14: Sangkaan
Air sungai yang jernih memantulkan sinar mentari, menghasilkan kilauan-kilauan di permukaannya. Adina mencoba meniru arus air di hadapannya itu. Tenang dan tak acuh. Meskipun terlalu sulit baginya untuk mengabaikan seseorang di sebelahnya. Di balik lensa kamera, pemandangan sungai Abraham terkabur oleh ingatannya tentang bagaimana dia bisa berakhir di situasi ini.
***
"Jadi kau curiga kalau mereka memiliki rencana yang besar dan ... merugikan?"
Adina mengangguk keras menjawab pertanyaan Kiera. "Aku akan menjauh jika sebuah rencana terjadi. Kanvas menyatu dengan abu ...." Adina meniru kata-kata Ed yang masih terngiang di kepalanya. "Ditambah gambar denah gedung GLAC di kamar Shad. Semua seperti semakin jelas," sambungnya.
Setelah sampai di depan kelas, Kiera berhenti sejenak dan menghadap Adina. "Aku tidak mengerti dengan omonganmu, tapi lebih baik kau pastikan dulu baru mengambil kesimpulan," katanya.
Adina membenarkan saran Kiera karena dia pun belum terlalu yakin dengan kecurigaannya. Jadi, gadis itu hanya mengangkat bahu dan hendak masuk ke dalam kelas.
"Duarte!"
Gerakan Adina terhenti ketika mendengar Kiera menyerukan nama yang sangat jarang di dengar meskipun pemilik nama itu sangat Adina kenal. Dia menoleh ke belakang demi meyakinkan diri kalau Duarte yang dimaksud Kiera adalah orang lain. Namun matanya hanya melihat sosok Ed yang semakin mendekat.
"Berhentilah memanggilku dengan nama lengkap."
"Itu bukan nama lengkap. Itu nama awal. Nama Ed yang kau maksud adalah nama panggilan. Sepertinya kau perlu belajar. Tapi itu tidak terlalu penting. Yang ingin kusampaikan adalah, Adina. Adina ingin mengajakmu ke suatu tempat. Benar, kan?"
"Aku? Suatu tempat? Apa?"
Memang sangat mudah untuk membaca kode yang diberikan Kiera, tetapi semua itu terlalu tiba-tiba baginya. Adina yang masih tergagap segera berusaha menemukan kalimat yang mendekati kategori masuk akal . "Sungai Abraham! A-aku harus mengambil ... beberapa gambar, untuk ... lukisanku," ujarnya tertatih.
"Ya, itu dia. Tadi Adina mengajakku, tapi, ya, kau tahu aku tidak suka berpanas-panasan di tempat itu. Kupikir kau bisa menemaninya."
Ed memandang kedua gadis yang telah sengaja menghalangi jalannya, lama, lalu akhirnya berkata, "jam tiga." Setelah itu, kakinya langsung melangkah pergi, melewati Adina dan Kiera yang berlomba-lomba melepas napas lega.
"Kau pastikan semua sangkaanmu, dan segeralah melapor!" Kiera masuk ke dalam kelas dengan menaikkan dagu bak pahlawan yang baru saja menaklukkan musuh. Sementara Adina masih tercengang sambil berharap Evan mau meminjamkan kameranya.
***
Klik.
Sebuah tekanan di tombol shutter membekukan keindahan sungai dengan tumbuhan-tumbuhan liar yang ditata cukup apik sehingga mereka tampak lebih terawat, meskipun tetap liar.
"Tempat ini lebih hidup dari yang terakhir kuingat."
Ed tidak menjawab karena merasa tidak perlu. Dia masih berdiri di belakang Adina dan berusaha mengamati kondisi sekitar sungai yang katanya lebih hidup. Rumput yang mereka pijak masih pendek karena baru dipangkas, sementara semakin dekat ke pinggir sungai, rumputnya semakin panjang dan penuh dengan tumbuhan-tumbuhan kecil. Cuaca yang cerah membuat beberapa orang dengan ceria duduk-duduk di bawah pohon rindang berdaun hijau segar.
"Apa yang ingin kau lukis?" Daripada diam saja, Ed mencoba basa-basi.
"Sesuatu yang dekat dengan sekolah."
"Kalau begitu, gambar saja jalan raya. Itu yang paling dekat."
Adina menurunkan kameranya sehingga tawa kecil yang sejak tadi tersembunyi terekam di mata Ed.
"Jalan raya tidak mengingatkanku pada sekolah," kata Adina sembari melihat kembali gambar-gambar yang telah terekam dari layar kamera.
"Untuk apa kau mengingat sekolah?"
Mereka kembali berjalan perlahan menyusuri pemandangan indah melalui indra maupun lensa.
"Pertanyaanmu lebih terdengar seperti sebuah ratapan." Adina kembali menilik dari balik lensa kamera.
"Semua yang ada padaku memang terasa buruk."
Adina semakin memelankan langkah dan melirik Ed dengan sedikit perasaan bersalah. "Hei, kenapa kau selalu menggangguku saat SD?"
"Kau merasa terganggu?"
Adina meringis kesal. "Kau masih bertanya?" Kali ini, dia benar-benar menghentikan langkahnya.
"Anggap saja kenakalan anak kecil," ucap Ed santai.
Basa-basi telah menguap dan Adina tidak mengerti dengan cara apa dia harus bertanya mengenai kecurigaannya. "A-aku juga masih merasa terganggu."
"Maksudmu?"
"Apa yang sedang kalian rencanakan?" Setajam mungkin, Adina bersuara. Matanya menyahut tatapan heran Ed tanpa gentar. Sejenak, sepasang mata itu saling membaca dan menebak.
"Kau yakin ingin tahu?" Pertanyaan dijawab dengan pertanyaan, dan suara Ed terdengar semakin lirih. Adina memalingkan wajah ke gedung sekolah di seberang.
"Apa ada hubungannya dengan gedung itu?" Pandangan mereka kini beralih ke gedung putih yang setengahnya tertutup bangunan utama sekolah.
"Ternyata kau cukup pintar."
***
"Bagaimana dengan keamanan gedung ini?"
Pertanyaan Adina menggema di ruang studio yang lengang. Semua anggota klub telah pulang dan gadis itu sendiri sedang menunggu Niki membereskan peralatannya.
"Sangat ketat, mengingat banyak barang berharga tersimpan di sini."
"Apakah pengamanannya 24 jam per hari setiap minggunya?"
"Kenapa? Kau ingin menyelundup tengah malam?" Niki menyandang ranselnya dan segera keluar ruangan diikuti Adina.
"Hanya ingin tahu." Suara Adina ditelan bunyi kunci yang diputar Niki.
"Kau lihat sendiri, kan? Kita harus meninggalkan gedung sebelum jam tujuh malam. Tidak mungkin bisa masuk tanpa izin atau tanpa kartu identitas. Kau lihat itu?" Niki menunjuk kamera pengawas di ujung plafon koridor. "Setiap sudut diawasi dengan baik. Jadi, gedung ini punya sistem penjagaan yang ketat. Tidak perlu khawatir."
Adina ikut tersenyum demi menghilangkan kekhawatiran yang mungkin bisa membuat Niki semakin curiga. Mereka lalu meninggalkan pembahasan tentang keamanan gedung dan segera bergegas pulang.
***
"Terima kasih," kata Adina ketika mengembalikan kamera Evan di depan pintu kamar yang dulunya adalah kamarnya. Dari celah pintu, suasana di dalam kamar sangat terlihat berbeda di mata Adina. Jika dulu dia menghias ruang itu dengan nuansa kuning, sekarang terlihat lebih buruk. Semua serba abu-abu.
"Kau menghambat pekerjaanku." Evan memeriksa kameranya dengan saksama.
"Memangnya pekerjaan apa?"
"Hanya mencari foto yang bisa dipajang di acara promnight."
"Kenapa kau tidak meminta bantuan Kiera?"
Seketika, Evan menghentikan pemeriksaan terhadap benda di tangannya dan menyunggingkan senyum terpukau. "Kau jenius!" serunya.
"Anggap saja bayaran atas kameramu," kata Adina santai lalu segera melangkah menuju kamarnya.
"Hei!"
Adina menoleh dan mengerutkan alisnya.
"Apa benar, kau dan Ed berpacaran?"
Selanjutnya, jantung Adina seakan lupa bagaimana cara untuk berdetak ketika Evan menunjukkan ponselnya. Sebuah potret dirinya dan Ed di dekat sungai Abraham ditambah kalimat singkat mengandung persepsi kurang logis di bawahnya.
SELAMAT! MEREKA RESMI BERPACARAN!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro