Kata ke-23 : Api
"Yo!"
"Lama banget... masuklah."
Piko membiarkan mereka masuk ke dalam rumahnya yang sederhana. Karena (Y/N) masuknya terakhir, jadi dia yang nutup.
"Orang tuamu mana?" tanya (y/n).
"Kukira kau udah tahu?" balas Piko sembari membuka ruangan dengan papan bertuliskan, 'Ketuk sebelum masuk.'
"Orang tua Piko meninggal pas smp," balas Rinto.
"Maaf--Studio?" (Y/N) terkejut melihat ruangan itu. Baru kali ini dia datang ke rumah Piko.
"Ah-- aku mau rekording, belum sempat-sempat."
"Rekording apa?"
"Nyanyilah, apalagi?" ucap Piko. Rinto meletakkan tasnya di lantai, sembari (y/n) mengikuti apa yang Rinto lakukan.
"Kau... utaite?" (Y/N) menarik pelan lengan baju Rinto di dalam ruangan anti-gema ini.
"Oh! Aku kira kau tau... aku belum pernah cerita ya?" Rinto membuka ponselnya dan memperlihatkan (y/n) profil nnd-nya. "Namaku Rint."
"Rint...o? Maksudmu Rint itu kamu?"
Rinto cuma ngangguk pelan menunjukkan layar ponsel bertuliskan RinTⓞ. Rasanya kaki (y/n) lemas, ia gasadar kalau misal nickname utaite Rinto itu ya Rinto juga cuma pengucapannya yang beda. Apalagi, (y/n) itu sering denger lagu-lagu cover utaite, teruma RinTⓞ.
"Kau kenapa? Masih lemas soal Len?"
"Kenapa gak bilang?" (Y/N) menggoyang-goyang lengan Rinto. Gadis itu baru sadar. Bodoh amat ga penting-penting amat sama nih cerita.
"Bilang soal ini? Kau ga nanya."
Singkat cerita Rinto di dalam ruangan itu, Piko sama pacar temannya itu duduk di ruang keluarga sekaligus ruang tamu. Dengan secangkir teh hangat rasa mint, kerongkongan (y/n) terasa hangat.
Piko membuka pembicaraan, menghentikan keheningan diantara mereka berdua. "Kau suka sama Len?"
"Ah- kenapa nanya?"
"Jelas banget."
"Maksudmu?"
"Elu itu jelas banget suka sama Len. Pacaran sama Rinto itu cuma buat nepatin janji aja kan?"
"Soal itu-"
"Lu suka sama Len dan itu fakta. Cuma setengah semester dia udah berhasil buat lu ga bisa berpaling dari dia." semua tebakan Piko entah mengapa benar. (Y/N) merasa aneh dengan Piko sore ini. Sifat Piko yang tampak kini juga berbeda dengan dia di kelas.
Lelaki itu sadar jelas kalau gadis tersebut menatapnya dan diam terbisu. Ia hanya tersenyum, "Kau aneh ngeliat aku ginikan?"
Ia mengembangkan tangannya seolah sudah memperlihatkan sesuatu spesial. "Ini Piko yang asli, bukan piko humoris yang sering kau lihat di kelas."
"Jujur ajalah.." ucap lelaki itu.
(y/n) mengangguk pelan dengan penuh keraguan. "Rinto tau kok," balas Piko.
"Aku tau dia tau soal itu. Pas di rs..."
"Jujur ye, gue--aku itu gak tau siapa yang salah, siapa yang korban disini. Tapi yang kutahu..." Piko meneguk tehnya. "Kau pernah janji pacaran sama Rinto dan... janji nikah sama Len. Drama banget hidupmu."
"Janji nikah? Emang pernah."
"Makanya kalo buat janji itu diinget."
"Kau tau dari mana?"
"Dari Len."
"Kalian bukannya gak pernah bicara?"
Mata Piko membesar seolah salah berbicara, lalu mengerang dan mengacak-ngacak rambutnya setelah meletakkan cangkir tehnya.
"Karna aku udah ngungkapin... Len sama aku dulu temenan pas smp. Sahabat dekat."
"Kok bisa ga dekat lagi?" ungkap (y/n) penuh penasaran.
"Dasar wanita... dia menghina kematian orang tuaku."
"Hah?"
"Gue tau dia gak bermaksud gitu. Tapi bro, nyakitin. Gue tau dia bilang begitu karena dia lagi stres dan gue bikin dia marah."
"Aku--gatau beneran. Dia ngomong apa?"
Raut wajah Piko begitu serius. Dahi mulusnya mengerut sedikit. "Dia beneran.. pas itu dia lagi masa trainee, mau debut. Stres ga tau kenapa. Dia langsung ngehina karena gue ga punya orang tua bisa seenaknya pergi kemana aja. Tapi ada lebih dari itu.."
"Piko... maafkan."
"Yang nanya dari awal juga elu kan? Cukup gue aja yang elu buat stres gara-gara ini. Jangan lukai perasaan Rinto."
"Maaf-"
"Rinto itu sungguh mencintaimu. Dia udah terluka. Jangan lukai dia lebih dalam. Kau dengar?"
Piko menatap tajam mata gadis itu. Matanya penuh harapan namun di satu sisi juga penuh ketegasan. Lelaki yang pernah menempati posisi pernah shota of the week di SMA Noboru, kini berubah menjadi lelaki tulen.
"Kau cinta sama Rinto?" tanya (y/n) dengan polosnya.
"Eh anjir. Gue lurus bego. Gue udah ada suka sama cewek."
"Jadi Rinto itu apa bagimu?"
Piko berpikir sebentar. Ia menatap ke langit-langit ruang tamu, mencari jawaban yang tepat.
"Rinto itu penolongku."
Percakapan pribadi antara Piko dan dirinya sangat membuat perasaannya bercampur aduk layaknya larutan kimia. Bahkan ketika ia tepat sampai berada di depan rumahnya hingga Rinto menegurnya berkali-kali ia tetap tak bergeming.
"(Y/N)... (y/n)... kau kenapa hari ini?"
"Hah?"
"Gara-gara Len? Gara-gara wasabi ijo itu? Kalau kau diem aja gimana aku bisa tau?"
"Wasabi ijo?" (Y/N) agak tertawa pelan dan menepuk-nepuk pundak Rinto. "Maksudmu Miku?"
Rinto cuma mengangguk.
"Rinto, aku gak tahu... aku gak tahu lagi harus ngapain. Aku gak tahu apa dengan berpacaran denganmu adalah hal tepat... kau tahu tentang--"
"Kalau aku berpacaran denganmu, otomatis Len akan menggila, maksudmu begitu juga sebaliknya?"
(Y/N) cuma mengangguk diam.
"Kau meremehkan aku?"
Rinto mencubit hidung gadis itu membuatnya mengerang sedikit. Dengan cengengesan khas milik Rinto, ia membanggakan diri.
"Aku mencintaimu--bahkan menyayangimu. Bukan berarti aku selemah itu. (Y/N), jodoh itu tuhan yang ngatur. Kalau misal kau jodohnya sama Len, berarti aku cuma orang yang pernah singgah di kehidupanmu. Iya kalau jodohnya Len, kalau orang di luar sana gimana?"
Mendengar ocehan panjang Rinto, gadis itu hanya dapat terkekeh. Rinto bukanlah orang yang sering mengatakan hal berarti.
"Soal Miku... dia gak berhak ngatur hidupmu. Urusanmu kau mau pacaran atau suka sama siapa. Setiap tindakan pasti ada konsekuensinya."
Rinto merapikan helai rambut (y/n) dan menyematkannya di balik telinga gadis itu.
"(Y/N), dalam masalah mencintai seseorang, pasti ada orang lain yang merasa terluka. Itu hal yang normal. Tinggal cara orang itu menanggapinya."
SMA Noboru, pagi hari. Semua tatapan menuju gadis itu. Iri, dengki, kesedihan terlihat dari mata mereka. (Y/N) hanya menunduk di samping Gumi.
"(Y/N)... kau tak apa?"
Gadis itu tak menjawab, hanya terbayang tweet dari Kagamine Len tadi malam. Photo dirinya dengan Len dan tweet dari Miku yang mengatakan ada orang di hubungannya.
"Tweet Len? Nanti bilang sama Rinto biar dia hapus."
"Bukan, Gumi." Ia menoleh ke arah Gumi. "Sekolah ini, cuma kelas kita yang tahu Len suka sama aku. Cuma kita, berita udah kesebar dimana-mana. Aku takut Gumi..."
(Y/N) memasuki sekolah dengan Gumi yang menenangkan di sampingnya. Mulai dari locker yang penuh tempelan sticky note penuh kata-kata kasar hingga photo dirinya yang dirobek di mading sekolahan. Gumi berada disampingnya.
Meski
Gadis hijau terang itu menyukai Len.
Rinto hanya bisa membersihkan bekas bulian ini dan itu. (Y/N) hanya duduk diam melihat ke jendela seharian. Mendengar gosipan hari ini.
Rinto juga berada di samping gadis itu. Meneriaki orang-orang yang berkata kasar padanya.
"Urusan Len suka sama siapa! Kalian cuma ganggu hidup dia dan relatifnya!" teriaknya.
Meski
Rinto tahu Len menyukai orang yang dia sukai.
Neru di satu sisi juga begitu, membantu membersihkan meja (y/n) di pagi hari dari bunga di dalam vas sebelum (y/n) datang. (Y/N) tak tahu itu. Neru juga memberikan (y/n) jatah pudding miliknya.
Meski
Neru menyukai Rinto yang menyukai (y/n).
Rinto menarik tangan (y/n) sepulang sekolah.
"Rinto... lepaskan. Rinto!"
"Nggak!"
"Rinto!"
Rinto berdiri diam. Ia menyentuh wajah (y/n) dengan kedua tangannya yang lentik. Di atas pipi gadis itu jatuh air mata. Mata Rinto berkaca-kaca. Ia hampir menangis, wajahnya kelihatab marah. Disana (y/n) menyadari perbuatannya, ia hanya berdiam diri menatap kedua manik indah milik Rinto.
"Dengar! Kau butuh Len! Kau gak bisa terus-terusan begini! (Y/N)... aku sungguh menyayangimu, aku gak mau... ah-" Rinto terisak-isak. Hatinya terluka melihat wajah (y/n) tanpa ekspresi hari ini. "-Aku gak mau melihatmu sedih begini! Kau stres, kau butuh Len yang bisa membuatmu bahagia!"
"Rinto... jangan menangis..."
"...aku tahu... kau sungguh menyayangi Len. Aku gak akan bisa menggantikan posisi Len di hatimu dan aku tahu itu. Aku gak bisa biarin mereka merebut kebahagianmu-"
"Rinto jangan nangis... ih..."
(Y/N) jadi ikutan menangis, memegang erat baju seragam Rinto. Rinto berusaha berdehem untuk menjelaskan suaranya.
"-Aku gak mau kau dibully. Kau pantas bahagia, makanya... ayo pergi jenguk Len hari ini. Jangan nangis."
"Kau nangis! Aku jadi ikutan nangis!"
"Apaan ah. Cengeng ih."
"Kau juga.. haha... kan tah apa. Lagi nangis nih."
(Y/N) memeluk Rinto sebentar terus memberikan tanda oke. "Heh! Ngelap." keluh Rinto.
Mereka pergi ke rumah sakit, menjenguk Len. Rinto perlahan membuka pintu kamar Len dirawat. Disana ada Rin dan Len yang sedang meminum air mineral.
"Rinto-- (y/n)?"
Paca Rinto itu langsung mempercepat langkahnya menuju Len. Dengan wajah penuh kesenduan.
"Terima kasih sudah mau jenguk--" Len memberhentikan ucapannya bersamaan dengan datangnya pelukan (y/n). Air mata mulai jatuh satu persatu.
"Kau kenapa? Apa yang terjadi di sekolah?"
Rin di satu sisi melihat ke arah Len (y/n) lalu ke arah Rinto. Wajah kakak laki-lakinya sangat sendu. Namun, ia berusaha keras untuk tersenyum. Rin tahu bagaimana Len mencintai temannya dan Rin juga tahu bagaimana kerasnya kakaknya untuk membahagiakan temannya.
Rin tak bisa melakukan apapun. Yang ia hanya bisa lakukan adalah menjauhkan Miku dari kehidupan Len.
"Len bodoh!"
"Hei.. kau kenapa? Rinto ngapa-ngapain kamu?"
(Y/N) menggeleng sekaligus melepaskan pelukannya, mengusap air matanya. Disampingnya disusul Rinto. "Len."
"Elu ngapa-ngapain (y/n)? Eh kucing garong!"
"Anjing kao. Udah sembuh elu ternyata... aku baru aja mau bilang sesuatu bermanfaat."
"Apaan?"
Rinto memegang bahu (y/n). Berwajah serius.
"Len, kau harus bahagiain (y/n)."
"Tapi diakan pacarmu!"
"Tapi dia bahagianya sama kamu."
"Jadi ngapain kalian pacaran!"
"(Y/N) mau nepatin janji pacaran sama aku goblok."
(Y/N) tak bisa berbicara, ia terlalu sedih. Ia tahu kedua bersaudara ini menyukai dirinya. Ia hanya kembali menulis di secarik kertas.
'Ini kata untukmu hari ini. Kau seperti api...'
▪ Tbc ▪
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro