Kata ke-27: Senja
Satu bulan lebih telah gadis itu habiskan di rumah sakit Kosoado. Rumor, cedera, serta perawatan kesehatan mental telah ia lewati. Kedok sang idola berambut hijau itu bagai musang berbulu ayam, sudah tampak di kacamata nasional. Hatsune Miku sudah berada di rehabilitasi dengan tampilan terakhirnya di televisi nasional, wajahnya terlihat seperti singa mengaum.
'Hatsune Miku, idola manis berusia 17 tahun, dijatuhi hukuman rehabilitasi selama tiga tahun.'
Benar, dunia mengetahui kesalahan tak terpuji Hatsune Miku. Kesalahan yang tertuju kepada gadis malang tak ternoda dan tak bersalah sedikitpun. Semua bermulai karena postingan Len, yang membuat jiwa Miku tidak stabil. Gadis bernama (Y/N) itu telah menjadi korban kejamnya tragedi cinta.
Sekarang, gadis itu sudah kembali menjalani kehidupan sekolah. Sambutan hangat dari warga sekolah terbentang luas. Namun sayang, (y/n) tidak sebodoh itu untuk kembali percaya kepada mereka. Kembali memunculkan senyuman namun membangun dinding yang tak mudah dipanjat.
Karena, seseorang sudah menyakitinya. Tidak hanya secara fisik, namun secara psikis juga.
Jika kita sebut, trauma adalah kata lebih cocok untuk menggambarkannya.
Hari ini, langit bersinar cerah dan hangat, musim panas ini sangat indah. Suara jangkrik terdengar berirama. Angin lembut mengusap rambut. Cahaya mentari mengenai kulit Rinto dan (y/n) yang sedang berdiri di lapangan belakang sekolah. Sedang apa? (Y/n) pun tak tahu sebabnya.
"(Y/n)..."
Rinto tidak memanggil gadisnya dengan panggalan manja seperti biasa. Suara dewasa miliknya terdengar serius dan nyaman di dengar.
"(Y/n)... aku ada mau ngomong sesuatu sama kamu."
Gadis itu hanya terdiam dan mendengarkan ucapan Rinto dengan baik. Hanya menatap Rinto dengan penuh perhatian.
"....kita," Rinto menunjuk ke arah gadis itu, "kamu dan aku," lalu menunjuk ke arah dirinya sendiri. "Kita... Ugh-..."
Rinto menghela napas, mengalihkan pandangannya ke angkasa biru. Jakunnya bergerak menahan beban di dada. Bagi lelaki itu, hubungan ini bagaikan menggantang asap.
"Kita sudahi saja hubungan ini."
"Eh?"
"...kita temanan aja."
(Y/n) tidak bisa menjawab apa-apa. Mengapa gadis itu tiba-tiba merasa sedih? Tidak, ini bukan rasa pilu. Tapi perasaan (y/n) seperti disiram air dingin yang mencederai kulit.
"Aku-... aku tahu... kau..." Rinto kembali memberanikan menatap (y/n) yang terpelongo. Dahinya mengerut, suaranya terbata-bata, dan tatapan itu terlalu biru untuk dilihat. "...aku nggak bakalan bisa memiliki hatimu. Meski aku mencoba ratusan kali, hatimu tidak akan pernah bisa kumiliki, kan? Katakan aku salah (y/n). Katakan bila aku terlalu naif. Katakakan tingkahku bodoh. Katakan aku terbutakan oleh cintaku padamu."
Setetes air mata Rinto keluar, membasahi pipinya. Napasnya tercegat emosi.
"Rinto-"
"Katakan... aku melakukan pekerjaan yang sia-sia."
(Y/n) tertunduk. Ucapan Rinto terlalu kuat untuknya. Ini terlalu berlebihan, (y/n) tak sanggup menahan ini lebih lama.
"Tapi... kau tahu..." suara Rinto kembali terdengar. Dia menghela napas lagi. Berjalan selangkah lebih dekat, sehingga jarak mereka hanya beberapa inci dekatnya. Rinto meraih jemari (y/n) yang diam terpaku ucapan lelaki itu. "... aku mohon, tetaplah menjadi teman terbaik yang kupunya. Tetaplah menjadi (y/n) yang kutahu."
"Rinto, maaf."
"Tatap aku."
Kembali (Y/n) menatap wajah Rinto yang dekat. Terlukis senyuman di wajahnya, dengan mata yang berkaca-kaca, dan dahi yang masih mengerut.
"Itu bukan salahmu. Salahku." Seberapa kuat Rinto sehingga ia dapat berkata demikian? (Y/n) masih kagum akan dirinya. Dia jelas tahu Rinto terluka.
"Maaf."
"Hei, itu bukan salahmu. Sekarang, hapus wajah murungmu," telapak tangan Rinto menampung pipi (y/n), mengusapnya perlahan, "kejar apa yang kau inginkan. Dia itu idola. Len juga... menyukaimu, tahu kan?"
(Y/n) meleburkan wajahnya ke dalam dekapan Rinto. Dia tidak ingin Rinto melihat wajah jelek miliknya, karena bila air mata itu jatuh saat Rinto melihat, Rinto akan merasa lebih pilu lagi dari ia sekarang. (Y/n) tahu itu.
"A-ah.." Rinto mengusap rambut gadis itu dengan penuh kasih sayang. "Nggak apa-apa... tenanglah."
Sekitar lebih dari tiga menit, langit di siang hari ini menjadi saksi mereka berdua berbagi momen bersama. Angin berhembus meniup rambut Rinto seperti menghibur lelaki itu. Pelukan terakhir ini, Rinto tahu ini tak akan terulang.
"RintoOOO-OH! OoooOOH! MAAF AKU GA TAHU." Suara itu berasal dari Piko, teman baik Rinto. "NgebUcin KaLeyaN."
"Anjer. Sana pergi jaoh jaoh," ucap Rinto yang melihat ke arah Piko. "Ntar lagi, soal rekaman kan?"
Piko hanya mengangguk, seiringan dengan (y/n) yang melepaskan dekapannya. "Yaudah, aku.. uh, aku nuggu disitu," ujar Piko.
"Oke." Rinto melihat Piko pergi membiarkan dirinya berduaan dengan (y/n). "Aku... ada urusan sama Piko, ah... makasih untuk segalanya."
"Seharusnya aku yang bilang begitu... terima kasih."
"My pleasure, princess~♡ But, serius kok. Makasih udah nepatin hadiahmu buat pacaran sama aku."
Rinto hanya tertawa dan meninggalkan (y/n) sendiri dengan tanganny yang melambai. Perlahan ia menghilang dari pandangan gadis itu.
Gadis itu terdiam berdiri di atas kakinya sendiri. Dia bingung dengan perasaannya sendiri.
'Oh tuhan, apa yang harus kulakukan sekarang?'
Gadis itu mulai mengambil langkah, lalu selangkah lebih cepat, bertambah cepat, hingga ia berlalu dengan air matanya di tiup angin. Ia berlari entah kemana saja, hingga ia menemukan Gumi yang sedang memakan permen lolipop di pandangannya.
"guUMiii."
"Eh- EEEH?"
Gadis itu berhenti berlari tepat di depan Gumi. Napasnya terengah-engah tak terkontrol. "Aku... Haah... aku-HaH..."
"Tarik napas, terus buang napas, mbak."
(Y/n) menetralkan napasnya. Lalu berbisik di telinga Gumi, "aku putus sama Rinto.."
"EEEH? ELO- elo putus sama Rinto...?" Gumi terkejut heran, ia tidak jadi teriak, karena satu kantin bisa ngeliatin dia, belum lagi (y/n) yang sudah menarik perhatian karena dia lari di koridor sekolah. Iya, mereka bisa lagi di kantin sekolah yang nggak berapa ramai karena lagi istirahat kedua.
(Y/n) mengangguk pelan. "...gitulah..."
"Apa yang kau rasa sekarang?"
"Nano-nano..."
"Ya ampun, sayangku." Gumi memegang bahu (y/n) dengan satu tangan, karena dia lagi megang lolipop di tangan lainnya. "Jadi kamu senang terus sedih terus khawatir... terus--"
"(FULL NAME)-san!"
"UwoH!" Gumi melirik ke arah lelaki di belakang. "Selirmu datang!"
"Hah-"
"Apa-?" Len ikutan kaget. Iya, yang tadi itu Len dengan pita merah di lengannya yang tertulis 'osis'. Len menepuk pundak Gumi, "Monyet elo!-"
Gumi menggigit lolipopnya, lalu merogoh sesuatu dari saku roknya. Tampaklah kartu 'reverse' uno yang ditujukan ke wajah Len secara serta merta.
"RevErsE caRd- HoHOhO!" Gumi tertawa dengan senang, ia lupa kalau lagi gigit lolipop. Lolipopnya jatuh ke lantai. "YAH! Gara-gara Len nih!"
"Ya elu ngapain juga-"
"Gamau tau! Pulang sekolah beliin itu lagi, gara-gara lo semua ini!"
"Haah..." Len menghela napas menjawab, "iya iya... terserahlah... aku kemari mau ngasih (y/n) peringatan, bukan mau berdebat samamu."
"Hah? Soal... soal aku lari ya?" (Y/n) bertanya sambil melihat ke arah Len.
Len cuma ngangguk. Gumi ikutan ngangguk. (Y/n) cuma menjawab, "maaf."
Len melirik (y/n). Gumi melirik Len. (Y/n) melirik Len. Situasi macam apa ini?
Len tiba-tiba berkata, "Habis nangis? Matamu... sembab. Gara-gara Rinto si brengsek itu?"
"Nggak." Gumi menjawab, "Dia putus sama Rinto. Dia nggak tahu mesti sedih atau senang."
"Ah..." melihat gadis itu mencoba tersenyum. Sangatlah pahit bagi lelaki ini. "Sore ini... habis pulang sekolah, temui aku ya."
"Sore...?" (Y/n) mencoba berpikir tentang jadwalnya hari ini. Lalu, menggangguk. "Boleh!"
"Bisa gak sih, kalo mau kencan tu jangan di depan orang." Gumi mengernyit menatap mereka berdua. "Ini gue disini berasa jadi nyamuk."
"Gumi, mau ikut?" tanya (y/n) menatap Gumi.
"Ha?" Gumi mengambil beberapa detik untuk melihat ke arah Len. Lelaki itu terlihat mengerutkan dahinya mendengar undangan (y/n). "G-gak... HaHa! Cuma bercanda, kalo mau kencan... kencan aja sana, jangan ajak aku, ntar jadi nyamuk."
"Seriusan?" Gumi memasang wajah jijik mendengar pertanyaan basa-basi Len.
"Basi pertanyaanmu, seriusan. Kagak lah, ngapain juga aku ikut."
Bel berbunyi, menandakan masuk periode ke-empat. Dengan itu, mereka kembali ke kelas untuk belajar.
───※ ·❆· ※───
Angin sepoi-sepoi berhembus, beberapa orang mengendarai sepedanya untuk pulang ke rumah masing-masing, mentari juga berkata hampir menjelang sore.
Len dan (y/n) duduk di pinggiran sungai. Melihat mentari berwarna oranye dan aliran sungai yang jernih.
"Kamu... gapapa?"
"Hm?"
Len melihat ke arah (y/n) yang termenung menatap aliran sungai. Dia tersadar berkat panggilan Len.
"...gapapa."
"Kamu... suka sama Rinto sekarang?"
"Bukan gitu, Len..."
"Jadi, kenapa... sampai pakai acara nangis?"
"Aku..." (Y/N) menunduk, duduk meringkuk. "...Aku sayang sama Rinto-.."
Len terdiam, menunggu ucapan gadis itu selanjutnya. Mata Len menoleh ke arah lain, beberapa kali berkedip dengan hati terasa jantungan.
"...sama Rin, sama kamu, sama Gumi. T-tapi... kenapa... kenapa Rinto tetep pacaran sama aku kalo dia tahu dia bakalan tersakiti."
"(Y/n)... tenang dulu." Len meneguhkan hatinya, menoleh ke arah gadis itu. Jemarinya mengelus pundak (y/n).
"Len, denger... aku tuh suka sama kamu, dan dia tau itu, kamu juga, dia tau itu..." (y/n) melihat ke arah Len. Air matanya bercucuran, meluapkan emosi yang tertahan sejak lama. "...bisa gila aku lama-lama."
"(Y/n), denger ya..." Len menggenggam tangan gadis itu. Menghela napas lalu berkata, "dalam soal cinta, atau dalam soal kehidupan, ada sebab dan akibat. Kita nggak bisa dapat semuanya dalam kehidupan, kita berbuat salah dan coba perbaiki kesalahan itu. Sama sepertiku..."
"Sepertimu?"
"...aku pernah menyakiti Piko-"
"Kalian bromance-?"
"Nggak anjer. Kan jadi rusak suasananya."
Kedua orang itu berbagi tawa satu sama lain, gadis itu berhenti menangisi kehidupannya. Len di sisi itu, kembali bercerita, "aku rasa, Piko marah karena aku ga di sana saat dia butuh padaku. Aku malah sibuk kerjaan artis, dia depresi pas itu."
Mata (y/n) mengerlip, melihat sosok Len dengan baik-baik. Mendengar apa yang Len coba katakan dengan rasa penyesalan terlihat tak kasat mata di pundaknya.
"Rinto..., dia membantu Piko di masa cowok itu lagi stres-stresnya. Aku... aku menyesal. Ada hal yang kita memang gak bisa ulang kembali. Kalau kita cuma katakan, 'seandainya waktu diulang kembali', berarti kita hanya akan jadi pecundang. Pecundang yang gak tau cara memperbaiki dirinya sendiri untuk masa depan yang... yang pasti datang. Jadi..." Len melihat ke arah (y/n) dengan penuh kelembutan. Air wajahnya memang tampak dia mengungkapkan pilu. "... daripada menyesali yang udah ada. Mending perbaiki diri supaya jadi lebih baik."
"Senja."
"Senja?"
"Ya, senja." (Y/n) mengangguk pelan menatap Len. Senyuman tipis terlihat di wajahnya. "Kata yang menggambarkan dirimu. Senja."
"Ah... tantangan itu...- betewe, kenapa senja?"
"Senja selalu datang di saat semua orang sudah kelelahan. Mengingatkan kalo masih ada kecantikan di dunia ini."
"Oh." Len melihat ke arah langit oranye dengan mentari yang perlahan di lahap bumi. "Senja ya."
(Y/n) hanya mengangguk pelan.
"Sebenarnya, aku udah lupa soal tantangan itu. Tapi, kamu kenapa makin lama makin puitis?-"
"eh?! aHaHa! Aku kebanyakan baca wattpad selama di rumah sakit."
"Ah.. aku nggak nyangka jawabanmu itu." Len hanya tercengir.
Senja itu, mereka berdua menyaksikan matahari terbenam. Kata ke dua puluh tujuh dari seratus kata. Namun, (y/n) masih ragu apakah Len dan dirinya bisa bersama.
Apakah mungkin?
'to be continue
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro