09: Kuas dan Kanvas
Kiera masih terkikih-kikih menatap ponselnya yang menyala saat Adina menemukannya di meja kantin. Adina tidak berkomentar karena suara cekikikan Kiera setidaknya mampu menghibur hatinya yang masih panas oleh kata-kata Jory.
"Aku ingin mengedit video ulang tahun Lula seperti video-video ulang tahun artis-artis yang sedang populer," kata Kiera, masih dengan cekikikan.
"Bagus." Adina menyuap sup kentang lalu minum air mineral lebih banyak karena sup kentangnya keasinan.
"Masalahnya, aku tidak mengerti bagaimana cara mengedit video sekeren itu."
"Kau bisa melihat tutorial."
"Astaga, Adina, aku tidak mau video sahabatku jadi bahan percobaan. Lagipula, belajar secara otodidak akan memakan waktu lama. Video ini harus terlihat profesional."
Adina menggigit sendoknya, ketika menyadari sebuah kesempatan yang bisa saja dia manfaatkan. "A-aku pikir, Evan bisa melakukannya." Dosaku bertambah hanya karena Evan.
Kiera mengangkat wajahnya dan ujung matanya semakin naik.
"Kau bisa meminta bantuannya kalau kau mau," tambah Adina dengan nada semakin yakin.
"Ide yang bagus, tapi aku khawatir Lula akan membencinya."
"Kita memberinya video, bukan si Pengedit Video," kata Adina sementara tangannya sibuk mengetik sebuah pesan singkat.
Hai Evan, segeralah belajar mengedit sebuah video atau kau akan menyesal. Gunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Adina.
"Baiklah. Aku akan menemui Evan. Kau ikut?" Kiera memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Aku lupa memberitahumu kalau aku bergabung di klub melukis. Setengah jam lagi aku harus ke studio."
"Kau memang anak culun."
Adina tertawa tanpa sedikit pun merasa tersinggung. Setelah Kiera pergi, dia segera menyalakan ponsel, berniat untuk menelepon Evan karena takut pesannya belum terbaca oleh sepupunya itu. Namun niatnya teralihkan oleh sebuah email masuk. Adina sampai harus membaca dua kali demi menyadari kalau pesan itu memang nyata.
Andy, maaf tentang Ed di pesta Lula. Jika kau ada waktu, bagaimana jika kita mengunjungi Liberty?
Kalau saja tidak mengingat klub melukis, hanya butuh lima detik untuk Adina membalas pesan itu dengan kalimat: ya, sore ini aku bisa. Jadi, dengan berat hati gadis itu membalas dengan kalimat: besok sore, di Liberty. Setidaknya pesan itu mampu membuat Adina tambah yakin kalau Jory tidak sepenuhnya benar. Semuanya masih sama. Shad masih bersahabat, dan Ed masih menjadi pengacau. Kesalahannya mungkin ada pada ketiadaannya yang membiarkan Shad dan Ed menjadi sahabat.
***
"Selamat datang di dunia imajinasi."
Adina tertawa kecil mendengar sambutan Niki di depan sebuah easel dengan kanvas yang masih bersih.
"Apa yang kau minati, Adina? Ekspresionisme? Impresionisme? Gotik? Klasik? Romantis? Ah, atau abstrak?"
Telinga Adina terasa kaku karena tidak mengerti maksud pertanyaan Leah namun dia tidak ingin terlihat terlalu bodoh.
"Bagaimana jika kau menyelesaikan lukisan kotak-kotakmu itu, Leah?" Niki berkomentar sambil menyiapkan cat.
"Oh Tuhan, bahkan ketua klub tidak mengerti apa itu kubisme." Leah menggerutu dengan ekspresi cukup berlebihan lalu kembali ke kanvasnya di barisan depan.
"Dia memang Ratu Drama," bisik Niki. Laki-laki itu kemudian berdiri di belakang Adina, dan dengan gerakan pasti, dia mengikat sesuatu di leher Adina. Gadis itu baru sadar kalau Niki sedang memasangkan sebuah celemek hijau kepadanya.
"Aku bisa memakainya sendiri," kata Adina.
"Tapi aku ingin memasangkannya."
Adina tidak mengerti apakah dia harus senang atau malu. Dia hanya mencoba menganggap semua hal itu adalah wajar. Setelah memasangkan celemek untuk dirinya sendiri, Niki duduk di sebelah Adina dan memberi gadis itu sebuah kuas. Mereka mulai dengan sebuah goresan lalu menjadikannya sebuah gradasi. Niki menjelaskan sesuatu tentang terang dan dalam.
"Kita mulai dari pencampuran warna."
Suara Niki masih terdengar terlalu lembut di telinga Adina, seperti saat pertama kali dia mendengarnya di ruang staf khusus kesiswaan. Tidak ada yang aneh, hanya saja Niki terdengar sangat bersahabat dan itu membuat Adina nyaman. Adina mulai berpikir kalau Tuhan sengaja memberi gambaran Shad Kecil kepada Niki.
"Hai Adina! Kenapa kau pulang begitu cepat saat di pesta ulang tahun Lula?"
Aktivitas melukis Adina terhenti oleh pertanyaan Brian yang begitu mendadak.
"Kau datang ke pesta itu?" Niki menambah pertanyaan, membuat Adina bingung memilih pertanyaan mana yang harus dia jawab pertama.
"Ya, aku diundang Lula dan aku sudah berjanji kepada pamanku untuk pulang tidak terlalu larut." Adina memilih menjawab dua pertanyaan itu sekaligus.
"Aku tidak menyangka kau cukup akrab dengan Kiera dan Lula." Brian meletakkan kanvas pada easel yang ada di sebelah kiri Adina.
"Aku hanya mencoba untuk sedikit bersosialisasi," jawab Adina yang sekarang mulai tidak fokus dengan lukisan di hadapannya.
"Kau juga terlihat akrab dengan Ed dan teman-temannya," kata Brian setelah mengeluarkan beberapa tabung cat dan sebotol air dari dalam tas lalu beranjak menuju meja bundar di tengah ruangan.
"Sepertinya kau salah sangka," ucap Adina pelan tanpa berniat menjelaskan apa pun kepada Brian. Semampu mungkin dia kembali berkonsentrasi kepada kuas dan kanvas. Kanvas itu tanpa sengaja berperan menjadi penghalang Adina untuk mengetahui siapa yang masuk dari pintu studio.Yang Adina tahu selanjutnya adalah sebuah gerakan yang sangat cepat tertuju pada Niki.
Seseorang menarik paksa Niki dan menubrukkannya ke meja bundar di tengah ruangan. Suara gesekkan kaki meja di lantai kalah dengan suara jeritan Leah. Beberapa botol air di atas meja terjatuh, menjadikan meja itu kehilangan nilai seninya. Semua terlihat seperti sebuah kekacauan.
"Apa yang kau lakukan, Ed?"
Suara Brian membenarkan penglihatan Adina kalau orang itu memang Ed. Adina bertanya-tanya, apakah Ed akan selalu datang ketika seseorang sedang membicarakannya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro