IV | Malam yang hangat
(Name) membalik-balikan halaman buku seraya menjejalkan biskuit ke dalam mulutnya.
Study group sudah berjalan selama beberapa minggu, dengan Gamin sebagai sorot agenda perdana mereka. (Name) menopang dagu. Teringat bagaimana Gamin selalu bertanya tiap-tiap nomor soal, lalu ketika Geonyeob langsung menarik kertas jawabannya setelah memperhatikan tidak ada kemajuan. Dengan alis berkerut dalam, Geonyeob menjelaskan. Dia lebih tegas dari Hyunjoo, karena (Name) tahu anak itu pasti sedang berusaha mengatur ritme napas agar urat kesabarannya tidak putus.
Meski begitu, mereka baik sekali mengajari Gamin.
Saat pertama kali (Name) melakukannya, dia berkali-kali menghela napas. Dalam benaknya, (Name) jadi mengerti kenapa Gamin tidak punya teman belajar. Anak itu sulit sekali, kacamata tebalnya tidak berbukti apa-apa jika tak ada secuilpun materi yang tersangkut di otaknya. (Name) pun menjelaskan dengan metode yang lebih mudah. Tentu lama dan lambat, meski begitu Gamin akhirnya mulai mengerti sedikit demi sedikit.
(Name) tersenyum kecil, hatinya seketika menghangat.
Kalau memang yang namanya berteman seperti itu, dia rasa tidak masalah.
"Nona?"
Lamunan (Name) langsung buyar begitu seseorang mengetuk. Ia lantas menoleh dan mendapati seorang pelayan di sana.
Pelayan itu kemudian menunduk sopan sebelum melanjutkan, "Tuan besar memanggil Anda."
Seketika keheningan melanda. Mata (Name) bergulir, menatap gerak jarum jam seiring debaran tak seirias dalam dadanya.
Ayahnya itu orang yang sibuk, jika ingin sekedar bercuap-cuap untuk menanyakan kabar putrinya bisa selalu beliau lakukan via telepon. (Name) akan selalu mendengar hal yang sama, berulang-ulang, setelah sekian lama meski ditambah beberapa kata tetap saja. (Name) terpukau ia bisa meniru setiap silabel tanpa cacat. Layaknya pantomim, bibir hanya perlu digerakkan tanpa suara karena tak ada emosi yang perlu disampaikan.
(Name) berguling ke tepi ranjang kemudian menarik kakinya ke lantai. Dingin. Memakai sendal berbulu dan tanpa menoleh lagi pelayan itu disuruh pergi.
Perjalanan menuju ruang ayahnya kini terasa dingin. Dinding-dinding putih di kedua sisi luas jaraknya, tetapi mengimpit (Name) dalam cekikan yang semakin erat setiap kali ia melangkah.
Sepasang pintu besar menjadi perhentian di ujung perjalanan. Kenop pintu disentuh, (Name) mengambil napas dalam-dalam lalu mendorongnya perlahan.
"Selamat malam, Ayah."
Aroma khas tembakau tercium begitu pintu itu terbuka.
Ruang kerja sang ayah bergaya khas eropa. Lukisan-lukisan bernilai tinggi di sepanjang dinding, karpet beludru merah gelap kontras dengan sendal tidurnya, rak-rak penuh buku, serta meja berpelintur bersama kursi putar.
Ayahnya adalah seorang artisi berjiwa seni tinggi, hidupnya bisa jauh lebih baik dari ini jika saja tangannya tidak bernoda.
"Duduk."
(Name) mengambil tempat yang paling dekat darinya, terlalu sibuk mengatur posisi untuk menyadari ayahnya yang mengamati dari balik kacamata.
Sampai saat (Name) merasa nyaman ayahnya kemudian berdehem.
"Bagaimana kabarmu?"
Hening.
Mata (Name) membeliak dan bibirnya sedikit terbuka, kemudian jari kelingking ditiup-tiup setelah dipakai mengorek kuping. (Name) lantas mengerjap. Dua kali. Tiga kali. Pria tua necis di balik meja itu masihlah ayahnya.
"B—baik, Ayah."
Ayahnya tersenyum—Hah?! Oke, katai saja (Name), tetapi bagi siapapun yang belum tahu hubungan mereka akan menganggap tingkah gadis itu lebay. Bohong kalau (Name) bilang dia tidak terkejut. Setelah sekian lama sejak kepergian sang ibu, ayahnya pada akhirnya memiliki perhatian sungguhan untuk mengajak (Name) berbincang langsung.
Dokumen disusun menjauh. "Ayah dengar kau punya grup belajarmu sendiri,"
"Coba ceritakan seperti apa itu."
Ehem, mungkin ayahnya ingin menyambung kembali hubungan mereka yang renggang ...?
Namun, (Name) tidak menduga hal ini akan terjadi.
Seulas senyum terukir tanpa beban di wajahnya.
Malam itu, di balik jendela besar yang menampilkan salju-salju berjatuhan, kedua ayah anak itu melupakan sejenak masalah mereka dan saling bertukar kata.
Canda dan tawa menghangatkan suasana yang ada.
.
.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro