CHAPTER SEVEN: BROTHER
"Oh ya Kimi, dimana Liranti ya?" tanya Zek.
"Bukankah sekarang dia tinggal bersama dengan Ilham," aku mengelus rambut dia dengan lembut. Sekarang Zek sedang bersandar di pahaku.
"Oh iya ya. Hah, rasanya sepi ya. Udah dua minggu tidak ada klien lagi."
"Iya. Pada akhirnya kita menghabiskan waktu untuk berdua saja ya," aku menyimpan tanganku di dadanya.
"Iya. Aku merasa senang," lalu Zek memegang tanganku yang ada di dadanya.
"Aku juga."
Kami saling melihat. Tak lama kemudian terdengar suara bel rumah.
"Apakah klien?" Zek bangun dengan semangat.
"Entahlah. Aku akan mengecek."
"Aku juga ikut," lalu kami berdua menuju pintu dan membuka pintu. Tapi tiba-tiba sesosok itu memelukku dengan cepat.
"Kimi. Lama tidak berjumpa," katanya.
"Paman Akira," dia melepaskan pelukannya dan melihatku.
"Iya benar. Keponakanku sekarang sudah terkenal," dia adalah pamanku. Tepatnya adik ibuku. Dia berpakaian berwarna putih dan hijau, celana biru sedikit gelap, rambut putih pendek, kulit putih ke coklatan, tinggi sekitar 180cm.
"Iya. Sudah lama aku tidak bertemu dengan paman," lalu paman melihat Zek dengan wajah curiga. "Oh ya paman. Perkenalkan, dia Zek. Zek dia pamanku, Akira."
"Salam kenal," Zek menundukkan badannya. Terlihat paman sedang memeriksa sesosok Zek.
"Kamu sudah menikah?" paman menarik tangan kiri Zek. Dia melihat cincin yang terpasang di jari manisnya. Dia melihat tanganku dan menariknya. "Kau menikah dengan pria ini Kim?"
"Bu bu bukan begitu paman," jawabku dengan terbata-bata.
"Tenang aja Kim, aku setuju kalau kalian menikah. Tapi, aku ingin menilai dia, apakah dia benar-benar pantas untukmu?"
"Maksud paman?"
"Ayo kita Sparing (adalah pertarungan dengan pedang bambu)."
"Ehhh," kaget Zek.
"Paman," lalu kami berada di tempat Dojo (tempat pelatihan Kendo di Jepang). Letaknya ada di belakang rumahku. Kebetulan itu milik ayah dan suka digunakan oleh Zek untuk berlatih skill pedangnya.
"Kimi. Gimana nih?" tanya Zek.
"Hmm, entahlah. Paman itu orangnya menyenangkan, tapi sekalinya dia ingin serius. Tidak bisa diganggu gugat," jawabku.
"Hei. Ayo cepat!" kata paman. Dia sudah berpakaian Gear pelindung.
"Maaf ya Kimi. Aku akan serius melawan pamanmu, ini untuk membuktikan aku pantas untukmu," dia maju kehadapan paman.
"Kau tidak menggunakan Gear pelindung?" tanya paman.
"Tidak perlu. Ayo," Zek menyimpan pedang bambu itu dibahunya.
Mereka berancang-ancang tanda pertandingan dimulai. Paman menyerang dan Zek hanya diam saja, paman menyerang bagian atas kepala Zek, tapi Zek mengayungkan pedangnya ke samping. Ternyata paman dengan cepat menyerang ke arah samping Zek, tertangkis. Zek menusuk perut paman, paman tidak bisa mengendalikan seranganya, Zek menangkis beberapa serangan paman sampai pedang bambunya terlempar dan Zek mengayunkan pedangnya ke arah leher paman.
"Apa sudah cukup paman?" Zek menodongkan pedangnya ke arah leher paman.
"Baiklah, kau menang," kata paman. Lalu Zek menurunkan pedangnya.
"Paman tidak apa-apa?" tanyaku menghampiri paman.
"Sudah ini belum seberapa. Kau hebat juga Zek,"
"Hahaha. Terima kasih atas pujiannya paman Akira."
"Sudah panggil saja aku paman, kau itu calon suami Kimi kan?"
"Iya," jawab Zek. Lalu kami memasuki rumah.
"Wahh Kimi, sejak kapan kau pandai memasak?" tanya paman. Dia melihatku yang sedang memasak.
"Sejak Zek mengajariku."
"Wahhh, ternyata dia bukan hanya bisa menggunakan pedang ya. Dia juga bisa memasak, kau beruntung mendapatkan dia."
"Terima kasih paman."
"Terus dia pergi kemana tadi?"
"Dia pergi kerja paman," lalu aku melihat paman sedang menggerakan bibirnya. "Paman mengatakan sesuatu?" tanyaku penasaran.
"Tidak, bukan apa-apa kok. Kimi, apa masakanmu tidak akan gosong?" paman melihat masakanku yang mulai mengebul.
"Oh ya aku lupa," setelah itu paman memakan masakan yang aku masak.
"Walau sedikit gosong, tapi tetap enak," jawab paman.
"Terus ada apa paman kemari?"
"Oh ya aku lupa. Aku kemari ingin memastikan berita itu benar atau tidak."
"Berita apa?"
"Berita kalau kau sudah menjadi detektif."
"Ohh, itu benar paman. Tapi sekarang kami belum dapatkan klien."
"Tak ku sangka, keponakan paman yang pendiam ini sekarang jadi detektif," lalu dia mengusap-ngusap kepalaku.
"Paman bisa aja. Oh ya, bagaimana kabar bibi?" setelah aku menanyakan pertanyaan itu. Paman memasang wajah kaget. "Paman kenapa?"
"Bukan apa-apa kok. Dia baik-baik saja, dia juga menitipkan salam kepadamu."
"Ohh, baguslah."
Setelah paman selesai makan, dia izin untuk beristirahat. Aku mengantar dia ke kamar orang tuaku. Setelahnya aku duduk di depan TV, menonton acara kesukaanku. Malam tiba, Zek pulang dari kerjanya.
"Aku pulang."
"Selamat datang," aku menyambut dia di ruang tamu.
"Dimana paman?" kami sudah duduk di ruang makan.
"Oh ya aku lupa. Mungkin dia tidur karena kelelahan dari perjalanan. Aku akan membangunkan dia dulu," aku menaiki tangga menuju kamar orang tuaku. Tapi saat di depan pintu, aku mendengar suara tangisan yang kupikir itu paman. Lalu aku mengetuk pintu. "Paman. Paman masih tidur?" tapi paman tidak menjawab.
"Aku sudah bangun Kim," jawab dia saat aku hendak membuka pintu.
"Paman baik-baik saja?" lalu pintu dibuka oleh paman.
"Ya baik-baik saja. Ayo kita makan," lalu kami menuju ruang makan.
Pagi hari tiba, aku mendengar berita pembunuhan para pria yang tengah kencan di tengah malam. Menurut penyelidikan polisi, mereka dibunuh menggunakan benda tajam yang lumayan besar, terdapat luka besar di perut mereka. Dan menurut saksi mata atau lebih tepatnya para wanita yang mengaku pacar para korban, mengatakan bahwa mereka diserang oleh sesosok manusia menggunakan pedang yang besar.
"Wahh kasus yang besar ya. Dalam waktu semalam, sudah ada tujuh pria yang jadi korban," kataku. Lalu aku mematikan TV.
"Hmm, kita selidik kasus ini saja," kata Zek.
"Benar juga ya. Udah lama kita enggak kerja bareng."
"Kalian mau pergi kemana? Huaaahh," paman menghampiri kami dengan keadaan masih setengah tidur.
"Mau pergi menyelidiki kasus berita tadi. Paman sebaiknya tidur lagi aja, kami akan pergi sekarang," jawabku.
"Ohh, baiklah. Hati-hati ya."
Kami pergi menuju kantor polisi. Sesampainya di sana, kami bertanya ke inspektur yang menyelidiki kasus itu.
"Menurut saksi, yang menyerang itu adalah seorang pria siluman. Dia juga sempat mengatakan kalau dia ingin menyingkirkan semua pria yang lebih beruntung daripada aku," kata inspektur.
"Zek berarti?" tanyaku.
"Ya. Bisa jadi itu benar."
"Apa maksud kalian?" tanya inspektur.
"Bukan apa-apa kok. Cuma merasa aneh aja dengan monster itu, bisa berbicara," jawab Zek.
"Iya kau benar. Aneh juga monster bisa bicara seperti itu," kata inspektur.
"Baiklah, kami akan memeriksa langsung ke TKP. Makasih atas infonya pak inspektur," ucapku.
Kami pergi ke TKP. Sesampainya di sana, kami ada di taman. Kami melihat ada garis tanda mayat tergeletak.
"Hmm. Tidak ada ke anehan. Bagaimana menurutmu Zek?"
"Yaa, harus ku akui. Aku tidak terlalu pandai dalam hal ini."
"Aku hanya minta pendapatmu saja."
"Ya menurutku. Tidak ada yang aneh," jawab dia datar.
"Kok jawabnya gitu?"
"Yang penting aku udah jawab."
"Yah udah deh," aku melanjutkan melihat sekeliling TKP. "Zek lihat ini," aku menunjukkan sebuah Kristal ke Zek.
"Kenapa ada Kristal di sini?" terlihat Kristal itu kecil dan bulat bening.
"Entahlah. Akan aku bawa, tapi rasanya pernah aku lihat di suatu tempat?"
Aku memasukan Kristal itu di saku celananku. Kami pun pulang dengan hasil yang nihil.
"Hahhh. Kita belum dapat satu petunjuk pun tentang monster itu," keluhku.
"Yahh mau bagaimana lagi?" jawab Zek.
"Paman sedang mencari sesuatu?" aku melihat paman sedang kebingungan. Dia memeriksa sekitar ruangan tamu ini. Mulai dari bawah meja, kursi, sudut ini, sudut itu.
"Hmm, aku sedang mencari Kristal. Kalian melihatnya? Bulat, kecil, terbuat dari kaca."
"Ini?" aku menunjukkan Kristal yang aku temukan itu ke paman.
"Hahh ini dia. Kalian menemukannya di mana?" lalu dia mengambil Kristal itu dengan cepat.
"Di bawah kursi halaman depan," jawabku.
"Untung saja ketemu. Paman mau ke kamar dulu ya."
"Kimi. Jangan-jangan?"
"Enggak mungkin. Tapi bisa saja sih."
"Kalau begitu. Untuk membuktikan apakah itu benar, aku punya rencana."
Di malam hari yang sangat dingin di sebuah taman. Terdapat sepasang kekasih sedang bermesraan di bangku taman. Tiba-tiba di hadapan mereka, muncul sesosok pria memegang katana yang cukup panjang. Dia menggunakan topeng burung, jadi sesosok dia tidak diketahui. Dia menyerang, tapi berhasil ditahan oleh sang pria dari sepasang kekasih itu.
"Maaf ya. Aku sudah mempersiapkan semuanya," kata Zek.
Sesosok itu mundur, tapi Zek tidak melepaskannya. Zek menyerang balik, namun dihindari oleh dia. Terus Zek menyerang tanpa berhenti. Serangan Zek menebas topeng dia sampai terbelah dua. Wajah dia mulai terlihat, tapi tidak seperti yang kami harapkan. Dengan cepat sesosok itu menyerang Zek, Zek menghindar dengan mundur.
"Tidak mungkin," kata Zek.
"Ini mungkin saja," katanya. Sesosok itu berjalan menghampiri Zek, perlahan dia mulai keluar dari sudut gelap dan dia mulai terlihat jelas oleh terangnya cahaya bulan.
"Ethan," kata Zek saat sesosok itu terlihat sangat jelas.
"Ohh, sebuah kejutan kakak masih mengingatku."
"Zek kau kenal dia?"
"Ya. Dia adikku, Ethan Akai."
"Aku senang bisa melihat kakak kembali," lalu dia melihat ke arahku. "Dan ternyata kakak sudah mendapatkan seorang wanita idaman kakak."
"Jadi kau adalah pelaku pembunuhan selama ini?"
"Ya, benar sekali kak. Sebenarnya aku membunuh untuk memancing kakak saja, karena aku dengar kakak bekerja dengan seorang detektif."
"Kalau kau ingin menemui kakak, langsung saja datang. Jangan malah membunuh orang yang tidak ada hubungannya," teriak Zek.
"Hahahah. Aku tidak yakin kakak akan senang menemuiku. Baiklah karena tujuanku sudah tercapai. Aku akan berhenti membunuh, sampai bertemu lagi kakak."
"Ethan," dengan cepat dia melemparkan bom asap dan menghilang.
Pagi tiba. Paman sudah pulang ke rumahnya. Oh ya, Kristal itu adalah jimat pemberian dari bibi, karena itu paman sangat cemas kalau Kristal itu hilang. Kenapa bisa ada di taman? Menurut paman, dia baru menyadari Kristal itu hilang saat dia mau istirahat di kamar. Sebelumnya dia pernah melewati taman itu.
"Ngomong-ngomong Zek. Siapa itu Ethan?" kami sekarang sedang ada di ruang tamu.
"Dia adikku dan kakaknya Liranti."
"Hmm. Kenapa..."
"Dia seharusnya sudah mati. Kalau pun dia hidup kembali, kenapa dia menjadi seperti ini?" kata Zek memotong pertanyaanku yang belum selesai.
"Mati?"
"Iya. Dia mati karena terkena serangan jantung, dia punya jantung yang lemah. Jadi kemungkinan dia akan terkena serangan jantung bisa saja terjadi," suara Zek makin terdengar kacau.
"Zek."
"Hah, ternyata dia masih hidup. Kenapa dia tidak mengkabariku? Apakah karena dia menjadi jahat? Aku memang kakak yang jahat," Zek memegang kepala dengan menundukkan kepala dia, tanda bahwa dia menyesal.
"Zek," lalu aku memeluk dia untuk menenangkan dia. "Kau bukan kakak yang jahat kok. Aku yakin, mungkin saja dia sedang dipengaruhi oleh seseorang yang jahat."
"Kimi," lalu dia memegang kedua bahuku dan menatapku. "Aku akan melindungimu. Walau nyawa ini taruhannya."
"Iya Zek. Aku juga akan melindungimu," lalu kami berdua.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro