Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13: Lubang Besar

"Ini bukunya. Tinggal satu."

"Kau yakin?"

"Iya. Kata Miss Dion, judulnya Desiderata, kan?" Gadis kecil berbando kuning menatap buku yang ditunjukkannya kepada temannya.

"Tapi dia bilang itu sebuah puisi. Bukan sebuah novel," sanggah temannya.

Lalu gadis kecil itu melirik ke sekeliling toko. Sesekali kakinya menjinjit untuk mencari kehadiran seseorang di balik rak di hadapannya. "Kakek itu tidak ada," bisiknya.

Anak laki-laki yang mengerti maksud temannya itu segera menariknya ke sudut ruangan yang dipenuhi rak dengan buku-buku yang kurang laku. Sepelan mungkin, tangannya membuka plastik yang membungkus buku itu dan segera menyimpan plastiknya di kantong celana.

Si gadis kecil membuka lembaran buku sepelan mungkin. Matanya masih awas mengantisipasi datangnya pemilik toko buku yang sedang mereka singgahi. "Ini dia," katanya setelah menemukan halaman yang dicari.

"Puisi ini sangat panjang. Aku tidak bisa menyalinnya dengan cepat. Kakek raksasa itu akan datang sebentar lagi." Bisikan temannya membuat gadis kecil itu resah dan kebingungan.

"Aku akan menyalinnya sebaris sehari. Kita sembunyikan buku ini agar tidak ada yang membelinya," usul temannya kemudian.

"Drama itu dimulai dua minggu lagi, Shad. Kau tidak punya waktu. Bagaimana jika kita sama-sama menulis?"

Temannya mengangguk cepat dan mereka hendak mengeluarkan buku dan pensil dari dalam tas masing-masing. Namun gerakan mereka menjadi kaku ketika mendengar suara derap langkah yang mulai mendekat. Detak jantung yang memburu mengiringi gerakan kilat sepasang anak kecil itu. Mereka berhasil menyelipkan buku yang sejak tadi menjadi topik utama ke belakang tumpukan buku terbawah.

"Kami membaca komik," kata mereka serentak ketika seorang kakek berjanggut putih lebat menampakkan diri.

***

"Apakah semuanya berjalan lancar?"

Shad mengalihkan pandangan dari barisan sajak Desiderata menuju sebuah buku bersampul merah yang terpajang di rak terdekat.

"Aku tidak jadi membacanya."

"Kau tidak jadi ikut drama perpisahan sekolah? A-aku pikir semua berjalan lancar …, meskipun …." Adina melepas napas resah ketika mengingat keterpaksaannya untuk meninggalkan kota secara mendadak hanya karena kepergian ayahnya. "Ya, memang banyak yang berubah." Kalimat itu akhirnya meluncur dari bibirnya. Kalimat yang awalnya terdengar klise namun semakin lama terasa nyata dan pasti.

Melihat kemurungan yang terlukis di wajah Adina, Shad segera menutup novel di genggamannya dan mengembalikannya ke tempat semula. Kakinya kembali melangkah untuk menelusuri rak-rak yang belum sempat mereka jamah.

"Itu bukan perubahan, Adina. Kau hanya melewatkannya," ucap Shad lirih.

Adina mengikuti Shad dari belakang dan melihat apa pun yang Shad lihat. "Seperti pertemananmu dengan Ed?" tanyanya hati-hati.

"Itu hanya sebagian kecil yang tidak terlalu penting."

Berbagai pertanyaan tertahan di ujung lidah Adina ketika merasakan kegetiran di ucapan Shad. Perihal pertemanan dengan Ed, batalnya peran drama, isu tentang razia, dan beribu hal lainnya seolah menyatu, menciptakan lubang besar berarus deras. Rasanya, Adina harus rela tenggelam termakan arus jika ingin melihat apa yang ada di dalam lubang itu.

***

"Ada yang tahu di mana Jory?"

Pertanyaan Mister Rei menyadarkan Adina kalau guru sejarah itu sedang memeriksa absensi kelas. Semua murid tidak ada yang menyahut, menandakan tidak ada yang tahu atau mungkin tidak ada yang peduli. Setelah itu, Mister Rei menutup kelas dengan memberi sebuah pekerjaan rumah yang membuat kelas kembali ramai dengan dengungan. Masalah ketidakhadiran Jory dengan begitu cepatnya teralihkan. Namun keheranan Adina belum sepenuhnya teralihkan. Dia masih tidak mengerti kenapa Mister Rei hanya bertanya tentang Jory sementara Shad dan dua anak lainnya juga tidak hadir.

"Kita harus menjenguk Jory."

Adina menoleh ke belakang dan menunjukkan wajah penuh tanya kepada Kiera.

"Kita harus peduli dengan anggota geng." Kiera masih terlihat serius dengan geng buatannya. Sekarang, gadis itu bertindak persis seperti ketua geng.

"Tapi Shad juga tidak datang, dan dari mana kau tahu kalau Jory sakit?"

"Aku baru saja mengirim chat ke Jory. Katanya, dia sakit dan menginap di rumah Shad. Dan itulah alasan kenapa Shad juga tidak hadir."

***

"Kiera, aku rasa ini terlalu berlebihan." Lula melepas sabuk pengaman dengan gerakan malas setelah berhasil memarkirkan mobilnya di pekarangan sebuah rumah biru bertingkat dua.

"Kau harus peduli dengan sesama anggota geng," kata Kiera selagi merapikan rambut yang baru kemarin dicat pirang. Di bangku belakang, Adina hanya bersandar senyaman mungkin, mencoba untuk menyembunyikan minatnya untuk segera masuk ke dalam rumah itu. Setelah selesai dengan semuanya, mereka turun dan mendekati pintu utama dengan Kiera memimpin di depan.

Setelah memencet bel berkali-kali, pintu terbuka pelan, menampilkan seorang laki-laki yang selanjutnya menyambut mereka dengan umpatan kecil.

"Ini bukan rumahmu, Ed. Kau tidak berhak melarang kami masuk. Lagipula, kau seharusnya terharu karena kami peduli dengan Jory."

Lula memutar bola matanya ketika mendengar kata kami keluar dari mulut Kiera. Ed tidak ingin terlalu lama merasa pusing karena mendengar omongan Kiera. "Terserahmu," katanya, lalu kembali masuk, meninggalkan pintu yang masih terbuka lebar.

"Kau tidak mau masuk, Adina?"

Mendengar pertanyaan Lula, Adina menghentikan pengamatannya dari sebuah tanaman di taman kecil depan rumah, dan segera mengikuti kedua temannya.

***

"Kalian serius?"

Itu kalimat pertama Jory ketika melihat kedatangan Adina, Kiera, dan Lula di kamar Shad. Kiera dengan santai meletakkan tasnya ke meja terdekat lalu duduk di sofa. "Peraturan pertama, sesama anggota geng harus saling peduli," katanya.

Adina dan Lula hanya berdiri kaku di samping sofa. Jempol kaki Adina, tanpa kendali, memainkan bulu halus dari karpet yang diinjaknya. Shad juga tampak terkejut seperti Jory, namun dia tetap fokus pada permainan PlayStation yang terpaksa berhenti.

"Kau tidak terlihat sakit." Lula menyusul Kiera, duduk di sampingnya, meninggalkan Adina berdiri sendirian.

"Hanya demam biasa–"

"Shad merawatnya dengan baik," potong Ed seraya terkikih-kikih. Selanjutnya, lemparan bantal mendarat di wajahnya.

"Orang tuaku sedang keluar kota. Jadi, aku kemari," jelas Jory.

"Aku tidak melihat Julie."

Ucapan Adina melahirkan keheningan di antara mereka. Kiera dan Lula menatapnya tidak mengerti. Ed dan Jory menatapnya kecewa, sementara Shad hanya tersenyum kecut. Sebelum seseorang menanggapi ucapannya itu, ponsel di tas Adina berdering. Dengan gerakan cepat, Adina mengangkat telepon dan menjauh tanpa permisi. Suara Niki terdengar dari ponselnya. Adina segera menyesal telah melupakan janji yang dia buat kemarin.

"Aku sedang mengunjungi teman yang sakit," kata Adina pelan, lalu dia berjanji akan hadir di studio besok.

Setelah menutup telepon, matanya menangkap sebuah gambar denah yang terbuka di meja belajar dekat tempat tidur. Denah itu tercetak di kertas A3 dengan beberapa coretan tinta merah di sana sini. Beberapa kertas lainnya tergulung tidak sempurna, menutupi sebagian denah itu. Adina membaca tulisan yang masih bisa terbaca dengan jelas di kolom keterangan.

Nama Proyek: Golden Lake Art Center
Pemilik: Golden Lake Institute
Arsitek: Gavin Andrews

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro