Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pop Up

"Sial." Aku mengumpat pelan.

Sekarang, aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Berpapasan dengan si berengsek yang hanya diam mematung, ikut mengamatiku.

SAPA NGGAK NIH?

Bibirku mencebik.

EH SIALAN. DIA MENDEKAT DONG!

Aku meneguk ludah. Rasanya, kakiku seakan dibelenggu seseorang, membuatku tak dapat bergerak. Kubiarkan dirinya mendekatiku.

"Hai," sapanya.

SETELAH MENINGGALKANKU TANPA KATA, DIA BILANG 'HAI'?! Ah... ingin rasa kulayangkan bogeman mentahku.

Tepat sekali, Sita datang menyelamatkanku dari Ilalang. Ia berdiri di sebelahku, memandang Ilalang dengan wajah penuh tanya. Mulutnya terbuka sedikit. Sita menunjuk Ilalang, seolah mengenalinya.

"Wah, wah, kayaknya gue tahu lo. Iota Rho, ya? Wah!" Sita bertepuk tangan girang.

"Kakak kenal?" bisikku.

"Anda tahu saya?" Ilalang menunjuk dirinya sendiri. "Ah... iya. Siapa sih yang nggak tahu gue."

HAESH, tetap saja rasa percaya dirinya yang keterlaluan tak hilang.

Sita tertawa. "Aku tahu kamu dari Nayanika." Senyum Sita terbentuk sempurna di bibir. Sedangkan, aku membulatkan mata. Kenapa malah bawa-bawa Nayanika??

Duh, bisakah aku kabur? Kenapa malah ada celah mengobrol seperti ini, sih?

"Anda kenal Naya?"

"Ya iya, dong. Naya kan sepupu tunanganku."

Ya Tuhan. Aku baru menyadari dunia begitu sempit. Teman fangirling-ku ternyata adalah tunangan dari sepupunya mantan pacar mantan pacarku. Ribet, bangsat.

"Kak, kita duluan, yuk. Aku capek," kataku.

"Oh... padahal, aku pengen ngajak dia ngobrol juga." Bibir Sita mengerucut bagai kuncup mawar merah.

"Kebetulan saya juga ada urusan. Kapan-kapan kita bisa ngobrol lagi. Mau saya kasih nomor saya?" Ilalang menyambar.

HEH, YANTO. KAU PERGI TANPA MEMBERIKAN NOMOR BARU KAU. SEKARANG DENGAN GAMPANGNYA KAU MEMBERIKAN NOMOR KAU PADA ORANG YANG BARU KAU KENAL?

Aku memandang Ilalang dengan sepasang mata menusuk. Ingin sekali kutoyor kepalanya. Pertama, karena membuatku seperti badut di hari wisudanya. Kedua, hilang tanpa kabar! Andai saja menyantet orang tidak dosa, sudah pasti kutusuk-tusuk boneka santetnya sekarang juga.

Pandangan Ilalang berpindah ke arahku. Ia menyelipkan senyum simpul, sebelum melenggang pergi begitu mendengar suara salah seorang bodyguard ayahnya.

Aku tertawa sarkastis. Cih.

"Kamu kenal dia?" tanya Sita.

"Aku justru nggak mau kenal dia lagi." Dengan kesal, kuseret koperku, melanjutkan langkah tergesa-gesa diikuti Sita.

*

"APA MAKSUDNYA SENYUM-SENYUM DOANG KAYAK ORANG BEGO TADI HAH?" Aku berteriak di depan cermin kamar mandi sambil menggenggam sikat gigi. "Heh, kalau lo pikir gue bakal menye-menye di depan lo, lo salah besar. Cih!" Aku melanjutkan gosok gigi.

Selepas berkumur, aku kembali menatap cermin.

"Gue udah punya pacar sekarang. Kenapa lo? Nggak terima gue balikan sama Ezra? Ngapain lo muncul depan muka gue, hah??"

Ah, Fil, Fil. Bukannya tadi lo ngikutin Om Ian, berharap bakal nemu titik terang keberadaan Ilalang? Bayangan di cerminku seakan mengajakku bicara.

"Tutup mulut lo, ya. Kenapa lo nggak di pihak gue, sih?" Aku membentak bayanganku sendiri.

Bayanganku mendecak lidah. Bilang aja kalau lo kangen ama dia dan butuh penjelasan. Mumpung dia di sini, udah, tanyain sekalian. Sambil menyelam minum air. Sambil nonton Oppa, tanyain noh bocah.

"GUE NGGAK KANGEN YA, BADRUN!"

"Filo, lo kenapa sih ngomong sendiri?" Bayangan Sita muncul di cermin.

Aku menelan ludah menoleh ke belakang. Sita memandangku seakan menyadari kesintinganku.

"Ah... nggak apa, Kak. Biar nggak tegang aja. Kan kita mau ngelihat Hoseok Baepsae depan mata." Aku tertawa keras. Sudah seperti orang gila.

"Yeh. Udah belum? Gue mau mandi, nih."

"Udah, Kak."

Aku meletakkan sikat gigi ke gelas, kemudian memberikan kesempatan pada Sita untuk menggunakan kamar mandi. Menghampiri ranjang, aku menghela napas panjang. Kuambil ponsel di atas nakas, lalu mengecek notifikasi. Ada banyak chat dari Ezra. Buru-buru aku membalasnya sebelum ia khawatir.

Sambil duduk membalas pesannya, aku menyempatkan diri melamun. Pikiranku dipenuhi dengan pertanyaan. Perasaanku kacau. Aku memberantakkan rambut setengah keringku. Kesal sekali.

Aku berbaring di ranjang, keasyikan chatting dengan Ezra dan tak sadar Sita sudah keluar sambil menggosok rambut dengan handuk.

"Eh, Fil."

"Iya, Kak?" Perhatianku tersita.

"Gue kemarin lihat ada orang yang ninggalin komentar di Instagram lo." Mata Sita memicing. "Namanya Dierja. Lo kenal?"

Aku mengangguk. "Hm... bisa dibilang kenal. Waktu itu aku masuk ke apartemen dia. Pas ada kasus pembunuhan deket unit dia."

"Ah...."

"Emang kenapa, Kak?"

Sita tersenyum dan menggeleng. "Penasaran."

"Mending jangan dikepoin, Kak. Dia mah fakboi."

"Oh, ya?" Sita terkekeh. "Masa?"

"Hm... saudari kembar dia suka bilang begitu, sih. Tapi, orangnya baik." Baik ke semua cewek lebih tepatnya.

"Saudari kembar?" Sita terdengar kaget. "Dia punya kembaran?"

"Hm. Namanya Nuansa. Nuansa itu...." Aku memikirkan dulu kalimat yang tepat. "Istri dokter pribadiku."

"Oh...."

Well, aku tak pernah mengatakan pada Sita kalau aku punya fobia darah orang lain.

*

Sesuai rencana, kami pergi ke Gangnam sekadar mencari House of BTS. Tadinya sih, aku tak mau mengantre. Aku paling tak suka panas-panasan mengantre. Namun, melihat antusias dan semangat Sita, mau tak mau aku mengikutinya.

Nah, kan, sudah kubilang. Antreannya bakal panjang! Meskipun udaranya sejuk karena memasuki musim gugur, tetap saja aku tak mau capek mengantre. Matahari juga menyengat. Aku mengadu pada Ezra.

Me: Panas, Zra :(

Ezra: Mau aku teleponin Kepala Staf, nggak? Aku cari informasinya dulu.

Me: Ehehe nggak usah deh. Aku cuma ngadu kok wkwk.

Ezra: Lagi aku cariin informasinya.

"Haesh." Aku mendesah. Tersenyum lebar. Ya... tidak masalah, sih. Tapi, itukan jahat. Penggemar lain ikut mengantre dengan tertib sedangkan aku berusaha mencari cara untuk mendapatkan "jalan mulus". Buru-buru aku mengabari Ezra.

Me: Nggak usah deh, Zra. Aku mau ikut antre aja. Penggemar lain sabar antre dari tadi. Jadi, nggak enak kalau nyelonong masuk.

Ezra: Ya ampun... tapi kan aku nggak mau pacarku pingsan karena kelelahan :)

Me: Idiiih

"Miss Filosofia?"

Mendengar namaku dipanggil, aku menoleh ke belakang. Seorang staf mengajakku ngobrol dengan bahasa Inggris.

"Please, come with me. And your friend too."

"Hah?" Aku menatapnya kaget. "Me?" Sita yang mendengar pun ikutan tak mengerti. Ia mengajak bicara staf tersebut dalam bahasa Korea. Wah... aku tak tahu ia sefasih itu.

"Ddaebak." Sita mengatupkan tangan di mulut. Ia menatapku. "Eh, kita dikasih akses VIP."

"Akses VIP?" Aku masih bingung. Ulah Ezra, kah? Tapi, aku kan sudah bilang tak perlu. Lagi pula, waktunya tidak mungkin secepat ini.

Tanpa basa-basi, Sita menggandengku, mengatakan tak apa bila mengikuti sang staf untuk masuk ke jalur VIP. Para penggemar yang melihat kami saling berbisik. Ada yang menatap tak suka, ada yang bingung, ada juga yang iri. Aku tak berani menatap mereka.

Kami diantar masuk ke pintu VIP. Seorang staf perempuan mengalungkan rangkaian bunga padaku dan Sita. Sita mengucapkan terima kasih dan bertepuk tangan, sementara aku masih bingung.

"Kak, kok kita bisa dapat akses VIP?" tanyaku.

"Tadi stafnya bilang, tadi pagi ada yang udah telepon Kepala Staf pop up store ini. Katanya, disuruh masukin rombongan Filosofia." Sita tersenyum senang. "Udahlah... kapan lagi kita dijadiin prioritas begini."

"Kakak tanyain kek siapa yang nelepon."

Mendesah panjang, Sita menuruti permintaanku. Ia bertanya pada salah seorang staf berjubah pink itu. Siapa kiranya yang memasukkan kami ke daftar VIP? Staf perempuan yang memberi rangkaian bunga menjawab pertanyaan Sita.

"Mereka bilang, orangnya di sini."

"Hah?"

Keherananku dipotong begitu saja ketika para staf mengajak kami segera berkeliling sebelum waktu habis. Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Sita sudah heboh berfoto-foto di tempat-tempat tertentu. Sebelum ke sini, ia sudah mengatakan untuk tak membeli apa pun. Ia hanya ingin mengambil foto. Kami bergantian mengambil foto, sebelum naik ke atas.

Selesai menjelajahi, kami naik ke bagian atap di lantai 3. Zona Army Bomb. Pemandangan Seoul terlihat indah dari atap. Aku sadar, Sita tak ada di dekatku. Ketika berputar, aku menemukan ia sedang mengobrol dengan salah seorang penggemar di salah satu Army Bomb berukuran raksasa itu. Aku memutar badan, mengambil gambar pemandangan kota Seoul menggunakan kamera ponsel.

"Bagus, ya?"

Aku kaget bukan kepalang mendengar suara seseorang di sebelah kiriku, spontan membuatku berjengit. Ilalang sudah berdiri sambil mengamati pemandangan.

"Wah...." Lanjutnya.

Aku menggemelatukkan gigi. Sial. Dia yang menelepon Kepala Staf?

"Ini ulah lo, ya?" tanyaku, tanpa basa-basi. "Buat apa, sih?"

Ilalang memandang staf yang berjaga. "Gue sengaja minta waktu khusus buat lo. Biar bisa ngobrol sama gue."

"Harus banget di sini?"

"Emang lo mau ngobrol di tempat lain?" Si keparat tersenyum miring. "Gue yakin nggak."

"Manipulatif." Aku mengusap rambut ke belakang. "You're piece of shit."

"I know."

Sudah. Itu saja?"

"I'm sorry," tambahnya. Pada akhirnya, ya. Ke mana ucapan maaf itu, heh? Kenapa baru sekarang keluar? Saat aku sudah amat sangat membencimu? "Lo pasti benci banget sama gue."

ITU TAHU. TAI LO EMANG.

Aku tak membalas.

"Kebetulan banget ya, kita ketemu di sini. Kayaknya bener ucapan gue. Lo itu takdir gue."

HILIH KINTIL.

Aku memandangnya. Ingin sekali kumaki-maki ia di depan mata.

"Bokap gue nanem saham juga di perusahaan agensi grup yang lo suka. Makanya, gue punya akses ke Kepala Staf."

"Sengaja? Karena gue suka BTS, gitu?"

"Nggak usah GR." Ia mendecak lidah. "Orang bodoh mana sih yang nggak ngambil kesempatan emas begini buat naruh saham di perusahaan yang lagi berjaya? Gue juga paham kali mainan bisnis. Ngelihat lo di Incheon tadi pagi bikin gue berpikir kalau lo bakal dateng ke sini. Bener, kan?"

Aku memutar bola mata ke atas. "Kayaknya waktunya abis. Gue mau balik."

"Belum." Ia menahan tanganku.

"Gue minta maaf," lagi-lagi ia bilang begitu. "Gue nggak punya waktu. Gue nggak punya kesempatan. Itu emang bukan excuse yang tepat. Gue tahu. At least, seharusnya gue bilang jujur ke lo." Bibirnya mengatup rapat. Ia tampak menimbang-nimbang untuk mengatakannya atau tidak. "Gue pengen ngobrol lagi sama lo."

"Nggak perlu." Aku memutar badan, berlalu pergi.

"Filosofia," panggilnya.

"Buat apa?" nadaku naik setengah oktaf. Praktis membuat pengunjung yang baru masuk menatapku.

"To win you back."

Sebelah alisku terangkat. Aku tertawa. "Win me back? Talk to my ass."

Kemudian berlari menjauhinya. Aku menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Sita ternyata sudah menungguku di lantai 1. Kudorong pintu yang kugunakan untuk masuk tadi. Aku menghambur ke luar, mengabaikan orang-orang yang menatapku.

Aku berjalan secepat mungkin, menjauhi tempat itu. Orang-orang di sekitarku sempat melayangkan pandangan. Ya, benar saja aku dilihati orang-orang di keramaian ini. Sebab, aku menangis tersedu-sedu sambil melangkah sangat cepat, hampir berlari.

"Filo!" Dari belakang, Sita berteriak mengejarku. Ia berhasil menahanku untuk berhenti.

Di pertigaan jalan, ia menahan bahuku, membuatku berhenti. Aku menunduk. Bahuku bergetar.

"Hey." Sita menyentuh kedua pundakku. Ia menundukkan kepala, berusaha melihat wajahku. "You're not okay."

"Sorry, Kak," bisikku di tengah isakan.

"It's okay." Suaranya begitu lembut. Ia memelukku.

Aku membenamkan wajahku pada tangan yang melingkar di punggung Sita agar leluasa menangis.

Lo benar-benar jahat, Ilalang.

*****

HEY HEY HEY *pake nadanya Itzy*

Selamat liburan semuanya! Nih, biar dirimu tidak bosan, aku update cerita :3

Jangan lupa vote ya!

BTW beberapa bab sengaja kumasukkan ke DRAFT. Kalau mau baca FULL, bisa di aplikasi/situs Dreame ya. Atau kalau mau buku fisiknya, tunggu tahun depan!

YAAAAY

Aku bakal nerbitin ini dalam bentuk indie/self publish. Jadi jangan tanya lagi GINCU 2 bakal ada di toko buku apa ga

Kalau GINCU 1 masih ada di toko buku ya! Ayo buruan diambil sebelum nggak ada T_T

Adekku lagi bersih-bersih selama liburan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro