Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28: Kebenaran

Diskusi dengan aura menegangkan telah dimulai. Hawa dingin menambah ketegangan di ruang pertemuan itu. Adina memperbaiki posisi duduknya ketika Ketua Yayasan dan Kepala Sekolah mulai bertindak sebagai pemimpin di barisan terdepan. Diawali dengan penjelasan dari pihak keamanan yang berjaga malam itu.

"Saat itu kami sedang istirahat makan malam. Semua akses masuk telah dikunci dengan baik." Seorang pria berpakaian hitam menjelaskan awal perkara, lalu melanjutkannya dengan lebih jelas. Beberapa orang yang mendengarnya, mengangguk-angguk paham. Martin ikut menyimak dengan sesekali menulis sesuatu di catatannya.

"Apakah sistem proteksi kebakarannya tidak berfungsi?" tanya Martin.

"Kita harus melakukan pengecekan lagi tentang hal itu," jawab Ketua Yayasan.

"Tidak mungkin karena kecacatan instalasi. Ini pasti karena kelalaian." Stacey, selaku kurator di galeri GLAC, sepertinya menjadi orang yang sangat tidak terima akan kebakaran yang terjadi. Hal itu tidak terlalu mengherankan, mengingat banyaknya karya miliknya yang dipajang di galeri. Riasan wajah wanita itu terlihat lebih tajam dari yang pernah Adina lihat.

Tudingan Stacey membuat tiga orang pria dari pihak keamanan gedung terdiam menunduk. Bapak Kepala Sekolah segera berdeham dan melanjutkan diskusi.

"Bagaimana dengan CCTV?" tanyanya.

"Kami sudah memeriksanya. Tidak ada seseorang yang mencurigakan," jawab Martin.

Bisik-bisik mulai berdengung. Beberapa orang memperkirakan kebakaran terjadi akibat arus pendek. Tetapi tidak sedikit yang menyangsikannya. Beberapa staf keamanan kembali ditanyakan tentang situasi terakhir sebelum kebakaran terjadi. Setelah lima belas menit, Derida mengatakan sesuatu dengan suara pelan kepada Kepala Sekolah. Tidak jelas apa yang dikatakan wanita itu. Mereka seperti berbisik. Kepala Sekolah mengangguk dan kemudian memanggil sebuah nama.

"Shad."

Adina menutup matanya. Panggilan itu membuat jantungnya bekerja lebih cepat. Sebelum dia menoleh, Shad sudah menaikkan kepalanya, menatap Kepala Sekolah dengan nyali penuh.

"Lebih dari seminggu yang lalu, ada seorang murid yang memberitahu kami tentang rencana yang kau ciptakan. Bisakah kau menjelaskan rencana itu?"

Sekarang, terlalu banyak pandangan yang menuju Shad. Adina bisa merasakan lembab di telapak tangannya.

"Ya." Shad menjawab dengan singkat.

"Apa yang kalian rencanakan?"

"Membakar gedung itu."

"Untuk apa?"

"Aku hanya ingin melakukannya."

"Kau mengatakan 'aku'. Jadi, ini rencanamu sendiri atau ada orang lain yang terlibat?"

"Tidak. Itu hanya aku."

Apa-apaan? Adina berteriak di dalam hati. Dengan cepat, dia menoleh untuk memberikan peringatan kepada Shad. Namun, pandangan laki-laki itu masih lurus ke depan.

"Jadi, kau tidak bersekongkol dengan Ed dan Jory?"

Kali ini, Derida dan Adina saling memberi sinyal. Mempertanyakan kebenaran yang ada.

"Yang benar saja! Ed tidak mungkin ingin memusnahkan karya milik ayahnya!"

Kepala Sekolah memberi kode kepada Stacey agar tidak memotong ucapannya. "Jadi, kau tidak bersekongkol dengan Ed dan Jory?" ulangnya.

"Tidak."

Adina tidak tahan mendengar semua pengakuan Shad. Kakinya kembali gelisah. Pandangannya tidak lagi fokus. Berkali-kali, dia menoleh ke berbagai arah. Shad, Derida, Martin, Kepala Sekolah, orang-orang, pintu masuk, dan kembali lagi kepada Shad.

"Apakah benar kau berada di TKP saat kebakaran terjadi?"

"Ya."

"Apa yang kau lakukan?"

"Jadi, kau yang melakukannya?" Suara Stacey menyalip pertanyaan dari Kepala Sekolah. Nadanya semakin terdengar tidak sabar. Martin menatap wanita itu tajam. Menuntut kewajiban untuk berbicara hanya ketika dipersilakan. Bagi Martin, pertanyaan itu tidak layak untuk disuarakan saat ini. Terlalu mendakwa tanpa bukti.

Mendengar tudingan Stacey, Adina segera mengatur napasnya. Shad sepertinya tidak mendengar peringatannya di awal. Dia ingin bertindak sebagai pahlawan. Semua terasa sia-sia. Satu-satunya harapan ada di balik pintu itu. Pintu masuk yang masih tertutup rapat.

"Ini terlalu memalukan."

"Tidak mungkin kebakaran itu dilakukan oleh murid sekolah sendiri."

"Ya. Sekolah ini selalu mendidik muridnya dengan baik."

Di tengah dengungan keberatan akan tuduhan Stacey, Adina menangkupkan wajahnya. Berharap tidak menyaksikan semua yang ada di hadapannya. Berharap agar Shad tidak bertindak bodoh. Dia segera menggenggam ponselnya dan hendak menyela keributan itu. Namun, suara pintu terbuka, menghentikan berbagai perdebatan. Perhatian kini terpusat kepada orang yang berjalan, mendekat ke barisan depan. Semua memandang laki-laki itu dengan heran.

"Kebakaran itu, aku penyebabnya."

"Niki!" Stacey terperanjat tidak terima atas pengakuan tiba-tiba putranya itu. "Maaf. Sepertinya dia sedang tidak sehat," ucapnya lagi lalu segera berdiri, mendekati Niki. Wanita itu berusaha membawanya keluar ruangan.

"Tunggu dulu, Nyonya Stacey." Martin segera ikut berdiri. "Mungkin, anak Anda benar."

***

Tiga jam sebelumnya.

Jari telunjuk milik Adina menekan bel di dekat pintu bernada merah. Adina menaikkan tudung jaket, menunggu seseorang membuka pintu. Udara pukul tujuh pagi saat itu terasa dingin. Musim panas sepertinya akan berakhir, tetapi hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk menunggu. Setelah lima kali memencet bel, pintu kayu di hadapannya itu akhirnya terbuka.

"Adina?"

Wajah bingung Niki menyambut Adina dari dalam rumahnya. "Ini terlalu pagi untuk berkunjung."

Adina mengangguk setuju dan tersenyum. Dia sampai melewatkan sarapan untuk bisa sampai di rumah Niki sepagi ini. "A-ada sesuatu yang ingin aku bahas. Tentang lukisan," jelasnya.

Niki masih menatap tidak percaya.

"Ya. Aku tidak tahu kalau hari ini ternyata libur. Jadi, aku ke sini …."

"Masuklah."

Adina mengikuti Niki dari belakang dan melepaskan jaketnya. Suasana di dalam rumah Niki masih seperti saat pertama kali dia berkunjung. Klasik dan terasa seperti museum. Adina mengamati satu per satu lukisan yang terpajang di dinding. Mencoba mengingat letak lukisan yang dicarinya. Ternyata di ruang tamu. Lukisan itu masih menggantung, tepat di atas sofa.

"Bagaimana cara melukisnya?"

Niki mengikuti arah pandang Adina. Tiga buah lukisan kepala hewan; rusa, singa, dan harimau. Semua terlukis sempurna di media papan kayu. Seketika, Niki mulai waspada. Tetapi laki-laki itu masih memasang tampang ramah.

"Aku menggunakan teknik pyrography setahun yang lalu. Dibantu pelatihku."

Adina menoleh, menanti penjelasan berikutnya.

"Kita bisa menggunakan energi panas untuk membakar lapisan terluar kayu. Lalu menjadikannya sebuah gambar yang kita inginkan."

"Menggunakan alat?"

"Dulu, seniman menggunakan sinar matahari yang diteruskan melalu kaca pembesar. Bisa juga dengan logam khusus yang … dibakar. Zaman sekarang lebih bebas."

"Seperti?"

"Ya …, apa pun yang bisa membakar."

"Keren! Kau bisa mengajariku?"

"Itu … lumayan susah."

"Ayolah, apa yang susah bagi seorang Niki?"

Niki menggigit bibir bawahnya, mencoba mempertimbangkan sesuatu.

"Bagaimana?" desak Adina lagi.

"Sepertinya lain kali, Adina. Aku juga tidak tahu apakah masih menyimpan alatnya atau—"

"Apa alatnya seperti ini?" Adina menghidupkan ponsel yang sejak tadi digenggamnya. Layar itu memperlihatkan foto sebuah pena api yang terbakar di TKP.

***

"Kami menemukan barang ini di studio lukis." Martin mengeluarkan sebuah kantong plastik bening yang tersegel. Di dalamnya terdapat sebuah logam yang hangus terbakar—namun masih utuh. Benda itu memiliki ujung yang runcing seperti pena.

"Pena api. Sering digunakan oleh pelukis dengan teknik pyrography," ucap Martin dengan lugas. "Lebih sering digunakan di media lukis berbahan kayu dan seharusnya terhindar dari bahan campuran yang mudah terbakar.

"Dilihat dari tingkat keparahannya dan juga dari rekaman CCTV, sepertinya api berasal dari studio lukis. Kemungkinan, seseorang tidak sengaja meninggalkan alat lukis itu dalam kondisi menyala di tempat yang tidak seharusnya. Pena ini berada di dekat meja yang telah menjadi arang dan tombolnya dalam keadaan hidup.

"Niki, apakah pena ini milikmu?" tanya Martin dengan sungguh.

"Ya. Aku meninggalkannya di sana. Kupikir sudah mati. Ternyata, aku keliru."

***

Tiga jam sebelumnya.

"Tidak ada anggota klub yang mengerti menggunakan alat ini."

Niki masih mematung, setelah menatap benda yang ada di foto. Sejenak, matanya dipejamkan, menyesali kekacauan yang diciptakannya dalam sekejap.

"Niki, aku tahu kalau kau tidak sengaja meninggalkannya. Tapi, tolong mengakulah kepada pihak sekolah. Aku pernah bercerita tentang rencana pembakaran gedung itu kepada Madam Derida. Mungkin, mereka mencurigai Shad sebagai pelakunya."

"Jadi, kau berpikir kalau lebih baik aku yang bersalah daripada Shad?"

"Aku hanya ingin kebenarannya terungkap," bantah Adina.

"Aku tidak yakin akan melakukannya. Lagi pula, tidak ada bukti kalau benda itu milikku."

"Kenapa, Niki? Sudah jelas, hanya kau yang memilikinya." Adina berkata dengan nada bergetar.

"Kau yang kenapa, Adina?" Niki membalas tatapan kecewa milik Adina dengan tajam. "Saat lukisanmu terpilih menjadi sepuluh karya terbaik, kau ke mana? Kau hanya berbagi kebahagiaan bersama Shad dan teman-temanmu yang lain. Apa kau lupa? Siapa yang membawamu sampai ke titik itu? Aku yang sudah membantumu, tetapi sepertinya kau lupa."

"Tidak. Aku tidak lupa." Adina menggeleng keras.

"Lantas, kenapa kau tidak menemuiku saat itu? Bahkan kau tidak membalas pesanku."

Adina tergagap. Dia memang lupa membalas pesan Niki karena kehebohan Kiera dan Lula. Dia juga tidak menemui Niki hari itu. Entah kenapa, Adina tidak mengingatnya. "Maaf. Tapi, aku tidak bermaksud seperti itu …."

"Selama dua hari, kau lebih memilih merayakannya dengan teman-temanmu itu. Kau lupa? Mereka yang mengacaukan lukisanmu!"

"Mereka tidak bermaksud seperti itu, Niki."

"Dan kau masih membela anak-anak perusuh itu? Saat semua berjalan seperti yang seharusnya?"

" 'Seperti yang seharusnya'?" Adina mencoba mencerna perkataan Niki.

"Ya. Mereka seharusnya membakar gedung itu. Dan gedung itu sekarang terbakar. Kau masih membela mereka?"

"Tunggu-tunggu. Jadi kau sengaja meninggalkan pena api itu?" Adina menggenggam ponselnya lebih erat.

"Aku melakukannya karena itu yang seharusnya terjadi. Aku sangat senang ketika kau menampar Shad dan melimpahkan semuanya kepadanya. Itulah yang seharusnya terjadi."

Adina membelalak tidak percaya. Seorang pahlawan di hadapannya telah berubah menjadi lawan. Tetesan air mata kini tidak mampu ditahannya lagi. Dengan menahan amarah, Adina mendekati Niki lalu berkata pelan dan tajam.

"Lebih baik kau menyerahkan diri. Katakan kalau kau tidak sengaja meninggalkan benda itu. Atau aku akan menyerahkan rekaman ini." Tangan Adina mengangkat ponsel di genggamannya. Sebuah layar yang menampilkan hasil rekaman suara. Seketika, Niki terpaku.

"Dan akhirnya aku mengerti," lanjut Adina, kini lebih tenang. "Aku mengerti kenapa sisa bekas bakar bingkai lukisanku terlihat aneh. Seharusnya bingkai itu berwarna merah maroon. Tapi yang ada di sana terlihat seperti warna biru tua."

"Aku tidak ingin melenyapkannya," ucap Niki.

"Aku tidak ingin berterima kasih untuk hal itu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro