakit mematikan itu selalu membayanginya.

Ia jadi teringat bagaimana saat pertama kali dibawa ke rumah ini, meski awalnya merasa ragu tapi berkat bujukan serta sambutan hangat dari para penghuni rumah singgah membuatnya yakin untuk tinggal sementara di sini.
Meski terasa berat harus berjauhan dengan sang ibu, Zevan berusaha bertahan karena ia ingin sembuh. Ia ingin menggantikan mendiang sang ayah untuk menjaga ibunya, juga menggantikan sang ibu untuk mencari nafkah. Yah, jika saja ia bisa sembuh. Nyatanya sudah sejauh ini belum ada perkembangan yang berarti. Kanker itu masih menggerogoti paru-parunya.

“Lebih baik kita cepat bawa Zevan ke rumah sakit,” ucap Bunda Nana yang melihat Zevan semakin kepayahan menarik napas.

Mereka segera bergegas membawa Zevan ke rumah sakit setelah Bunda Nana berkata demikian, tanpa peduli sedikit pun pada preman yang masih nekat mengintimidasi penghuni lain. Karena Bunda Nana dan Bunda Vio percaya, Rian, Langit, Rayyan, dan teman-teman yang lain pasti mampu mengatasi preman-preman itu.

Tak butuh waktu lama, kini Zevan sudah mendapatkan penanganan khusus. Beberapa pengurus rumah singgah bersama Erland, Elang, dan Shindu tengah menunggu dokter yang menangani Zevan di depan ruang IGD dengan khawatir. Mereka terus merapalkan doa, meminta yang terbaik untuk Zevan.

***

Hari sudah gelap ketika ibu Zevan tiba di rumah sakit. Bunda Nana yang menyambut dan membawanya menuju ruang rawat Zevan.

“Zevan?” ucapnya lirih begitu diizinkan melihat kondisi Zevan yang masih tak sadarkan diri.

“Ibu di sini, Sayang. Zevan bangun ya, katanya Zevan mau Ibu peluk. Ibu mohon, bangun ya.” Ibu Zevan menangis tersedu sambil menggenggam tangan dingin putranya. Namun ia sadar betul, sebanyak apa pun ia berucap putranya tidak akan membalas. Zevan dinyatakan koma karena serangan dari penyakitnya juga luka di kepala yang mengeluarkan cukup banyak darah.

Keesokan harinya, ketika semua orang sibuk dengan kegiatan pribadi, Zevan membuka matanya.
Awalnya ia merasa takut karena tidak ada seorang pun yang menyambutnya ketika ia membuka mata, tapi kemudian ia teringat mimpinya. Ketika ia berada pada sebuah tempat asing yang begitu menenangkan tanpa rasa sakit yang biasa ia rasakan.

Zevan termenung, merasakan denyutan di kepala serta rasa sesak yang mengimpit dadanya. Tubuhnya juga masih terasa lemas meski sudah sadar sejak satu jam yang lalu.

“Zevan?!” Pekikan itu membuat Zevan tersadar dari lamunannya, pemuda itu tersenyum tipis di balik masker oksigen yang melekat di setengah wajahnya.

“Alhamdulillah, Ibu senang kamu sudah bangun. Maafin Ibu ya, tadi Ibu keluar sebentar.” Zevan mengangguk sebagai jawaban, matanya terpejam merasakan sentuhan halus dan hangat yang diberikan oleh sang ibu.

“I-ibu, Zevan senang punya Ibu yang kuat seperti Ibu,” ucap Zevan pelan,  ia membalas genggaman tangan ibunya.

“Zevan sayang Ibu, janji sama Zevan kalau Ibu akan tetap kuat tanpa Zevan, ya?”

“Kamu bicara apa, hm? Ibu akan panggil dokter biar kamu diperiksa.”

Tanpa mendengar jawaban Zevan, sang ibu segera beranjak. Ia sengaja pergi karena tak kuasa mendengar celotehan putranya yang entah kenapa terasa begitu menyesakkan.
Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan dari dokter, Zevan segera dipindahkan ke ruang rawat karena sebelumnya ia berada di ruang ICU. Beberapa pengurus rumah singgah satu persatu berdatangan satu jam setelah Zevan pindah ruangan. Mereka datang membawa bingkisan serta memberikan kata-kata penyemangat untuk Zevan agar anak itu merasa lebih baik dan semangat menjalani pengobatannya.

“Bunda Nana, Bunda vio,  makasih sudah mau urus Zevan selama tinggal di rumah singgah,” ucap Zevan, ia mengulas senyum manisnya pada dua orang yang sejak awal menerimanya begitu baik dan hangat.

“kami sudah menganggap kamu bagian dari keluarga kami, jadi kamu gak usah berterima kasih lagi.” Bunda Vio berucap lembut, ia mengusap lengan Zevan.

“Bun, tetap ramah dan hangat ya sama teman-teman yang lain.”

“Tentu, kami akan berusaha menjadi ibu yang baik buat kalian. Sekarang kamu istirahat ya, kami harus kembali ke rumah singgah.” Kali ini Bunda Nana yang berucap. 

Begitu jam besuk habis, kedua wanita itu meninggalkan rumah sakit dengan hati yang dilanda kegelisahan.  Mendengar kata-kata Zevan membuat mereka merasa akan ada sesuatu yang terjadi.

Ibu Zevan kembali memasuki ruangan putranya, ia mendapati Zevan yang termenung menatap langit-langit di atasnya. Pandangannya tampak kosong serta binar mata yang redup.

“Kenapa melamun, hm?”

“Zevan mau tidur sama Ibu.” Zevan berucap pelan tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. Ketika dirasa tempat tidurnya menyempit, ia mengulas senyum karena sang ibu yang ikut berbaring di sampingnya.
Zevan memejamkan matanya, merasakan usapan lembut sang ibu serta dekapan hangatnya yang nyaman.

“Tetap bahagia ya, Bu. Zevan sayang sama Ibu.” Bisikan lirih itu terdengar ketika Zevan balas memeluk sang ibu dan menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher ibunya.

“Ibu lebih menyayangi Zevan,” balasnya lirih sambil mengecupi pelipis sang putra.

***

Semilir angin yang menyejukkan. Zevan tak hentinya mengulas senyum. Ia merasakan kebebasan sekarang. Tempat ini menyenangkan dan ia tidak lagi kesakitan.
Dan yang paling menyenangkan adalah ... ia bertemu dengan Ayahnya.

“Zevan?” Pemuda itu menoleh dan mendapati pria yang ia rindukan berdiri di belakangnya.

“Sudah saatnya,”  ucapnya lagi.

Zevan hanya mengangguk mengerti, tanpa banyak bicara ia menerima uluran tangan sang ayah. Kemudian mereka melangkah bersama menuju cahaya yang akan membawa mereka ke tempat yang seharusnya.

Bersambung...

Written by Zckeirvy  and SickStoryArea members

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro