Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20: Memulai Kembali

Adina tidak merasa kehilangan meskipun dia belum mengerti entah apa yang dimaksud dengan kehilangan. Gadis itu sudah jarang menghabiskan waktu dengan Kiera dan Lula di kantin atau di luar jam pelajaran sekolah. Sebagian besar waktunya dihabiskan di studio, tetapi itu tidak terlalu bermanfaat bagi kelanjutan lukisannya.

"Itu kelima kalinya."

Adina tidak menyahut teguran Niki ketika dia mengganti kanvasnya untuk yang kelima kalinya—seperti yang dikatakan Niki.

"Hei, hei, hentikan." Niki menahan lengan Adina yang akan kembali menggores sketsa. "Ada apa?" tanya Niki prihatin.

Adina bersandar di kursinya dan membalas tatapan Niki. Konsentrasinya terkuras hanya untuk memikirkan hal yang tidak dia mengerti. Batas pengumpulan lukisan tinggal tiga hari dan Adina merasa tidak berdaya. Semua terasa sia-sia baginya.

"Sebaiknya aku tidak mengikuti sayembara ini," ucapnya lemah dan terdengar seolah sedang meyakinkan diri sendiri. Tanpa membereskan peralatan melukisnya, Adina beranjak pergi meninggalkan seluruh isi studio yang tidak lagi menyimpan gairah. Ternyata hal itu yang hilang.

***

"Jadi kau mau mengatakan kalau ada beberapa murid yang ingin membakar gedung Golden Lake Art Center?"

"Ya." Adina mengangguk meski tidak yakin kalau tampangnya sangat meyakinkan di mata Madam Derida. Dia berharap keputusannya mengadu dengan konselor para siswa itu bisa membuatnya tertidur di malam hari.

Madam Derida melepas kaca matanya dengan tampang prihatin penuh. Tubuhnya dicondongkan ke depan, mendekat ke tepi meja.

"Begini, siapa namamu tadi?"

"Adina."

"Begini, Adina. Aku tahu kalau sekolah adalah representatif dari neraka, setidaknya bagi kalian. Delapan tahun aku bekerja di sini, begitu banyak ancaman yang keluar dari murid-murid bermasalah. Mereka berlagak layaknya manusia yang bisa melakukan apa pun.

"Kau tahu? Sebulan yang lalu, ada seorang murid yang berjanji akan menembakku dengan beretta, tepat di kepala." Madam Derida tertawa menyindir. "Tapi semua hanya omong kosong," lanjutnya.

Kaki kanan Adina semakin berguncang tidak tenang di bawah meja. Dia sudah mengerti ke mana arah pembicaraan wanita tua di hadapannya itu.

"Aku tahu kau anak yang cukup baik meskipun kemarin lusa kau terlibat masalah."

Apakah harus menyinggung persoalan itu?

Madam Derida menatap Adina penuh selidik seolah menemukan sesuatu yang berharga di wajahnya. "Apa ini tentang teman-temanmu itu?" tanyanya kemudian.

Konselor tidak akan mudah ditipu. Mengingat kebenaran itu, Adina tidak mengelak dan tidak menjawab. Dia membiarkan Madam Derida mengambil kesimpulannya sendiri.

"Begini, aku sarankan, carilah teman yang lebih baik jika kau ingin menjadi seorang pelajar yang baik. Dan untuk masalah itu, aku tidak bisa mendakwa seseorang tanpa barang bukti. Remaja memang memiliki imajinasi yang liar. Aku tidak terlalu mempermasalahkannya jika itu hanya bertahan di pikiran mereka …."

Hanya itu yang mampu Adina tangkap. Selagi Madam Derida melanjutkan petuah-petuah lainnya, gadis itu mencoba mencari cara untuk keluar dari ruangan itu secepatnya.

***

"Aku jarang melihat Adina."

Kiera menaikkan bahunya dan mengaduk-aduk makaroni keju dengan malas. "Dia tidak masuk dua hari. Katanya demam biasa," jawabnya lemah.

"Ponselnya jarang aktif," tambah Lula.

"Kalian tidak menjenguknya?" Jory kembali bertanya karena Shad dan Ed hanya diam saja.

"Kalian? Seharusnya kita!" seru Kiera, "apa kalian tidak ingin meminta maaf atau kalian memang tidak pernah merasa bersalah?"

Ketiga laki-laki di hadapan Kiera memasang tampang malas ketika menyadari gadis itu akan memulai melodramanya.

***

Jam di ponsel Adina menampilkan angka empat ketika dia menghidupkannya. Terlalu banyak pesan yang berlomba masuk membuat Adina bingung harus membaca yang mana dahulu. Kebanyakan pesan dari Kiera dan Lula. Ada juga dari anggota klub melukis, terutama Niki. Adina membalas sekadarnya hanya untuk memberitahu kalau dia baik-baik saja dan akan datang ke sekolah besok.

Setelah merapikan tempat tidurnya, Adina bergegas menuju dapur. Kerongkongannya terasa kering karena tidur seharian. Adina tidak berusaha mencari seseorang di rumah yang masih sepi itu. Pamannya dan Evan pasti belum pulang dan dia yakin bibinya sedang merawat tanaman di pekarangan depan rumah.

"Ada temanmu di depan."

Pemberitahuan yang tiba-tiba itu membuat Adina kesulitan meneguk air meskipun tetap saja berhasil. Adina mengangguk kepada bibinya dan segera menuju pintu depan tanpa memiliki gambaran siapa yang datang mengunjunginya.

***

Adina menyesal ketika melihat Niki menunggunya di beranda rumah. Ada plastik besar di genggamannya.

"Apa yang kau lakukan di sini? Seharusnya kau ada di studio. Anak-anak pasti sibuk di sana."

Niki mencermati wajah Adina, mencari fakta kalau gadis itu baik-baik saja seperti yang dikatakannya di pesan singkat barusan.

"Hampir semua sudah selesai. Sekarang giliranmu."

"Maksudmu?"

Niki memberi plastik besar itu kepada Adina. Melihat isinya, Adina terkesima dan semakin menyesal.

"Batas pengumpulannya besok, Niki. Aku tidak akan mampu—"

"Kau kembali meragukan ketua klub melukis."

***

Adina tidak mampu menolak niat tulus Niki untuk membantunya menyelesaikan lukisan. Untung saja Mila tidak terlalu cerewet karena mengetahui siapa Niki—mungkin karena mengetahui siapa ibunya Niki. Jadi, bibinya itu memperbolehkan mereka menggunakan balkon di lantai atas sebagai ruang melukis dadakan setelah Adina menyadari kalau kamarnya terlalu sempit untuk mereka gunakan.

"Aku tidak bisa hidup dengan tenang jika kau tidak menyelesaikan lukisanmu," ucap Niki, berusaha terdengar sungguh-sungguh. Laki-laki itu memasang kanvas di easel tanpa benar-benar terganggu dengan rambut ikalnya yang tertiup angin.

"Sepertinya kau memang pantas menjadi ketua klub." Adina mencoba menghargai dedikasi Niki.

Setelah semuanya beres, mereka memulai kembali lukisan milik Adina yang tidak pernah jadi. Niki memberikan arahan dengan sesekali menyelipkan candaan. Adina mengikutinya tanpa kendala. Dia tidak pernah melukis sebebas itu. Semua terasa mudah baginya sekarang, sampai-sampai mereka tidak menyadari kedatangan sebuah mobil di pekarangan rumah.

***

Ed menghentikan mobilnya dan menarik rem tangan. Jory mengamati rumah di hadapan mereka dari bangku belakang, sementara Kiera dan Lula mengetuk-ngetuk ponsel demi memberi tahu Adina tentang kedatangan mereka.

Setelah melepas sabuk pengaman, Shad melakukan hal yang sama seperti Jory, hanya saja jangkauannya lebih luas. Pandangannya tidak luput dari sepasang remaja yang sedang duduk berdampingan di depan kanvas. Semua cukup jelas untuk dia mengetahui siapa mereka.

"Lebih baik kita kembali."

Semua orang yang ada di mobil memandang Shad heran.

"Jalankan mobilnya, Ed!" Suara Shad semakin meninggi.

Ed yang memang tidak berniat untuk masuk ke rumah itu segera menyalakan mesin mobil tanpa menghiraukan kerewelan Kiera dan Lula.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro