Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Saltik

Ruang jurnalis sepi. Dari balik papan kubikel, Mas Tama mencondongkan kepala sekadar melihat aktivitasku.

Sejak tadi pagi, aku mengerjakan artikel dengan khidmat tanpa bersuara. Aku meneguhkan diri untuk bersikap biasa bila bertemu Meri, apalagi Mas Danu.

Sigh!

Menyebutkan nama dua orang itu saja sudah membuat bibirku terlipat kesal. Aku sudah menyelesaikan sepuluh artikel dalam waktu yang cukup cepat. Tidak seperti biasa. Di saat-saat seperti ini, otakku justru terangsang untuk menulis. Aku butuh pengalih pikiran soalnya.

"Entar pulang kerja kita ada makan-makan lagi. Lo mau gabung?" tanya Mas Tama.

Aku menggeleng. "Aku ada janji."

"Sama pacar?"

Aku menggeleng lagi. "Sama temen."

Terdengar suara helaan napas panjang. "Yah, sayang. Padahal lagi ada traktiran kantor loh. Danu diangkat jadi penred."

Telingaku refleks bergerak sedikit. "Penred?" Mulutku terbuka. "Wah."

"Hadir, ya. Nanti kan ruangan doi udah pindah ke atas. Bakal jarang ketemu loh. Kangen, lagi."

Sudut bibirku terangkat. Aku terkekeh. "Ya udah, deh."

Mengembuskan napas, aku kembali bertekun dengan komputer, mengirimkan artikel-artikel ke meja redaksi. Sesekali, kucek jadwal liputan lapangan sambil mengatur lagi jadwal konsultasi ke dokter Sabda.

Aku mengetuk dahi menggunakan pena.

Mas Danu akan diangkat menjadi penanggung jawab redaksi. Artinya, ia akan pindah ruangan di lantai atas. Kupandang ruangan redaksi yang dipisahkan oleh sekat kaca buram yang membuat bagian dalam tidak terlihat jelas. Aku bersendang dagu. Ketika memandang meja Meri yang kosong, bibirku mengerucut.

Ada pesan masuk di Web WhatsApp yang membuatku mengedip.

Ilalang: Sop, jangan pulang malam ya. Ntar gue jemput.

Bibir atasku terangkat.

Filosofia: apaan sih. Gue ntar ada makan bareng anak kantor.

Ilalang: lo kan bilang janji mau bantuin gue buat dapatin rumah gue lagi.

Filosofia: eleh harus sekarang banget??

Ilalang: jangan ngeluh. Pokoknya gue jemput sepulang ngantor. Janji tetep janji.

Bola mataku berputar diikuti suara tawa kesal.

Filosofia: Y.

Ilalang: y doang?

Filosofia: Mau apa?

Ilalang: kasih emoticon kek. Kayak gini 😘

Filosofia: Apaan sih! Gue mau fokus kerja nggak usah ganggu.

Ilalang: Ok 😚

Filosofia: JIJIK!

Ia tak membalas lagi. Aku mendengus dan menutup aplikasi itu dari komputer. Tak berselang lama, Meri melenggang masuk dengan langkah gusar. Dari balik papan kubikel, aku melihat penampilannya yang agak berantakan. Meskipun sering terjun ke lapangan, ia tidak pernah seberantakan itu. Rambutnya yang dikucir keluar beberapa helai dari kuciran. Ia duduk diam dan menyumpal telinga menggunakan headphone.

Masih sulit dipercaya. Cewek sejutek itu pacar Mas Danu sejak SMA.

Eleh, emang lo aja yang nggak bisa terima kenyataan kalau gebetan udah ada yang punya, benakku berbisik nyinyir.

Iya sih.

*

"Yah, lo bener-bener nggak bisa?" tanya Brenda saat aku mengemasi barang-barang ke ransel dan pamit lebih dulu (sebelum Ilalang muncul mendadak dan membuatku malu setengah mati).

"Gue ada janji yang nggak bisa dibatalin sih, Mbak. Duluan ya!"

Tak mengacuhkan seruan Brenda, aku berlari tergesa-gesa menyusuri selasar, naik lift, dan menunggu di lobi. Resepsionis sudah bersiap-siap untuk pulang. Aku duduk di sofa, mengamatinya berdandan.

"Mau pergi lagi ya, Mbak?" tanyaku pada Mbak Rusti.

Ia tersenyum. "Dijemput pacar gue. Nggak tahu sih bakal ngajak makan apa langsung pulang."

"Kalau langsung pulang, ngapain dempulan lagi?"

"Heh, kan gue pengen kelihatan cantik di depan pacar gue! Lo bayangin aja, gue kerja dari pagi sampe sore. Udah asem gini. Terus muka kucel." Mbak Rusti bergidik. "Dia pasti ilfeel dan nggak nyaman."

"Lah, kalau cinta bukannya nggak memandang fisik ya, Mbak?"

"Bullshit itu mah. Secinta-cintanya dia, tetep aja cowok bakal ngelirik cewek yang lebih seger daripada pacarnya yang kucel. Dilogika ajalah."

Aku menekan sudut bibir dengan lidah. Mbak Rusti melambai padaku saat pacarnya sudah sampai di depan. Ia berjalan tergesa-gesa. Suara hak stiletonya terdengar agak keras mengetuk lantai.

Bibirku terkatup rapat. Aku mendadak teringat Nuansa. Cewek itu tampak sangat rapi dan modis. Meski dandanannya tidak berlebihan, ia terlihat menawan. Aku mengusap bibir, berpikir.

Aku berlari menuju toilet lantai 1. Kupandang wajahku yang terlihat pucat karena make up yang sudah luntur. Aku membasuh wajah. Lalu, mengambil tas kecil berisi bedak, lipstik, dan sisir yang kubawa sewaktu-waktu kugunakan ketika ada liputan lapangan.

Kusisir rambut, lalu mengucir lagi. Aku menyemprotkan parfum. Tak berselang lama, ada pesan masuk.

Ilalang: gue udah di depan.

Buru, buru, aku memasukkan barang-barangku ke ransel dan berlari keluar.

Di pinggir trotoar, Ilalang sudah menunggu. Wajahnya ditekuk masam. Ia bersendang dagu dengan siku menumpu helm. Ketika melihatku, ia mendesah.

"Lama amat," protesnya seraya mengangsurkan helm.

"Ih, gue baru kelar beres-beres meja."

Ia mendadak mengamatiku saksama, sehingga membuatku berkedip cepat.

"Lo...," katanya, "Dandan buat gue?"

Rasanya seakan ada kepalan tinju yang menghantam rusukku. Aku mengenakan helm secepatnya.

"Idih, ngapain dandan buat lo!"

"Nggak biasanya kalau gue jemput pake dandan dulu." Ia mengendus. "Mana wangi lagi."

"Gue emang udah cantik dari lahir, nggak perlu dandan!"

Hilih.

Ilalang tertawa. Ia memintaku segera naik sebelum kena sembur sopir angkutan umum.

Sebelum aku naik, ia mencondongkan badan dan mengulurkan tangan. Memasangkan retention system yang lupa belum kukaitkan.

"Buruan," ujarnya, membuatku mengedip dan tersadar dari ketercengangan sesaat.

Saat menaiki motornya, aku refleks meremas jaketnya. Tidak seperti biasa yang senang sekali mengebut, ia melajukan motor pelan, melewati jalan lain untuk menghindari macet.

"Lo mau bawa gue ke mana?"

"Ke KUA."

Aku spontan memukul pundaknya, membuat ia tertawa. "Gue serius, Bambang!"

"Iya iya, Sayang."

"Nggak usah panggil sayang."

"Iya, Darling."

"Jijik!"

Tawanya makin keras. "Gue mau lo nemenin gue."

"Ngapain?"

"Adek tiri gue datang dari London. Dia pengen ketemu gue."

"Adik tiri?" Nadaku naik setengah oktaf.

"Anak bini bokap gue dari laki dia sebelumnya. Elah, panjang amat kayak sinema hidayah."

Aku terkekeh. "Kok lo minta ditemenin?"

"Hesh, udah nggak usah banyak omong. Gue dari tadi udah bete nih."

"Lah, kalau nggak mau ketemu tinggal bilang."

"Ck. Lo nggak kenal dia sih." Kecepatan motornya bertambah. "Dia resek dan bakal ngelakuin apa aja buat dapetin keinginan dia. Haesh. Bikin kesel aja. Ngapain sih dia ke sini?" Ia mengomel sepanjang jalan dan kudengar saja tanpa kata. Aku tertawa menanggapinya.

Ya, setidaknya kan aku tidak sia-sia berdandan.

*

Kami berhenti di salah satu kafe. Aku mengecek ponsel dan membuka pesan saat Ilalang mencari adik tirinya. Grup reporter dan redaktur GMI sedang rama. Sebagian membahas pengangkatan Mas Danu bersama anak-anak yang tidak ikut ke acara makan-makan. Namaku disebut berkali-kali karena tidak hadir.

Brenda: payah emang. Filo nggak asik.

Tama: Filo sibuk kali.

Nando: Ke mana lo? @Filosofia

Meri: berisik

Tama: hayolo dimarahin Nyonya Penred. Eh iya, kan sebentar lagi ada yang mau lamaran hhhh.

Danuraga: Tam

Brenda: eh iya gue baru inget. Danu sama Meri kan minggu depan lamaran.

Danuraga: haduh nggak usah dibahas di sini woi.

Litha: 😂😂😂

Tama: biar grup rame.

Bibirku mengerucut kesal. Hatiku panas membara. Aku juga tak mau dianggap sebagai jomlo ngenes yang meratapi nasib karena gebetan mau bertunangan.

"Aku lagi nemenin Iota." Aku membaca ketikanku sendiri yang menggebu-gebu. Lalu, kumasukkan ponsel, dengan jantung berdebar saking kesalnya.

Huft. Kenapa juga aku marah.

Aku menemukan Ilalang yang duduk di depan seorang gadis bule berambut brunette dengan wajah setengah Asia. Sepertinya, ibu tiri Ilalang sebelum menikah dengan ayahnya juga menikahi orang Asia. Aduh, ribet sekali sih keluarga ini. Benar-benar seperti judul sinema hidayah di salah satu stasiun televisi.

"Hi!" seru cewek itu, menyambutku. Ia lalu menatap Ilalang. "Is she your girlfriend?"

"No!" Aku berseru cepat.

"Ah, nggak usah malu. Aku tahu kamu pasti pacar kakak aku," katanya lagi dengan aksen bahasa Indonesia yang aneh.

"Udah iyain aja," kata Ilalang sambil menyeretku untuk duduk.

"Tapi, gue kan bukan pacar lo ih!" balasku. "Kenapa sih semua orang nganggep gue pacar lo. Lo kalau ngebet pengen pacaran sama gue ngomong aja." Mataku memelotot.

"Guys, aku di sini bukan jadi obat nyamuk ya."

"Eh iya lupa, ini adek gue." Ilalang sengaja membanting topik. "Namanya Cassiopeia."

"Ah, just call me Key." Key tersenyum ramah.

"Wah, kayak nama fandom boyband Korea."

"Excuse me?"

Ilalang menyela, "Udah nggak usah didengerin. Nih orang emang kadang ucapannya nggak bisa dipahami. Makhluk planet lain soalnya."

Aku memberi gestur hendak memukul.

Kalau melihat interaksi keduanya, mereka tidak seperti kakak-adik tiri yang saling membenci. Justru, Ilalang tampak akrab dan nyaman-nyaman saja berada dekat cewek itu. Ia seakan senang menyambut kedatangan Key.

Ketidaktahuanku pada fakta bahwa ia memiliki adik di Inggris membuat hatiku agak mengganjal. Sepertinya, banyak sekali hal yang masih ia sembunyikan.

Dahiku mengernyit menyadari sejak tadi ponselku berkedip-kedip. Selama mendengar Key berbicara dengan Ilalang membahas aktivitasnya, aku mengambil kesempatan mengecek chat di grup yang menumpuk sampai ratusan.

Sebelah alisku terangkat bingung membaca pesan mereka.

Tama: parah emang.

Brenda: Filooo astaga!

Nando: lo bercanda?

Litha: eh?? 😆😆

Aisha: Astaghfirullah. Ya Allah Filo aku nggak nyangka.

Meri: -_-

APAAN SIH???

Lantaran penasaran, aku kembali lagi mencari chat-ku tadi.

Begitu membacanya, rasanya aku baru saja tersedak biji ketumbar.

Filosofia: Aku lagi nenenin Iota.

*****

Heran akutu Fil sama kebodohanmu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro