Standar?
ASTAGFIRULLAHALAZIM.
MANTAN?! Cewek yang wajahnya secantik Irene Red Velvet itu pernah menjadi korbannya?! Inalillahi....
"Ah, nggak usah bercanda. Masa cewek secakep dan semulus itu mau sama lo?" Aku meringis mengejek.
Sudut bibir Ilalang terangkat jengkel. "Ayo ke sana. Gue kenalin biar lo percaya."
Senyumku lenyap seketika. Seperti matahari yang tenggelam di balik garis lautan. "Hah?"
Tanpa menunggu balasanku, Ilalang menggenggam erat tanganku dan sedikit menyeretku menghampiri cewek itu. Tatapan lekat nan dinginnya sangat mengintimidasi. Aku perlu menelan ludah susah payah. Raut wajahnya yang seperti itu justru membuatku terbayang sosok Dilara Niranjana dalam novel Stilettale karya Lovita Cendana (aku pernah baca di Playstore loh!).
"Hai," sapa gadis itu. Pada Ilalang, tentu saja. "Lama nggak jumpa." Matanya yang tajam bak cakram menyelisikku seperti logam detektor. Ia menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga dengan gerakan elegan. Seakan memberikan isyarat, mengatakan di depan wajahku bahwa aku hanyalah seonggok upil di depannya.
"Kamu balik ke Indonesia kok nggak bilang?" tanya Ilalang. Sepertinya basa-basi.
"Buat apa bilang ke kamu setelah mutusin aku lewat telepon? Emang kamu siapa?"
SAVAGE MAS BRO.
Ilalang mendesah. "Oh, ini Filosofia." Ia menunjukku, kemudian memandang cewek itu lagi. "Dan ini, Nayanika, Nay."
"Aku udah tahu," kataku. "Kamu penulis puisi dan prosa berbahasa Inggris, kan?"
Nay menanggapi dengan sebelah alis terangkat. Tanpa sepatah kata pun. Hal itu membuat bibirku terbungkam.
"Jadi, ini gandengan baru kamu setelah patah hati ditinggal nikah editor kamu?" Senyum Nay melayang simpul.
Lagi-lagi, Ilalang mendesah. Ia tampak seperti curut di hadapan Nay. Mulut gadis itu tajam sekali. Aku ingin tertawa tapi takut dosa.
"Karma," lanjut Nay dan menghapus senyumnya dengan tegukan. Ia menjilat bibir.
"It seems you're happy without me."
"Of course I am. Seenggaknya karena kamu, aku jadi punya inspirasi menulis puisi untuk edisi XI."
"The Most Beautiful Moment in Life?"
"Ngah." Bibir Nay mencebik. "How to Deal with a Fuckboy."
Spontan, Ilalang terbahak. Aku ikut-ikutan tertawa. Padahal, tak tahu apa-apa.
Tangan Ilalang mengayun mengambil segelas koktail di atas meja. Tangannya yang bebas menyusup di dalam saku. Melihat posisinya yang tampak nyaman, aku menarik ujung bibir.
"Gue mau ke sana, deh."
Ia hanya menanggapi dengan lambaian, lalu asyik lagi mengobrol dengan Nay. Bibirku mencebik kesal. Ia mengabaikanku, sungguh tak bisa dipercaya.
KARENA ADA MANTANNYA?! KENAPA? DIA KEPINCUT LAGI? KOK AKU NGEGAS?!
Namun, secepat mungkin aku menghilangkan kerutan di bibir ketika Nuansa memanggilku untuk menghampirinya. Ia begitu cantik dengan gaun berekor dengan rimpel di bagian dada dan rambut digelung bergaya kerang.
"Aduh, kamu cakep banget!" katanya seraya mengamati penampilanku.
Aku tersenyum. Kulihat dokter Sabda mendekat sambil membawakan minuman untuk istrinya.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanyanya. "Aku baca dari berita dan sempat khawatir."
"Oh, aku baik-baik aja dan merasa aman."
"Kamu tahu bukan itu yang aku tanyakan." Dokter Sabda terkekeh.
Bahuku mengedik. "Well, I'm good." Kepalaku menoleh ke arah Ilalang dan Nay yang masih asyik mengobrol. "Untuk sementara."
"I'm not gonna ask you more question. Aku lega kamu baik-baik aja. Kalau butuh sesuatu, rekanku bisa membantu."
"Terima kasih." Senyumku mengulas singkat.
"Iota mana?" tanya Nuansa sambil mengedarkan perhatian ke seantero gedung. Mulutnya membentuk huruf O begitu menemukan sosok yang dicari. "Mereka kelihatan dekat, ya? Oh, temen baik kayaknya. Nay kan udah setahun lebih tinggal di Australia."
"Kakak nggak tahu kalau Nay mantan dia?"
Nuansa yang tadinya meneguk koktail tersedak. "Hah?"
Mana tahulah. Malah dia kan yang jadi alasan Ilalang mutusin Nay.
"Oops." Aku tersenyum kecil.
Seakan tak mau ikut campur lagi ke dalam urusan Ilalang (dan mungkin karena tak enak dengan dokter Sabda), Nuansa berpamitan untuk menyapa tamu-tamu mertuanya yang berasal dari kalangan atas. Aku mengangguk dan melihatnya menggandeng dokter Sabda, menghampiri orang-orang berpakaian rapi.
Suara wedding singer menyanyikan Fly Me to the Moon mengiringi langkahku menghampiri meja sekadar mengambil makanan kecil. Aku mencomot sepotong keik cokelat dan beralih ke meja makanan serta minuman tradisional, mengambil es sinom. Perpaduan barat dan lokal.
Sesekali, kulayangkan pandangan ke tempat Ilalang. Aku menjejalkan keik ke dalam mulutku sampai penuh melihatnya tertawa bersama Nay. Padahal, gadis itu kelihatan sekali muka antagonisnya. Tapi, harus kuakui ia tampak sangat menawan ketika tertawa kecil.
Hey, jangan minder. Ingat, Filosofia, mantanmu itu Ezra!
Betapa menyedihkannya hanya Ezra dengan wajah seganteng Ong Seongwoo yang bisa kubanggakan.
Ponselku berbunyi. Aku merogoh tas mini yang berfungsi pula sebagai dompet untuk mengambilnya. Nama Tante Nana tertera. Sambil menelan kunyahan keik, aku pun menjawab. Belum-belum terdengar teriakan di seberang sampai membuatku mengernyitkan telinga.
"Iya, iya, Tan. Aku bakal ke apartemen Tante. Ini masih kondangan."
"KONDANGAN MULU KAPAN KAMU DIKONDANGI, PIA?!"
"Ya elah, Tan. Kapan-kapan. Udah, ya. Nanti aku kabari deh kalau pulang. Salam ke Om. Bilang nggak usah cemas. Aku ada di tangan orang yang tepat, kok."
Eak.
Pada akhirnya, aku memutus sambungan dan memasukkan ponsel. Saat mengangkat kepala, aku tak melihat Ilalang dan Irene KW itu. Belum-belum, pikiranku sudah dipenuhi suuzan.
"Pasti mojok tuh orang berdua. Hilih. Dasar cowok."
"Ahem." Suara dehaman seseorang menyita perhatian. Menoleh ke samping, sudah kudapatin seorang lelaki berstelan rapi. Mulutku terbuka mengingat wajahnya.
"Kak Dierja, ya?"
"Ingat, ya? Kok sendirian? Pasangannya mana?" Nada kalimat terakhirnya dipanjang-panjangkan.
"Nggak tahu. Nyimeng, kali."
"Eh, orang Jawa, ya? Tahu nyimeng."
"Bukan, sih. Besar di Surabaya aja." Senyumku mengembang.
"Kita ikut orang-orang dansa di sana, yuk." Telunjuknya mengarah ke berpasang-pasang tamu yang sedang berdansa.
Ya udahlah. Daripada aku merana dan kelihatan jones. Aku pun mengiyakan ajakan Dierja. Kami mengambil posisi berdansa dan mengikuti irama lagu-lagu Mocca.
"Kakak tinggal di sini?"
"Hm... domisili di sini gara-gara dipindah ke perusahaan lain. Awalnya di Jogja. Kamu udah pernah ke Jogja?"
Aku mengangguk. "Cuma beberapa kali, sih. Waktu studi wisata sama liburan sama...." Ezra. Aku menyeringai. "Temen-temen." Saat berputar, aku melihat Ilalang tak jauh dari kami. Rupanya, ia sudah memiliki pasangan dansa. Siapa lagi kalau bukan Nay. Ia sempat memandangku, tapi aku buru-buru berputar dan menghalangi pandangannya dengan badan Dierja yang tinggi.
"Kamu siapanya Iota?"
"Anu... Teman sejak kecil."
"Oh, pantes dia kelihatan protektif. Pasti deket?"
"Bisa dibilang deket waktu kecil sih. Setelah pindah dari Jakarta, kita nggak pernah ketemu lagi." Aku mengingat-ingat pertama kali bertemu di stasiun kereta sampai ia berani menginap di apartemenku.
Lebih tepatnya, aku sengaja menghilang darinya sejak kejadian nahas itu dan ingin memulai hidup baru di rumah nenek dan kakekku di Surabaya. Aku tak pernah mendengar kabarnya secara langsung kecuali dari media bahwa ia menjadi penulis muda yang paling sukses di sini. Media sosial? Aku tidak mau mencari-carinya dan benar-benar ingin melupakan semua kenangan di Jakarta.
Apa daya ternyata kami malah bertemu dan dekat lagi. Takdir memang susah ditebak.
"Berarti kamu jomlo dong?" tanya Dierja.
"Kenapa emang, Kak?"
"Tanya aja."
Aku tersenyum. "Pacarku virtual, Kak."
"Hm?"
"Jungkook."
Dierja terbahak keras. "Biarpun mukaku nggak seganteng Jungkook, kapan-kapan mau makan sama aku, nggak?"
NGGAK SEGANTENG JUNGKOOK DARI HONG KONG. Merendah sekali makhluk satu ini. Jewer manja kupingnya, ya.
Mataku membulat. "Makan di mana?"
"Ada tempat yang enak banget. Kamu harus coba." Ia terkekeh. "Mumpung jomlo ya, kan? Kalau udah punya pacar susah diajak keluar sekadar makan doang. Bisa-bisa aku kena bogem pacarmu."
"Oke, deh."
Ketika badanku berputar, ada yang menarik tanganku dan menggenggamnya, membuat badanku tersentak. Aku mengerjapkan mata kaget. Ia menggerakkan kepala ke satu sisi, memintaku menjadi pasangan dansanya.
"Asyik banget kayaknya sama kembaran Nuansa," kata Ilalang.
"Duh, bisa nggak sih nggak main tarik aja? Ini tangan, Bambang. Bukan benang layangan!" Aku mengerucutkan bibir kesal. "Kenapa lo? Bukannya asyik juga sama mantan lo?"
"Ciye cemburu."
"Nggak."
"Iya, itu muka lo merah."
"Ih, nggak. Hawanya kali panas. Kulit gue sensitif."
"Apaan, kelihatan kok lo jealous sama Nay."
"Nggak."
"Iya."
"Iya!" Aku memejamkan mata jengkel. "Nggak."
Ia tertawa gemas. "Gue juga."
"Apanya yang juga?"
"Gue juga jealous lo diajak ngobrol dan dansa sama cowok selain gue.",
"Apaan, sih." JANTUNG GUE UDAH MAU COPOT INI YA RAB. "Sana ngobrol aja sama Irene KW. Cewek secantik itu diputus. Lewat telepon, lagi."
Ia meringis. "Iya, dia emang cantik kok."
TEROOOOS.
"Tapi, nggak bisa bikin gue nyaman," lanjutnya.
MASHOOOOK PAK EKO.
"Kalau lo mau nyari kenyamanan, pacaran aja sana sama sofa. Lagian lo jahay banget sih. Gara-gara Nuansa ada di sini, kan?"
Senyumnya mengembang miring. Bola mataku berputar.
"Lo kenapa sih ngukur standar gue sama cewek cantik?" tanyanya. "Lo pikir, gue suka seseorang karena mereka cantik?"
"Realistis aja, sih. Apalagi cowok kayak lo."
"Emang gue kayak gimana?"
"Ya... Elo." Aku menoleh ke arah lain saking gugupnya. "Pokoknya gue nemu banyak orang kayak lo yang pasti punya standar tinggi. Cakep, pinter, berbakat, berduit, keluarga berwibawa."
Lagi-lagi, Ilalang tertawa. Aku memandangnya.
"Keluarga berwibawa. Keluarga gue aja berantakan." Ia mendesah pendek. "Udah malem, nih. Pulang aja."
Yah, kok obrolannya tidak lanjut. Kan aku penasaran jawaban dan reaksinya.
"Anterin gue pulang ke apartemen Tante, deh. Dia udah balik dan minta gue tinggal di sana dulu. Barang-barang gue besok gue ambil."
*
Begonya, mobil Ilalang mogok di pinggir jalan saat kami pulang. Ia memeriksa mesin dan menghubungi seseorang. Selama itu pula, aku menunggu di dalam mobil dengan kaca jendela kubuka. Udara dingin menyusup. Jalanan sangat sepi.
"Nggak bisa jalan?!" tanyaku. "Gue naik taksi online ajalah!"
"Terus lo ninggalin gue di sini? Tega amat lo, Sop."
"Ih, tante gue udah bawel nih." Aku merogoh tas dan mengambil ponsel yang sialnya sudah mati. "Ya elah, kenapa baterai gue abis pas begini?! Drama banget hidup gue."
"Itu namanya takdir. Lo disuruh nemenin gue sampai mobil orang gue dateng."
Bibirku mengerucut kesal. Ia masuk lagi ke dalam setelah menutup pintu mobil kasar dan menggerutu.
"Gue udah ngantuk."
"Ya udah, tidur."
"Gue masih pake make up. Nanti muka gue berminyak, terus berjerawat." Aku menunjuk mataku. "Gue juga lagi make kontak lensa."
Ia mendesah panjang dan mendaratkan dahi di roda kemudi, mengatur napas. Aku diam. Kutahan rasa kantukku sampai mobilnya yang lain muncul.
Perutku keroncongan. Aku baru ingat hanya makan keik di pesta Nuansa.
Suara keroncongan terdengar lagi sampai membuat Ilalang menoleh.
"Lo laper?"
Aku memandangnya, memberengut, dan mengangguk seperti anak kecil.
"Tuh di luar ada batu."
Astagfirullah. Untung sabar aku tuh.
Tak kuhiraukan lagi ia. Aku menggosok dan menggigit kuku. Ilalang meraih kantong plastik di jok belakang, mengambil sesuatu, lalu menyerahkan padaku tanpa memandang. Sekaleng susu kotak rasa pisang.
Aku meraihnya. "Lo minum ginian? Tumben." Aku tertawa.
"Gue beli buat lo."
Tawaku lenyap. "Oh. Makasih." Senyumku perlahan muncul. Aku meminumnya.
"Lo," ia membuka suara, "kenapa bisa suka sama Ezra?"
"Duitnya banyak." Aku terkekeh. "Bercanda. Dia...."
"Dia baik," ia menirukan nadaku menjadi menye-menye.
"Lo nguping pembicaraan gue pas video call sama dia, ya? Jangan-jangan juga yang matiin WiFi sama listrik!"
Ia tertawa. "Abis jijik banget gue dengernya."
"Ih!" Aku meninju lengannya.
Jadi, ia mendengar semua obrolan kami? Termasuk ucapan Ezra yang berusaha memenangkan hatiku?
Kotak susu di genggamanku sudah kosong. Aku membuangnya ke dalam tong sampah kecil di mobil.
Ia memerhatikanku. "Lo suka banget?" Kepalanya mengedik ke sampah.
"Hm. Apalagi yang botolan merek Korea. Lebih enak."
"Yang tadi enggak?"
"Di bawah standar." Aku menggerakka jemari di depan wajah.
Ia tersenyum. "Gue penasaran."
"Apanya?"
"Rasanya."
"Kenapa nggak beli dan cobain sendiri!"
Bola matanya turun menatap bibirku. "Masih ada tuh." Dalam gerakan cepat, tangannya meraih daguku dan menyambut bibirku dengan ciuman. Mataku membelalak kaget. Aku tertegun selama beberapa saat. Singkat. Tapi, sanggup mematikan syaraf.
Aku memandangnya, masih kaget.
"Standar gue bukan kayak yang lo sebut," katanya. "Standar gue itu lo."
*****
HAHAHHA KALIAN MAU BERSATU? TIDAK SEMUDAH ITU FERGUSO!
Btw maaf ya lama banget apdet. Gue abis berduka lagi. Nenek gue yang satu lagi meninggal T___T jadi gue down banget udah ga punya nenek dua-duanya ga ada T___T
Kayaknya cuma gue ya penulis ga tau malu yang suka promosiin karya sendiri di karya lainnya. Wkwk.
KALO KALIAN MAU LANJUT CEPET FOLLOW INSTAGRAM serigincu DAN AKTIF KOMEN DI SANA WOI. TUNJUKKAN JIWA BERKELAHI KALIAN.
Kau butuh keluarga bahagia seperti mereka, Bambang
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro