Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15: Distorsi

Bagi Adina, sekolah akan terasa lebih menyenangkan jika tidak ada yang peduli dengan kehadirannya. Setelah singgah terlalu lama di toilet, dengan berat hati, gadis itu menyeret langkahnya menuju kelas. Pelajaran matematika akan tetap dimulai lima menit lagi bagaimanapun keadaannya.

Apakah Ed setenar itu?

Jawabannya terlalu jelas ketika Adina teringat kalau Ed adalah bintang di tim baseball. Adina terus menundukkan kepala, melewati tatapan-tatapan sinis, tatapan-tatapan kagum, dan beberapa tatapan yang belum mampu dia artikan. Setidaknya, dia masih bisa bersyukur karena telah meninggalkan bandonya. Gadis itu tidak tahu harus berbuat apa jika wajahnya terpampang jelas tanpa halangan poni. Koridor yang dilaluinya terasa lebih panjang, meskipun pada akhirnya sepatu birunya mendarat juga di lantai kelas.

Seperti biasa, ruang kelas masih heboh dan makin heboh sejak kehadiran Adina. Adina tidak terkejut ketika melihat siapa yang paling heboh. Temannya itu segera menyeret bangku mendekati mejanya.

"Apa?" tanya Adina ketus.

Kiera terpana dan mendelik. "Jelaskan tentang apa yang terjadi."

"Lebih baik kau mendengar penjelasan tentang rumus aljabar," kata Adina setelah melihat kehadiran guru matematika, membuat Kiera menyeret bangkunya kembali.

***

"Membakar gedung?"

Adina mengangguk dengan sedotan susu kotak di mulutnya.

"Itu berlebihan," sanggah Lula.
Mereka mengambil tempat duduk di meja kantin yang tidak terlalu jauh dari jalur masuk.

"Mungkin itu hanya rencana. Maksudku, bisa saja aku berencana memasang bom di sekolah ini. Dan itu hanyalah rencana. Aku sendiri tidak terlalu yakin itu akan terjadi."

Adina memang berharap perkataan Kiera seratus persen benar. Lagipula siapa mereka? Hanya remaja yang masih tidak mampu berbuat sesuatu yang besar seperti membakar sebuah gedung. Sesuatu yang besar menurut ukuran remaja, bagi Adina, hanyalah membuat rusuh di sebuah konser musik.

"Semoga saja benar," gumamnya meski dengan nada gelisah.

"Kalau masih cemas, kau bisa saja memanfaatkan situasi saat ini." Kiera menyilangkan tangan ke atas meja.

"Maksudmu?"

"Kau bisa saja membatalkan rencana itu," ucap Kiera santai meskipun Adina dan Lula masih menatapnya tidak mengerti.

"Astaga! Ini masalah hati. Apa yang menjadi kelemahan laki-laki?"

Adina dan Lula saling melirik seolah sedang berkompromi untuk saling menemukan jawaban.

"Perempuan!" seru Kiera. "Laki-laki mana yang tega untuk menghancurkan sesuatu yang berharga bagi perempuan yang dekat dengannya?"

Lula memicingkan matanya dan berkata, "Kiera, kau terlalu cerdas!"

"Jadi, maksudnya aku harus dekat dengan mereka?"

"Tidak perlu semua. Satu saja cukup. Kau bisa memanfaatkan gosip panas itu!"

Adina membenci mendengar saran Kiera. Kalaupun harus, dia lebih memilih untuk dekat dengan Shad daripada dengan Ed. Diskusi pun berakhir tanpa kesimpulan yang jelas karena Evan datang dengan seorang temannya berambut merah. Lula mengerutkan kening dan menatap mereka malas.

"Mau apa dia ke sini?" bisiknya.

Adina dengan sigap mengangkat bahu meskipun itu hanya sandiwara, sementara Kiera tersenyum manis, membalas sapaan Evan.

"Hei, Lula, aku melihat video ulang tahunmu di YouTube. Sangat keren," kata si Rambut Merah.

Kerutan di dahi Lula seketika menghilang dan bibirnya yang mengerucut berubah menjadi lengkungan bangga. Adina hanya meringis melihat perubahaan mood yang cukup ekstrim itu.

"Itu dari Kiera. Aku juga tidak yakin kalau dia pintar membuat video sekeren itu."

Adina menatap canggung Evan dan Kiera, bergantian.

"Kiera yang membuatnya? Kupikir hanya Evan yang mengerti masalah mengedit foto dan video."

Kini, giliran Kiera yang menatap canggung Adina dan Evan. Lula yang kebingungan pun ikut-ikutan menatap Kiera dan Adina. Semua berakhir dengan aktivitas saling menatap. Adina menunggu seseorang yang ingin memutuskan kekikukan itu.

"Hai, Shad!" Seruan Adina terdengar mengerikan. Giginya saling beradu, menanti balasan dari orang yang disapanya paksa. Masalahnya, tidak hanya Shad yang berjalan mendekati mereka. Ed dan Jory pun. Semua menjadi saksi ketika Shad mengangguk pelan dan memberi senyuman kecil namun ramah kepada Adina.

Adina melepas napas lega. Dia selamat. Kiera selamat. Evan pun selamat. Setelah itu, topik video teralihkan oleh kedatangan Shad dan teman-temannya. Evan dan temannya yang berambut merah itu menanyakan sesuatu yang tidak lagi ditangkap telinga Adina. Satu-satunya indera yang bekerja adalah hidung yang berusaha memasukkan oksigen sebanyak mungkin untuk mengembalikan irama jantungnya. Namun, dua indera pendengarnya kembali berfungsi ketika Lula bersuara dengan nada lugu yang terlalu dibuat-buat.

"Kupikir, Adina seharusnya menyapa Ed."

Ternyata salah. Adina belum seutuhnya selamat.

***

"Apa yang kau lukis?"

"Mungkin sesuatu di sekitar sungai Abraham."

"Naturalisme!" Leah berseru dari meja bundar sembari mencampurkan beberapa warna di palet kayunya.

"Kau harus memperhatikan gradasi dan proporsi." Niki mengamati sketsa kasar di kanvas Adina. "Kau berbakat," gumamnya sambil masih meniti goresan-goresan pensil yang digambar dalam waktu dua jam lebih itu.

"Ada sedikit distorsi di sini." Jari telunjuk Niki mengetuk-ngetuk sebuah tumbuhan kecil di dekat batang pohon besar. "Batangnya terlihat lebih besar dari daunnya."

Adina mengangguk-angguk mengerti, meski tidak sepenuhnya mengerti.

"Kau tidak fokus?" Niki memutar kursinya menghadap Adina. Sementara gadis itu meletakkan peralatan lukisnya di meja kecil di belakang.

"Karena berita tentangmu dan Ed?" Niki kembali bertanya karena Adina tidak kunjung menjawab.

"Itu sangat merepotkan." Adina menyeret napas berat.

"Jadi …?"

"Tidak. Itu hanya kabar burung yang terlalu buruk."

"Tapi kau terlihat akrab dengan mereka. Maksudku, Ed, Shad, Jory."

Adina melihat kesungguhan di wajah Niki. Semua seperti sudah jelas. Satu isi sekolah mengetahui pertemanan yang diklaim Kiera sebagai geng.

"Aku hanya mencoba memiliki teman," jawab Adina tenang. Dia kembali mencermati permukaan kanvas meskipun benda itu terlihat seperti arsiran yang berantakan di matanya.

"Kau bisa menjadi temanku."

Suara Niki terdengar hangat dan terbuka. Adina menatapnya dengan senyuman lembut. "Itu sudah pasti," katanya pelan.

Pertemanan yang ditawarkan Niki membuat Adina berani menuturkan keresahannya terhadap kemungkinan rencana Ed.

"Kau tidak perlu cemas. Aku pastikan, keamanan gedung ini akan ditingkatkan. Tidak ada celah untuk rencana kekanak-kanakan itu."

Niki kembali berhasil memberi kelegaan. Untuk saat ini, Adina mampu melupakan distorsi pada kanvas dan pikirannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro