21: Pengaruh Baik
Acara pembukaan Golden Art Week dilaksanakan di hari Sabtu siang, seminggu setelah batas pengumpulan lukisan. Acara yang diadakan oleh dewan kesenian kota itu dihadiri oleh beberapa wakil dari pemerintah kota, pejabat sekolah, seniman, serta beberapa guru dan orang tua. Sejumlah komunitas seni dari berbagai sekolah dan universitas juga ikut meramaikan dengan mengikuti sayembara atau hanya sekadar berkunjung.
Sayembara sendiri terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat pelajar, mahasiswa dan profesional. Jumlahnya ada sekitar tujuh puluh lukisan dan dua puluh karya seni tiga dimensi yang dilombakan.
Adina sendiri tidak menyangka akan bergabung di tempat ini dan lukisannya terpajang di deretan peserta tingkat pelajar. Dia bahagia. Hanya saja sejenis bahagia yang mengharukan, bukan jenis yang berseri-seri. Mungkin karena semua terasa asing dan baru. Atau mungkin dia hanya merasa terjebak sendirian, menyadari Kiera dan Lula tidak hadir di sana.
Suara ketukan sepatu mengiringi kedatangan seorang wanita karismatis. Wanita itu berhenti di depan lukisan Adina. Adina mengenalnya. Dia Miranda Stacey. Wanita yang sama dengan yang berpidato di opening ceremony. Ketua komite Golden Art Week untuk periode saat ini. Itu membuat jantung Adina semakin berdebar-debar.
Jari telunjuk Miranda menelusuri catatan kecil yang tertempel di dinding, tepat di samping lukisan itu.
Seharusnya kau menemukan sebuah bunga di sana.
"Tidak ada bunga di sini," komentarnya. Kini, matanya yang indah mencermati lukisan Adina. Pemandangan sungai Abraham tanpa bunga apa pun. Berbanding terbalik dengan judul lukisannya. "Lukisanmu bagus," kata Miranda kemudian dengan wibawa yang terlalu kental.
"Tentu saja." Niki menyahut pujian Miranda. Lalu mereka saling mencium pipi dengan hangat. "Ibu, dia Adina."
Adina tersenyum ramah.
"Jadi, kau anggota baru di klub melukis?"
Adina mengiyakan.
"Hei, Miranda."
Seorang pria paruh baya menghampiri mereka dan memberi pelukan hangat kepada Miranda. Seperti yang dilakukan Niki sebelumnya. Mereka tampak akrab dan saling menanyakan kabar.
"Aku pikir kau tidak datang."
Adina mencoba mencari tahu apakah pria itu adalah orang yang penting dengan memberi Niki tatapan penuh tanya. Namun, Niki tidak terlalu menyadarinya karena dia sedang mengangguk singkat demi menjawab sapaan pria itu.
"Ah, Adina. Kenalkan, dia Tuan Gavin Andrews." Miranda seolah mengerti kerisauan gadis itu. Mendengar nama pria tersebut, Adina tersenyum kaku namun tetap menyambut uluran tangan milik Gavin.
"Dia adalah orang yang bertanggung jawab atas desain gedung yang mengagumkan ini," jelas Miranda lagi. Kali ini, wibawanya tidak sekental sebelumnya. Adina yang tidak mengerti caranya basa-basi dengan orang yang lebih tua dengannya hanya tersenyum ramah.
"Anakku juga sekolah di GLI."
Aku sudah tahu.
"Sayangnya dia lebih menyukai olahraga daripada hal yang berbau seni," sambung Gavin.
Mereka tertawa dan Adina pun ikut tertawa meskipun terdengar canggung. Selanjutnya, mereka meninggalkan Adina dan Niki untuk menyapa tamu lainnya di galeri itu.
"Akan ada perayaan kecil-kecilan di rumahku nanti. Semua anggota klub ikut. Kau tidak boleh lari," kata Niki kemudian.
"Tentu saja," jawab Adina tanpa terpaksa.
***
Rumah Niki terasa seperti sebuah museum. Terlalu banyak benda antik dipajang di sana. Beberapa lukisan karya Miranda tergantung menghiasi setiap dinding rumah. Adina tidak menyangka kalau ibunya Niki memang seorang maestro dalam dunia seni lukis. Beberapa lukisan menggunakan teknik melukis yang berbeda. Yang paling mengagumkan adalah sebuah lukisan yang dilukis hanya dengan satu warna, merah, namun hasilnya jauh dari kesan monoton. Ada juga lukisan di media kayu yang menggunakan sentuhan api untuk menggambarkan sebuah objek. Adina tidak terlalu mengerti ketika Niki mecoba menjelaskannya. Yang dia mengerti adalah karya seni itu terlalu indah untuk dia mengerti.
Perayaan kecil-kecilan digelar di sebuah patio yang berada di belakang rumah. Mereka hanya memesan beberapa kotak piza dan minuman ringan. Langit sore menambah kenyamanan di sana.
"Aku tidak menyangka kau mampu menyelesaikan lukisanmu, Adina."
Adina mengangguk, menyetujui ucapan Leah. "Ini semua berkat Niki," katanya.
"Di mana ada Niki, semua akan beres." Brian menambah.
Niki hanya menggeleng-geleng, merasa semua ucapan temannya terlalu berlebihan.
"Aku juga cukup terkejut saat Adina membawa lukisan yang sudah selesai. Jadi, kalian menyelesaikannya bersama?" tanya Dory.
"Ya, Niki membantuku—"
"Aku hanya mengarahkan saja. Adina yang melakukannya," jelas Niki cepat.
"Kau beruntung, Adina. Andai saja teman-temanmu itu tidak menciptakan keributan."
"Ya, mereka memang pengacau."
Kaleng soda di genggaman Adina terasa lebih dingin. Dia tidak menanggapi kicauan anggota klub lainnya yang sekarang tengah membahas kekacauan di hari sial itu. Adina memang menyesali kejadian tersebut namun dia merasa teman-temannya—atau mungkin mantan teman-temannya—seharusnya tidak dijadikan lelucon.
***
"Aku akan mengantarmu pulang."
Adina menolak tawaran Niki namun laki-laki itu tidak peduli. Langit sudah mulai gelap dan memang seharusnya Adina menerima tawaran itu agar sampai ke rumah dengan selamat. Di dalam mobil, mereka tidak banyak mengobrol. Adina terlalu sibuk menimbang-nimbang apakah akan memberitahu Kiera dan yang lainnya tentang keikutsertaannya di sayembara. Dia merasa tidak tahan untuk mengatakan kalau semua masih berjalan lancar. Perkataan Madam Derida pun semakin lama semakin masuk akal. Jadi, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Seharusnya.
"Kau memikirkan sesuatu?" tanya Niki tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di depannya.
Pertanyaan Niki membuat Adina mencari tahu apa yang sebenarnya sedang dia pikirkan. Terlalu banyak dan terlalu abstrak.
"Mm, sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu," kata Adina enggan.
"Tanyakan saja. Aku tidak akan memakanmu hanya karena sebuah pertanyaan."
"Tentang perselisihanmu dengan Ed ...." Adina melirik Niki dan menyadari memudarnya senyum hangat laki-laki itu. "Apakah ini menyangkut ayahnya Ed? Maksudku, tentang hubungannya dengan ibumu. Oh, maaf, Niki. Sepertinya aku terlalu berlebihan." Adina menyesal karena pertanyaannya membuatnya salah tingkah.
"Hei, hei, tenang, Adina." Niki tertawa, seolah sangat terhibur. "Aku juga tidak terlalu paham. Tuan Andrews memang dekat dengan ibuku sebelum proyek gedung GLAC dimulai. Ketika aku mengetahui dia terpilih sebagai arsiteknya, aku sempat berpikiran jahat. Maksudku, sebagai anak yang sangat menyayangi seorang ibu, aku tidak ingin ibuku dimanfaatkan."
Adina mengangguk mengerti.
"Semenjak istrinya diberitakan berselingkuh, karir pria itu menurun. Itu yang membuatku yakin kalau dia hanya memanfaatkan ibuku untuk memenangkan proyek itu. Tapi aku tidak ingin ikut campur. Sayangnya, Ed tidak sepertiku." Niki tertawa sinis. "Entah kenapa, dia selalu berpikir jika ada berita buruk tentang keluarganya, akulah sumbernya."
Adina menyesali kerumitan yang terjadi di antara mereka—atau mungkin sebenarnya tidak terlalu rumit hanya saja Ed yang menyebabkan segalanya menjadi rumit. Setelah sampai di depan rumah, Adina berterima kasih kepada Niki dan mencoba memberi pengertian tentang Ed. "Dia memang sedikit bermasalah dan … cukup egois," katanya.
Gary sempat menyapa Niki dan mengatakan kalau Niki adalah teman yang baik dan memberi pengaruh baik kepada Adina. Adina hanya tersenyum setuju, tetapi menjadi penasaran. Apakah berteman dengan Shad dan lainnya tidak memberinya pengaruh baik?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro