KTP
Sumpah, apaan sih nih cowok. Bikin malu gue aja, anjir.
Bibirku mengerucut ke samping. Aku merapikan rambut. Masih dengan wajah lugu.
"Sorry? Saya bahkan baru ketemu Anda. Maaf, ya. Saya sibuk. Banyak tugas mahasiswa yang harus saya periksa." Padahal mah cuma pengen download drama Korea sekaligus menghindar dari cowok absurd ini.
Tanpa berniat mengulur waktu, aku mengabaikannya dan berjalan cepat begitu pintu lift terbuka. Wajahnya masih menampakkan raut bingung.
Ck. Lagi pula, biar apa sih kejadian seperti itu masih jadi memorinya?
*
Wajahku lesu. Pagi ini aku tak bersemangat mengajar karena kurang tidur. Selain karena mengurus proyek ulang tahun Na Jaemin NCT tanggal 13 nanti, lalu disusul Huening Kai TXT sehari setelahnya, aku harus membaca artikel tugas mahasiswaku.
Ah berengsek. Jadi mulfan memang bikin pusing sekaligus menyenangkan.
Jadi, begini. Soal proyek ulang tahun itu. Aku membelikan bintang atas nama Na Jaemin dan sepetak wilayah di bulan atas nama Huening Kai. Kalau saja aku tinggal di Korea, aku pasti sudah bangkrut karena menghidupi belasan idol.
Banyak yang penasaran bagaimana "Rumi" ini bisa mengeluarkan banyak uang. Si Rumi ini sering diperbincangkan di media sosial. Bahkan, tak jarang aku mendapatkan fitnah dari berbagai fandom dengan menyebutku sasaeng. Gila apa. Mengulik kehidupan pribadi idol-idol yang kunafkahi saja aku tak berani. Itu namanya tidak sopan. Aku cukup menghargai mereka dengan menghadiri konser, fan meeting, fansign (kalau beruntung), membeli album, membeli merchandise, streaming di YouTube saat comeback, mengadakan proyek ulang tahun, membeli DVD ini itu, dan sebagainya. Asal bukan membeli informasi pribadi ke sasaeng. Sesayang dan segilanya aku pada grup idol, aku tak sampai mencampuri privasi mereka.
Tak jarang juga namaku jadi bulan-bulanan fansite para idol. Ya... persaingan antarfan memang tak sehat, kawan. Tak usahlah jauh-jauh. Kalau kau melihat teman sefandom mengkoleksi merchandise BT21, pasti ada rasa iri membuncah dalam dadamu dan berharap kau bisa mengkoleksi barang-barang itu.
Seringkali pula persaingan tak sehat ini menjerumuskan para fan ke tindakan kriminal. Misalnya, menipu orang melalui bisnis jual tiket konser. Banyak lho kasusnya. Seringkali, uang itu digunakan untuk ngebucin. Misalnya, datang ke konser di berbagai negara beberapa kali, membeli merch mahal, bahkan membelikan hadiah ke idol. Bayangkan saja. Uang hasil menipu dibelikan barang untuk idol. Lol.
Selain dari mengajar di kampus, aku mendapatkan uang dari situs yang kukelola. Juga hasil bisnis barang-barang K-Pop yang dijalankan oleh orang lain.
Keadaan di kafetaria FISIP agak lengang. Aku duduk seorang diri. Mahasiswa di sekelilingku mengobrol ke sana-sini. Yang membuat telingaku praktis bergerak merespons adalah obrolan segerombolan mahasiswa di belakang.
"Lagian lo ngapain sih ngeladenin fans K-Pop. Haha. Mereka kan tolol semua. Otaknya isinya plastik semua."
Bola mataku berputar ke atas. Aku menoleh ke belakang, mengenali ketiga cowok itu sebagai mahasiswaku. Bibirku mengerucut ke samping, mengikuti obrolan mereka.
"Tau, dah. Pokoknya ava Korea mah freak semua. Bodoh-bodoh lagi. Gampang ke-trigger kalau ada yang nyenggol Oppa-nya."
Tawa mereka meledak.
"Eh, Kak Sita." Salah seorang dari mereka menyadari tatapanku.
Aku tersenyum hiperbolis. "Lagi ngomongin apa, sih? Asyik bener."
"Si Asep lagi berantem sama fans K-Pop di Twitter. Kocak, dah."
"Nggak punya kerjaan mereka mah. Isinya bocah labil semua."
Sebelah alisku terangkat. "Siapa yang nggak punya kerjaan dan labil?"
"Fans plastik." Mereka tertawa lagi. Lebih keras. "Tolol semua."
"Oh, ya? Tahu dari mana? Siapa tahu loh di balik ava Korea, ada orang-orang yang punya prestasi. Cuma, kebetulan aja kalian ketemunya sama yang... yah... passionate." Aku menggunakan istilah passionate, seperti RM BTS yang meralat ucapan seorang MC ketika menyebut ARMY sebagai fans fanatik yang gila.
"Sama semua, ah. Pokoknya mah penyembah plastik tolol semua."
Aku tertawa ringan. Lalu, bertepuk satu kali. Menahan diri agar tak menampol mereka satu per satu.
"Jadi, kalian merasa paling pinter ya?" tanyaku.
"Iya dong, Kak. Kan bukan K-Popers yang suka ngegas."
Lagi-lagi, ketiganya tertawa terbahak-bahak.
"Kalian suka sepak bola, ya?" tanyaku.
"Eh, iya, dong," jawab si Asep.
Aku mengangguk-angguk. "Kamu bar-bar dong? Doyan tawuran? Suka ngasih laser ke pemain lawan di lapangan?"
"Ya nggak dong, Kak! Nggak semua fans bola begitu, kali!"
"Ya sudah. Simple. Nggak semua K-Popers itu bar-bar. Kalau mengikuti logika kamu sebelumnya, boleh dong aku manggil kamu fan bar-bar doyan tawuran?"
Ucapanku spontan membuat ketiga anak itu terdiam. Aku mengembuskan napas panjang. Lalu, berdiri sambil merapikan rambut. Sebelum melenggang pergi, kuacak-acak rambut si Asep yang diam.
"Belajar yang rajin ya. Biar bisa lebih pinter dari saya. Kan nilai kamu selalu D." Aku menyelipkan senyuman simpul, sebelum melangkah pergi.
*
Aku menyumbat hidung dengan tisu gulung—beberapa menit lalu, aku mimisan karena kelelahan. Rambutku acak-acakan. Sudah dua jam aku duduk di depan laptop untuk memberikan nilai mahasiswa. Kepalaku sudah keliyengan. Ponsel di sebelahku bergetar. Panggilan dari Egi. Aku mengetuk airpod yang terpasang di telinga dan menjawabnya.
"Ya?"
"Kok pesanku nggak dibales?"
"Aku lagi ngecek tugas mahasiswa, nih. Kenapa?"
"Nanti malam makan bareng ya. Aku udah pesen tempat."
"Iya...."
"Aku juga mau ngobrolin sesuatu. Jaga-jaga sebelum keluarga besarku ngerecokin kita besok."
Sial. Aku baru ingat besok ada dinner bersama keluarga besarnya. Kupijat pelipis. Kepalaku makin pusing
"Iya, deh. Terserah."
"Are you ok?"
"Nope. Aku mimisan nih."
Di seberang sana, Egi mendesah pendek. "Sudah kubilang berapa kali? Jangan sampai kecapekan. Setop lah nonton-nonton YouTube."
"Ih... apaan, coba. Nggak ada hubungan sama YouTube. Seharian ini aku banyak kerjaan, ditambah Jakarta panas banget udah kayak pindah ke matahari. Kalau kamu bawel, aku matiin, nih."
"Ck. Pulang jam berapa?"
"Abis ini."
"Aku nggak bisa jemput. Sebentar lagi ada rapat sama klien."
"Iya, iya, tahu." Nggak berharap juga dijemput. Udah bete duluan. "Nanti langsung ke apartemenku aja jam tujuh." Aku mengecek jam dinding. Jam tiga sore. "Aku mau kelarin ini, tinggal dikit, terus pulang."
"Hati-hati."
"Yoms."
Sambungan terputus. Aku menggaruk kepala yang tak gatal, lalu mematikan laptop. Kuhela napas panjang setelah melepas tisu dari salah satu lubang hidup.
Karena letih dan agak lemas, aku memilih naik taksi daring saja. Aku menunggu mobilku datang dengan duduk di gazebo. Begitu melihat mobil pesananku datang dan berhenti di depan fakultas, dengan segera aku membuka pintu. Aku terkejut ketika melihat seorang penumpang masih di jok belakang, sedang membayar ke sopir.
"Makasih, Pak."
"Bintang lima ya, Mas."
"Beres." Cowok itu melihatku. Ia memiringkan kepala, lalu menunjukku. Seperti mengingatku.
"Permisi, ya. Saya mau masuk ke dalam. Kamu sudah selesai, kan? Silakan keluar."
"Astaga, kasar sekali."
Aku mengibaskan tangan. Cowok itu mendecak lidah, lalu keluar mobil dengan membuka pintu lain. Aku buru-buru masuk dan menutup pintu.
"Mbak Sita, ya?" sang sopir memastikan.
"Iya, Pak."
"Oke." Sopir mulai melajukan mobil menjauhi FISIP.
Aku menyandarkan kepala ke kaca jendela. Keluar dari area kampus, aku meletakkan tas ke samping. Mataku menangkap sesuatu terjatuh di bawah. Sebuah dompet kulit. Aku memungut benda itu, lalu membuka sekadar mencari tahu identitas pemiliknya. Ada KTP yang terselip.
*****
Percayalah, ngedit KTP-nya sampe sejam Cuma gegara tanda tangannya asw :")
YOOOOK ABSEN, MANA YANG MASIH BACA INI? TINGGALKAN JEJAK YAK!
Aqu pas jadi dosen
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro