Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Freak

Mataku memelotot baru menyadari apa yang kulakukan. Bibirku mengatup rapat. Aku buru-buru berdiri dan menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutup wajah. Senyum kusungging semanis madu.

"Maaf, saya nggak sengaja." Aku tak mau memperpanjang perkara.

Lelaki tersebut mengamatiku dari ujung rambut sampai kaki. "Baru aja gue mau laporin atas tindakan pelecehan di ruang publik."

Aku tertawa pendek. "Excuse me? Saya nggak sengaja lho." Aku menunjuk diriku sendiri.

"Freak banget sih. Cantik padahal," bisiknya sambil bergidik.

"Freak?!" Nadaku meninggi. "Eh, Mas. Mohon maaf nih, ya. Gue bener-bener nggak ada niat pegang-pegang. Ogah banget gue megang pantat lo yang nggak ada semok-semoknya."

Merasa tersinggung dengan ucapanku—yang saat itu mengundang tawa orang-orang—lelaki itu menyergah, "Lho, lho. Saya bisa laporin kamu atas perbuatan tidak menyenangkan juga." Ia menepuk bokongnya. "Enak aja dibilang nggak ada semok-semoknya. Mau adu semok sama gue?"

Aku menoleh ke kanan-kiri. Orang-orang sudah riuh berbisik dan cengengesan. Daripada semakin mempermalukan diriku sendiri, aku segera keluar begitu pintu kereta terbuka, mengabaikan cerocosan lelaki itu yang masih mengomel.

"Anjir, tahu begini mending gue nggak balik ke Jakarta dan kabur ke Utrecht." Aku menyingkirkan rambut di dahiku, mengembuskan napas kesal.

*

"Kak Sita datang."

Segerombolan mahasiswa langsung masuk begitu melihatku datang membawa tas. Aku memang melarang mereka memanggil 'Bu' karena terkesan tua. Aku hanya akan menoleh jika mereka memanggilku 'Kakak'. Umurku baru 26 tahun. Itu masih muda, lho!

Aku melirik mahasiswaku yang langsung duduk disiplin dengan tenang.

"Selamat pagi."

"Pagi, Kak!"

"Gimana kabarnya, Kak? Jadi kangen lho tiga bulan ditinggal ke Belanda," celetuk salah seorang mahasiswa di deretan paling belakang.

Bibirku menarik senyum simpul. "Bukan urusan kamu."

Serentak, tawa menggelegar di sepenjuru kelas. Aku segera memulai materi perkuliahan dan meminta mereka membentuk kelompok.

Untung saja hari ini aku tidak memiliki banyak jam mengajar. Aku bisa beristirahat di ruang dosen dengan menonton Running Man sambil makan bakso Mang Ujang. Begitu sosok Mingyu SEVENTEEN muncul, aku spontan menepuk meja histeris dan nyaris tersedak.

"Bangsat ganteng banget Mingyu! Aduh mampus nih gue. Mampus nih gue," kataku di sela-sela kunyahan Aku segera mengambil air minum dan meneguk sampai setengah. Kepalaku condong ke depan sambil cengengesan seperti orang gila.

Begitu seseorang masuk ke ruang dosen, aku spontan menekan tombol Esc dan mengubah ekspresiku menjadi serius, pura-pura berselancar di internet mencari jurnal. Kutekan dahiku sambil sesekali melirik seorang perempuan yang sebaya denganku duduk di meja paling ujung. Ia ingin dipanggil Rua—entah dari mana panggilan itu karena setahuku nama aslinhya Siti Marpuah. Ia dosen yang terbilang baru—ya sama sepertiku walaupun aku masuk lebih dulu ke universitas ini. Hobinya mengagumi penampilannya sendiri di depan kaca sambil mengucapkan mantra, "Cantik banget sih kamu. Unch. Bibirnya seksi lagi. Matanya lentik. Pantesan disukai banyak cowok."

Aku sih pada awalnya biasa saja dan malah mengagumi kepercayaan dirinya yang begitu tinggi—love yourself, ya kan. Namun, mengingat kelakuannya yang suka menggoda dosen-dosen senior dan mahasiswa tampan, aku jadi ilfeel.

"Ngapain kamu ngelihatin segitunya?" tanyanya, menyadari sedang kuamati.

Aku praktis mengubah arah pandangan ke atas. "Cicaknya lucu. Pengen bawa pulang."

Rua melengos dan memilih berkutat dengan ponselnya. Di saat bersamaan, aku menoleh ke arah ponselku yang bergetar tanda pesan masuk di WhatsApp.

Aegis Adiraja: Sayang, hari Sabtu ada dinner bareng keluarga besar. Dateng, ya. Aku jemput ke apartemen kamu jam lima.

Aku mengembuskan napas panjang.

Sitaresi Danurdara: Iya zheyenk

Aegis Adiraja: I love u

Sitaresi Danurdara: :)

"Lebay amat jadi laki bilang lop lop di chat segala. Gelay, tahu."

*

Dinner yang dikatakan Egi adalah jamuan makan malam keluarga besar Adiraja. Aku bukan orang yang anti sosial, tapi kalau berhadapan dengan keluarga besar Egi, rasanya mual.

Hey, you're gonna marry your man. It means you will marry their family too!

Entahlah, menerima keluarga besarnya tak segampang itu. Mereka bahkan masih belum bisa menerimaku. Maksudku, ibunya yang belum bisa menerimaku. Ibu Egi, Martina Adiraja, mirip ibu-ibu sosialita di drama Korea. Meskipun awet muda dan jelita, ia memiliki garis mata yang tajam. Setiap bersepandang dengannya, aku merasa seperti ditusuk belati.

Hanya Martina Adiraja yang tak menyukai hubunganku dengan putranya, sementara yang lain biasa saja. Aku bisa bergaul dengan sepupu-sepupu Egi.

Misalnya, Nayanika.

Gadis itu baru saja menghubungiku dan mengatakan ia sudah kembali dari Australia.

"Wow. Ada acara, ya? Bukannya lo kabur ke Aussie gara-gara galau abis putus sama mantan lo?" kataku seraya mencari baju di lemari untuk kupakai dinner nanti.

"Shut up. Aku nggak mau bahas itu."

"Sorry." Aku mengangkat pundak. Kupandang baju di tanganku yang menurutku cocok untuk dinner. "Jadi, nanti kamu ikut dinner di rumah nenek kamu, nih?"

"Mungkin."

"Ah, thank God. Seenggaknya gue nggak kayak orang bego di sana. Ada lo yang bisa gue ajak ngobrol." Aku menggeleng-geleng. Aegis akan sibuk mengobrol dengan sepupunya membicarakan soal sepak bola, saham, atau hal lain yang tidak kupahami.

Selama mendengarkan Naya berbicara, aku melempar baju ke atas ranjang, lantas berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Begitu pintu kulkas kubuka, aku mendesah panjang. Persediaan minuman kalengku habis.

"Nanti sambung lagi ya. Gue mau ke supermarket."

Sambungan terputus. Aku memakai kardigan dan mengambil dompet. Sambil menggaruk-garuk kepala, kulangkahkan kaki ke luar apartemen. Supermarket di gedung apartemen ini tidak begitu padat. Aku mengambil beberapa minuman kaleng—sekalian pembalut karena jadwal datang bulanku akan segera datang. Ketika membayar di kasir, aku melihat pantulan bayangan seseorang dari etalase di belakang kasir. Sosok lelaki yang berdiri di belakangku tampak asyik dengan ponselnya. Kok seperti pernah lihat, ya?

"Silakan, Kak."

Perhatianku buyar begitu uang kembalian dan kantong belanjaku diberikan. Aku memutar badan, sibuk mengambil sekaleng soda, lalu meminumnya sambil melangkah pergi.

Lift dalam keadaan kosong saat aku masuk. Sebelum pintu tertutup, seseorang menerobos masuk sambil membawa kantong belanjaan. Kepalaku menoleh ke kanan. Lelaki itu balik menatapku.

YHA SIALAN. KOK KETEMU MAKHLUK DARI MRT DI SINI?

Buru-buru aku mengalihkan pandangan.

"Kayak pernah ketemu, ya?" tanyanya. Ia mengusap dagu.

"Oh?" Aku pura-pura bingung. "Kayaknya nggak."

"Masa, sih? Gue nih termasuk gampang hafal muka cewek lho."

Aku mengedikkan bahu. "Maaf. Aku nggak kenal kamu." Pintu lift terbuka. Aku berjalan anggun sambil menyibakkan rambut.

Baru beberapa langkah, lenganku dipegang dari belakang, membuatku spontan berhenti sambil memelototkan mata.

"Lo yang pegang bokong gue di MRT, kan?"

*****

HAHAHAHA AYEM BEK AGAIN. MAAF YA BELAKANGAN AKU NGGAK MOOD BUAT NULIS JADI AKU MAU NULIS APA YANG LAGI KUPENGENIN. MOHON MAAP YANG MENANTIKAN CERITA LAINNYA UWU.

Sekadar mengingatkan, mukanya Dierja itu ini:

Dia saudara kembar Nuansa ya :') Nuansa itu ada di GINCU 1 :')

Aqu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro