Panggil Namaku
Ternyata benar. Sepertinya, aku masih terlalu menjadi budak cinta. Kepalaku pening memikirkan banyak pilihan.
Embusan napasku terasa berat. Pandangan mataku melekat pada sosok Ezra yang sedang mengantre membeli Baskin-Robbins. Kedua tanganku menumpu dagu.
Sejak pulang dari Seoul, aku berusaha meneguhkan hati dan fokus pada pilihanku saat ini. Saat mengantre, Ezra sempat memandangku dan melambaikan tangan. Bibirnya bergerak membentuk kalimat: sabar ya. Aku tersenyum dan mengangguk.
Tak berselang lama, ia menyodorkan satu cup es krim rasa permen karet untukku, sedangkan ia memilih rasa kopi.
"Seru nggak kemarin konsernya?" tanyanya.
"Hm." Aku mengangguk.
"Soal ucapanku waktu itu... aku sebenarnya nggak mau maksa kamu. Itu baru keinginan mamaku. Kan mamaku sudah kenal sama kamu."
"Ah... iya." Aku menggaruk kepala. Sejujurnya, aku belum siap. Pernikahan bukan soal main-main. Apalagi, semakin banyak pertimbangan yang kulakukan saat ini. Bibirku mencebik. Bukan tak maksud menunda, tapi sumpah, hatiku berkata aku belum siap.
Seolah ada saja duri yang menusuk tak terperikan.
"Kamu belum siap?" tanya Ezra. Senyum tersungging manis di bibirnya. "Aku nggak maksa. Kamu bisa pikir-pikir dulu." Ia menyendok es krim ke mulutnya.
Aku menggigit bibir. Kuselipkan rambut ke bakang telinga. Sepertinya, aku butuh merenung dan berpikir cukup lama untuk mengambil keputusan.
*
"Gimana? Suka nggak?" Tante Nana menunjukkan apartemen baru di gedung berbeda. Kami sepakat memilih apartemen lain untuk kutinggali dengan alasan aku ingin terlepas dari bayang-bayang ketakutan, sekaligus hidup mandiri lagi.
Jika aku terus-menerus menjadi beban Tante Nana, aku merasa tak enak hati. Aku ingin kehidupanku normal seperti waktu itu.
"Bagus, Tan. Lebih luas ya daripada yang sebelumnya."
Ukuran apartemen ini dua kali lipat lebih besar. Jika sebelumnya ukuran apartemenku sebesar studio saja, kali ini aku punya dua kamar luas, dapur yang terpisah, dan ruang menonton tv.
"Di sini, Tante punya banyak teman. Nanti Tante minta juga buat jagain kamu."
Senyumku tersungging. Aku menunjukkan ibu jari.
Aku diminta Tante untuk lebih mengenali tempat baruku. Sementara, ia harus pergi untuk menjemput si kembar di tempat kursus musik. Selama beberapa saat, aku mengamati apartemen yang masih berbau cat baru. Sudah ada banyak furnitur yang ditambahkan. Dapur dan kamar mandi pun siap pakai.
Aku membuka kulkas. Isinya masih sedikit. Wah... mendadak aku jadi pengen bikin sesuatu. Terlebih, gerimis di luar membangunkan rasa lapar.
Aku melompat ke ranjang dan mengirim pesan pada Ezra.
Me: Zra, main ke apart baruku dong. Bawain bahan masakan.
Ezra: kamu udah pindah?
Me: belum. Ini baru kenalan sama tempatnya wkwk.
Ezra: ya sudah. Aku coba ke sana ya :) mau belanja bareng atau aku aja?
Me: aku mager :(
Ezra: ok. Tunggu ya. Tulis aja semua yg pengen kamu beli.
Me: uthu uthu. Perhatian banget sih pacar aku.
Ezra: yang penting kamu seneng udah cukup buatku.
Aku terkekeh. Gombal mukiyo.
Sambil menunggu Ezra, aku membereskan apartemen itu. Membersihkan lantai yang masih berdebu, menyiapkan alat-alat dapur, dan... ah. Sepertinya aku perlu menambah minuman. Aku meminta Ezra membawakan minuman kesukaanku.
Ezra sudah bergegas ke supermarket untuk belanja. Selama itu, aku memantaunya dari panggilan video.
Selang beberapa belas menit, apartemenku berbunyi. Dari celah pengintip, aku melihat Ezra berdiri di depan pintu. Kubuka pintu dan menyambutnya dengan senyum.
"Yay! Makasih loh udah mau kurepotin." Aku membantunya membawa kantong belanjaan yang banyak.
"Udah kebiasaan."
Aku tertawa. Kami mulai menyiapkan panci, air, dan lainnya. Sementara aku mencuci sayuran, Ezra memotong wortel yang sudah bersih.
"Kamu kan nggak biasa begini, Zra."
"Aku pengen belajar."
"Uhh...." Tapi, ada bagusnya sih ia mau belajar memasak, biar aku tak kerepotan dan kita saling berbagi.
"Ouch." Aku mendengar pekik kesakitan Ezra.
Begitu menoleh ke arahnya, mataku menangkap darah yang mengucur dari telunjuknya. Spontan, kepalaku keliyengan. Melihatku susah menjaga keseimbangan, Ezra berniat menahan badanku, tapi baru sadar bahwa penyebab badanku sempoyongan adalah dirinya.
"Maaf." Aku buru-buru berpaling dan duduk di kursi dapur. Menutup wajah. Kudengar suara percik air. Ezra sepertinya membersihkan darah yang mengalir segar tadi dengan keran air. "A-aku nggak punya kotak P3K." Nada suaraku bergetar. Aku benar-benar ketakutan.
"Nggak apa. Santai aja. Lukanya nggak dalam. Syukurlah." Suara Ezra terdengar santai. "Aku yang harusnya minta maaf bikin kamu ke-trigger."
Aku menggeleng. Ezra sudah duduk di depanku. Kuintip ia dari balik telapak tangan.
"Aku ke mini market di bawah ya."
"Maaf...." Sekali lagi aku berbisik. Ia hanya tersenyum, sebelum melenggang pergi ke mini market di gedung apartemen.
Begitu pintu ditutup, aku mengembuskan napas panjang. Aku benar-benar sedih. Kupikir, aku sudah berdamai dengan keadaanku. Tahu begini, aku akan menghubungi Dokter Sabda lagi. Kupandang pisau yang masih tergeletak di dekat talenan. Aku mengambil air putih sekadar membuat diriku tenang.
*
Gerimis masih mengguyur Jakarta. Dari balik kaca jendela yang tirainya sengaja kubuka agar bisa kuamati pemandangan gedung-gedung tinggi, titik-titik air menempel di kaca. Bunyinya sangat merdu. Aku memutuskan bermalam di apartemen baru ini. Pun, Ezra yang kini memelukku dari belakang.
Aku memandang tangannya yang melingkar di badanku. Jari telunjuknya sudah dikasih plester. Aku memperhatikan jarinya.
Ponselku bergetar di dekat kepala. Aku meraihnya dan membaca notifikasi masuk. Nomor baru yang tak kusimpan.
Gue mikirin lo.
Si keparat berengsek Ilalang Rimba. Bodo amat! Aku tak membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata. Namun, suara petir di luar mengusikku. Membuat mataku terbuka.
Aku meraih ponselku lagi dan mengetik balasan.
Me: mampus aja sana.
Rasanya tidak enak kalau tidak memaki-maki dirinya. Aku melempar ponsel ke samping.
"Kenapa?" Suara Ezra membuatku praktis memutar badan.
"Orang iseng aja."
"Kalau ganggu blokir aja."
Bibirku terselip rapat. Aku mengangguk pelan. Ia memandangku dengan mata sedikit menyipit karena masih mengantuk.
"Ada yang ganggu pikiran kamu?"
Aku menggeleng, lalu memejamkan mata. Mendengar suara rintik hujan yang menbrak dinding kaca dan helaan napasnya yang lembut.
"Sop."
Mataku terbuka lagi mendengar suara itu. Bukan Ezra. Mataku bersepandang dengan mata lain yang. Seperti deja vu. Seakan hal ini pernah terjadi padaku.
"Lo mikirin gue juga, kan?"
Aku termangu. Ini seperti mimpi panjang yang tak mengizinkanku untuk bangun. Aku menatap mata itu lekat.
"Lo kangen gue?"
Ia—antara hadir sebagai imajinasi atau alam bawah sadarku—mengusap rambutku.
"Sebut nama gue."
Aku menggeleng.
"Lo lupa nama gue?"
Bibirku terkatup rapat. Bayangan bocah sialan itu justru semakin menjadi-jadi dan seolah nyata.
"Sebutkan," katanya lagi. Semakin menggelitik naluriku. "Nama yang selalu mengganggu pikiran lo."
Aku menggeleng. Napasku putus-putus. Bibirku yang tadinya ingin tebungkam pada akhirnya menyerah. Suaraku yang lirih perlahan keluar.
"Ilalang."
*****
BERHUBUNG PO KLANDESTIN BARU BERLANGSUNG, JADI GUE BUKA ORDER GINCU 2 AKHIR MARET YA BIAR GA KETETERAN!!!
BTW KALIAN UDAH TAHU BELOM KALAU GUE ADA RENCANA BIKIN SPIN OFF GINCU DUA PAKE SUDUT PANDANG ILALANG? BERHUBUNG GINCU ITU KONSISTEN PAKE SUDUT PANDANG CEWEK, JADI GUE BAKAL BIKIN SATU JUDUL BARU KHUSUS CERITANYA ILALANG DENGAN SUDUT PANDANG DIA YA!!!
Yang pasti, tunggu aja tanggal mainnya :) Yang pasti bakal lebih seru karena selama ini kalian pada penasaran sama sudut pandang dia uwuuu.
Kenalin ini pacar aku. Ga ada hubungannya ama cerita ini. Cuma mau kenalin ke kalian :) restui ya gaes
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro