ten.
Setelah empat hari berlalu, [name] kini kembali melangkahkan kakinya menyusuri koridor. Pakaiannya lengkap dengan earmuff dan sarung tangan. Berlapis kaos dan seragam sebelum luarannya adalah blazer.
Menatap sejenak pintu kelasnya, [name] pun melangkah masuk. Hal yang pertama ditemukan tetranya adalah Tsukishima Kei yang sedang tertegun menatap ke arahnya. Senyum terlukis di bibir [name], namun karena tertutupi oleh syal, Kei jadi tidak bisa melihatnya.
Terakhir kali mereka bicara, ya, saat saling larut dalam obrolan via ponsel. Kedua pasang remaja itu baru saling memutuskan sambungan saat Kei menaiki bus-nya yang berikutnya. Pemuda itu sempat mengomel pada [name] karena tertinggal oleh bus yang sempat sudah berhenti di depan matanya. Padahal itu karena dirinya terlalu asik dengan obrolan. Mungkin?
Namun di kelas ini, sepertinya mereka tidak bisa kembali berbicara tanpa gangguan.
Lihat. Teman-teman [name] yang sudah datang dan menyadari gadis itu telah masuk kembali langsung datang mengerubungi. Menanyakan kabar, berkata rindu, atau langsung menagih permen. Semua kalimat itu membuat [name] hanya melukiskan senyum bingung merespon.
Melirik sejenak ke arah laki-laki di sana, [name] agak kecewa lantaran objeknya kini hanya melakukan rutinitas biasanya; menenggelamkan kepala sambil mendengar musik.
Haruskah [name] belajar menjadi produser film hewan jaman purba atau pengusaha terkenal strawberry cake agar Kei bisa dengan binar sumringah saat melihatnya?
[❄❄❄]
[Full name] termenung menghadap jendela. Kedua pasang penghapus di tangannya tak lagi bertepuk menerbangkan debu. Kini hanya saling menyatu, terpegang lemas pada tangan yang tergeletak di atas kusen.
Alih-alih merasa dingin dengan hawa luar, lamunan membuatnya seakan tak peduli. Apa yang dipikirkannya mungkin lebih rumit dari sekadar menahan dingin.
Bisakah dia mengikuti ujian naik kelas ditemani dingin salju yang membelai halus?
Tahun kemarin [name] memaksakan diri tentang ujian akhir, dan ujian masuk. Akibatnya, ia harus mengambil opname panjang selesai itu. Meninggalkan upacara kelulusan, dan upacara penerimaan. Untung saja gadis ini diberkati bakat sosial yang lumayan. Sehingga tak menjadi bagai tokoh utama penyendiri karena tertinggal pergaulan.
Haruskah dia mengambil opname panjang lagi untuk tahun ini?
"Ja. He."
[Name] terlonjak. Hampir saja melemparkan penghapus papan tulis di kedua tangannya. Dirinya berbalik. Entah sejak kapan sosok itu sudah ada di sana.
"Kau kedinginan lagi?"
Tsukishima Kei. Pemuda itu takut-takut kejadian tempo lalu terulang. Melihat gigilan gadis tersebut, wajah menahan sakitnya, dan gumaman kacaunya, Kei merasa tak mau lagi mendapati itu semua.
"Tidak."
Tentu saja Kei menghela nafas mendengarnya. Sebisa mungkin pula ia menyamarkan kelegaannya.
Tetapi sayangnya, [name] menangkap samar itu semua. Membuat gadis tersebut menahan senyum walau mulut agak terhalang syal. "Oh, kau mau latihan, ya? Makin dingin begini tetap latihan? Kapan kalian libur?"
Merentetkan pertanyaan, Kei agak heran gadis ini terlihat bersemangat. Padahal gadis itu baru saja sembuh dari keadaan tak berdayanya.
"Entahlah, mungkin saat kelas tiga sudah mulai mengambil pensiun."
[Name] melangkah ke arah meja guru, menaruh kedua penghapus papan itu, gadis tersebut kemudian kembali ke tempat sebelumnya.
"Oh, ya," gadis itu merogoh saku. Mengeluarkan sesuatu yang familiar di sana. Permen jahe. "Kau rindu tidak dengan permen ini? Temanku ada yang merindukannya. Hehe, aku kalah dengan permen."
Kei hanya menatapinya. Permen itu masih tersisa banyak setelah pagi tadi temannya meminta. Sepertinya ibunya membawa jauh lebih banyak dari sebelumnya lantaran tak ingin [name] kembali merasa kedinginan.
Kei menaikkan sebelah bibirnya sedikit. Tak tahukah ibu [full name] bahwa anaknya itu durhaka kepadanya?
"Ibu membawakanku lebih banyak, dia bahkan hampir membuatkanku teh jahe untuk ikut dibawa. Untung saja jadinya hanya teh biasa." [name] membuat pikiran Kei menjadi lebih jelas.
"Heh. Dasar penghuni neraka. Malah membohongi ibumu sendiri," Kei memakai nada ejekan. Membuat [name] merengut sebal sekilas.
"Mau bagaimana, aku tidak suka jahe," ucap gadis itu.
"Kalau begitu bilang yang jelas pada ibumu."
"Dan membuatnya sedih selama ini membawakanku permen yang sia-sia?"
Keduanya terdiam.
"Kalau begitu makan. Cobalah untuk memakannya walau tak menyukainya." Kei menatap manik itu lurus. Saling menatap, kini keduanya, lah, yang saling memutuskan kontak beberapa detik berikutnya.
"Tidak enak."
"Enak."
"Aku pernah makan jahenya langsung dan itu tidak enak."
Kei mendesah, "aku pun kalau disuruh makan langsung ya tidak mau."
"Kan, tidak enak."
Menghela nafas, Kei berjalan mendekat. Kini kedua pasang remaja itu saling berhadapan. Meraih salah satu permen yang ada di tangan [name], "ini permen jahe dengan campuran susu. Jadi tentu saja berbeda dengan jahe asli."
"Sama saja."
Sebal dengan ke-keraskepalaan gadis di hadapannya, Kei pun membuka bungkus permen tersebut, lalu menyodorkannya ke hadapan [name], "makan."
Tentu saja [name] menggeleng.
Kei bersuara kembali, "kau alergi?"
"Aku hanya takut tidak enak," [name] menjawab dengan mencicit. Dia juga merasa alasannya itu tak begitu kuat untuk sampai berbohong pada ibu sendiri.
"Kalau begitu makan. Ini tidak buruk."
[Name] menatap wajah Kei yang terlihat tegas. Dibanding ibunya, kok ia malah lebih takut dengan cowok ini?
"Tsukishima kau memang penjaga neraka," [name] merengek. Membuat wajah minta belas kasihan dari Tsukishima Kei.
Namun sayangnya, laki-laki itu memanglah benar seperti penjaga neraka. Kei melukis seringai menyebalkannya, "cepat makan." Tangannya masih menyodorkan permen tersebut.
[Name] mendecak sejenak, sebelum wajahnya perlahan maju dengan ragu. Mulutnya terbuka, salah satu tangannya memegang tangan Kei yang memegang permen tersebut.
Kei ingin menjedukkan kepala. Niatnya untuk terlihat kejam malah berakhir manis. Wajahnya menahan kedutan alis kala tangan [name] menyentuh tangannya.
[Name] memasukan permen itu perlahan. Dia belum melepaskan tangan Kei, kini malah meremasnya seraya mulai mengecap permen tersebut.
"Enak?"
"Rasanya agak aneh tapi hangat," [name] kala itu terpejam sambil menyesap, maniknya kembali terbuka dan ia kembali melanjutkan, "tapi ada rasa susunya."
Membuat Kei jadi tertawa mengejek, "tentu saja, bodoh. Kan, ada susunya."
[Name] masih terfokus, mengecap untuk lebih meresapi.
"Tanganku bisa dilepas?"
Manik [name] turun. Tangannya masih saja meremas pelan tangan besar Kei. Dengan sontak [name] pun melepaskannya.
.
.
.
↓continue↓
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro