18: Jangan Cengeng
"Pihak sekolah memberitahu segalanya."
Itu sambutan Mila ketika Adina menginjakkan kakinya di pintu rumah. Adina tiba dua puluh menit lebih lambat dari jam makan malam. Dia yakin, makan malam tidak akan terhambat hanya karena menunggu kehadirannya. Setelah melepas sepatu, gadis itu mengusap wajah kusamnya dan menatap bibinya dengan berani.
"Aku tidak melakukan apa pun."
"Jadi kenapa mereka mengatakan kalau kau terlibat?"
"Karena aku ada di studio dan mereka ...."
Mila masih berkacak pinggang menunggu jawaban Adina.
Ya. Semua karena aku. Bukan karena Kiera, bukan karena Shad, bukan karena Ed. Semua karena aku.
Tanpa berniat menyuarakan apa yang ada di dalam batinnya, Adina berjalan cepat menuju kamarnya. Masih terdengar suara bibinya yang tidak berhenti mengeluarkan kalimat sinis.
"... entah apa yang kurang dari didikan kedua orang tuamu."
Dan sekarang salah ayah dan ibuku.
Adina semakin mempercepat langkah dan segera mengunci diri begitu tiba di dalam kamar. Dalam hati, dia berharap pintu di hadapannya tidak bisa terbuka lagi.
***
Shad tidak berniat untuk menyalakan lampu begitu masuk ke dalam rumah. Jory mengikutinya dari belakang dan mendapatkan seorang pria paruh baya sedang duduk di sofa dekat tangga.
"Aku mendapat telepon lagi dari sekolah." Suara pria itu membenarkan penglihatan Jory. Shad menghentikan langkahnya meski malas dan berbalik menghidupkan lampu.
"Hai, Tuan Hans," sapa Jory kaku, lalu Shad memberinya kode untuk naik ke kamarnya.
Sepeninggalan Jory, pria itu beranjak dari sofa dan menghampiri Shad. Tangannya setengah meremas dagu Shad dan mengangkatnya. Pria itu mencari sesuatu di wajah putranya itu. "Tampaknya kau memenangkannya," ucapnya dengan senyum bangga. "Bagus. Aku tidak akan ikut campur selama kau menang. Tapi saat kau berada di tahun terakhir, tidak ada lagi bermain-main."
Shad merespon dengan tatapan beku. Dia tidak bergeming dan tetap menunggu pria di hadapannya melanjutkan kata-kata. Setelah dirasa tidak ada lagi yang ingin disampaikan ayahnya, Shad berbalik dan menaiki tangga dengan cepat tanpa membawa satu pun kalimat yang didengarnya tadi.
***
"Ibu, aku ingin tinggal di sini."
Gadis kecil bergaun hitam merengek sembari memeluk kaki ibunya. Rambutnya kusam karena tidak disisir seharian dan matanya membengkak karena menangisi kepergian ayahnya semalaman.
"Jangan cengeng, Dina. Kau harus patuh seperti yang sering dipesankan ayah."
Suara ibunya terdengar lemah, membuat gadis kecil itu berhenti merengek meski masih terisak-isak. "Tapi aku ingin melihat Shad bermain drama," katanya pelan.
"Dengar, Nak." Ibunya mendudukkan gadis itu ke tempat tidur dan menatapnya sendu. "Kau tidak ingin bersama ibumu?"
"Aku sayang Ibu."
"Jadi, kita harus pergi dari rumah ini. Ibu akan meminta video drama itu nanti. Kita akan menonton bersama."
Gadis itu tersenyum dan mengangguk cepat. Tangannya mengusap asal pipi basahnya. Dengan patuh, gadis itu membantu ibunya memasukkan pakaian yang bertumpuk di tempat tidur ke dalam koper besar.
Ketukan pintu membuyarkan layar hitam-putih yang terlihat di mata terpejam milik Adina. Kelopak mata itu membuka tanpa tergesa-gesa. Adina bangun dengan mengerang pelan karena merasakan kaku di sekujur tubuhnya terlebih karena beban di kepalanya. Tetapi semua kembali membaik dan dia segera membuka pintu kamar.
Yang ada di balik pintu adalah wajah tidak sabar Evan. Tangannya mengacungkan ponsel. "Kiera tidak akan menutup telepon sebelum berbicara denganmu," katanya cepat.
Meski malas, Adina menerima ponsel Evan dan menyapa Kiera, masih di dekat pintu. "Ya," ucapnya pelan tanpa gairah.
"Jadi ini akhir pertemanan kita?"
Suara Kiera tidak terdengar menyesal dan itu membuat Adina bersyukur. Dia memang tidak marah dengan temannya itu, tetapi pikirannya masih malas membahas tentang harinya yang kacau.
"Kau mengakhiri tidur tenangku. Kiera, bisakah kita membahas hal itu besok?" Adina melirik Evan yang masih menunggu di depan pintu.
"Aku setuju jika kau tidak menghabiskan seluruh waktumu di studio itu." Suara Kiera terdengar posesif. Hal itu membuat Adina tersenyum tipis.
"Seluruh waktuku untukmu besok."
Setelah panggilan terputus, Adina mengembalikan ponsel Evan. Sebelum pintu tertutup, Evan berkata ragu, "Soal ibuku, aku minta maaf."
"Kau tidak perlu." Adina membuka pintu kamarnya lebar-lebar agar Evan bisa masuk.
"Kiera menceritakan semuanya padaku. Jadi aku tahu segalanya. Tapi ibuku tidak mengetahui segalanya. Jadi kuharap kau bisa mengerti."
Adina duduk di tepi tempat tidur dan mengambil sebuah bantal untuk dipeluk. "Semua orang ingin dimengerti," gumamnya.
Evan menarik kursi di meja belajar, menghadapkannya ke arah Adina lalu duduk di sana. "Dulu aku selalu bertanya-tanya ...," katanya sambil menerawang.
Adina menegakkan kepalanya dan menunggu Evan melanjutkan cerita.
"Kenapa setiap hari besar kami selalu mengunjungi rumah ini atau rumah saudara ayah yang lainnya? Kenapa kami tidak pernah mengunjungi rumah saudara ibu? Kenapa ibuku jarang menceritakan tentang keluarganya? Banyak yang tidak aku ketahui.
"Lalu suatu hari, aku menemukan kebenarannya. Keluarga ibuku sangat mapan. Kakekku memiliki pabrik tekstil di beberapa kota besar. Nenekku seorang desainer ternama. Jadi kenapa mereka tidak pernah mengunjungi kami? Bahkan aku tidak pernah mendengar ibuku menelepon salah satu dari keluarganya.
"Kau tahu? Ternyata pernikahan ayah dan ibuku tidak pernah direstui oleh kakek dan nenek. Ibuku meninggalkan mereka hanya untuk hidup bersama pegawai rendahan. Jadi, dari situ, aku mengerti kenapa kami hanya dekat dengan keluarga ayahku. Dan dari situ, aku bisa memahami kalau ibuku sangat ingin membuktikan kepada keluarganya kalau suaminya mampu membawanya kembali ke kehidupan yang mapan."
Adina menyeka sudut matanya dan mencoba untuk tersenyum. "Terima kasih telah berbagi denganku," ucapnya tulus.
Evan tersenyum kecil menatap Adina yang masih berusaha menghentikan aliran di sudut matanya. "Hei," ucapnya tiba-tiba, "kau tidak mandi?"
Evan menatap Adina yang masih memakai baju yang dipakainya dari pagi. Seketika, mereka tertawa ringan bersama-sama.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro