Love Padlock
"WAH!!! GILA GILA GILA! Astaga, Namjooooon." Aku mendengar jeritan Sita yang asyik menonton fancam hasil konser baru saja.
Buset. Aku saja sudah mau teler, sedangkan ia masih punya energi untuk berteriak. JAM SATU MALAM PULA.
"YOU CALL ME! BAEPSAEEE! WOI ANJIR HIP THRUST-nya. Sengaja lo ya Namjoooon bikin jantung bini lo jumpalitan!!!"
Aku memutar badan, memandang Sita di ranjangnya yang duduk bersila di atas selimutnya yang sudah acak-acakan. Siapa yang sangka, seorang dosen Ilmu Filsafat bisa bertingkah seperti ini. Aku mendecak dalam hati. Jadi penasaran bagaimana kalau ia kepergok sedang fangirling di depan tunangannya. Mendengar ceritanya saja, aku sudah bisa menebak tanggapan tunangannya tak akan bagus.
"Kak, tidur. Katanya besok mau jalan-jalan?"
Sita menatapku. Masih dengan mata berbinar. "Gue nggak bisa move on." Ia terisak-isak. "Besok nonton lagi yuk. Sekalian lusanya, hari terakhir."
"Duit dari ngepet, ya?" Aku menggeleng-geleng.
"Emang lo nggak mau nonton lagi? Cepet amat move on-nya."
"Bukan masalah cepet enggaknya, Kak. Aku nggak ada duit buat beli tiket." Bola mataku berputar.
"Idih... minta pacar lo lah. Katanya crazy rich Surabayan?"
"Yeu, julukan dia doang."
"Dia nggak bakal dapat julukan begitu kalau nggak beneran crazy rich Surabayan, Filo."
Aku mendecak lidah. "Aku nggak suka minta duit ke pacar. Nanti repot kalau putus, bakal susah balikinnya. Kalau nggak dibalikin gengsi."
Mata Sita mengerjap-ngerjap. "Lo nggak ada niat serius sama cowok lo?"
Praktis saja, aku terdiam. Ah, tentu saja. Pernyataanku baru saja terlalu ambigu. "Aku cuma jaga-jaga."
"Aih...." Sita mendecak lidah. "By the way, cowok yang kemarin siapa, sih?" perempuan itu spontan bertepuk tangan satu kali dan terkekeh. "Kalau nggak mau cerita, nggak usah cerita. Tidur aja sana. Biarin aku fangirlingan." Tangannya mengibas di udara.
Aku mendesah panjang. Alih-alih menutup mata, aku malah menatap lurus. Namun, pikiranku melanglang buana.
"He was my puppy love."
Mendengar suara sengauku, Sita menghentikan kegiatan fangirlingnya. Ia menyetop video yang sedang diputar dan memandangku. Bersiap-siap mendengar ceritaku.
"And my first love," lanjutku. Bibirku mencebik. "Kita temenan sejak kecil karena sama-sama ikutan klub karate. Ya... kayak anak-anak kecil pada umumnya. Saling ejek, tapi masih saling membutuhkan satu sama lain. Saat dia keinget mamanya, aku selalu ada buat tenangin dia. Saat orang tuaku meninggal, dia juga berusaha ada buat tenangin aku. Aku pikir, apa yang aku rasakan ke dia cuma cinta-cintaan anak kecil yang bakal hilang seiring berjalannya waktu. Kita nggak pernah lagi ketemu. Aku nggak pernah cari tahu kabarnya. Sampai akhirnya, kita dipertemukan lagi di Jakarta." Kuhela napas panjang. Keadaan kamar begitu hening. Sita benar-benar mendengarkanku dengan baik. "Dan, dia bertingkah sama persis seperti dulu. Bedanya sekarang makin goblok aja."
Sita terkekeh. "Hm... jadi, kamu masih suka sama dia?"
"Nggak tahu. Di saat aku bener-bener serius sama dia, dianya malah pergi gitu aja."
"AH!" Tiba-tiba, Sita menepuk meja nakas keras. "Tuh kan! Dia juga begitu sama Nayanika! Gue baru keinget sama cerita si Naya."
"Jadi, aku kudu gimana, Kak?"
Sita mengusap dagu, berpikir sangat keras hingga dahinya berkerut. "Nih, ya. Gue kasih tahu. Gue pernah baca artikel nih. Ada lima tanda kalau lo masih sayang sama mantan lo. Pertama, lo masih mikirin dia, biarpun udah putus lama."
Putus apaan. Gue aja masih ambigu status gue apaan. Aku mengerucutkan bibir ke samping.
"Aku nggak pernah kayak gitu...." Saat mengucapkan itu, mendadak selenting ingatan menamparku. Seakan dengan sengaja memutar kejadian beberapa waktu lalu. Aku melihat bayanganku sendiri di pikiranku, sedang menatap ke luar jendela apartemen, menatap lampu-lampu kecil yang tampak di bawah. Lagu-lagu sedih tanpa sengaja terputar dari Daily Mix Spotify di laptop. Lalu, tanpa sadar, aku justru menangis sesenggukan dan menghentikannya lima menit kemudian karena merasa bodoh.
"Mungkin," bisikku.
"Yang kedua," Sita melanjutkan. "Orang sekitar lo bosen karena setiap saat lo cerita soal dia mulu."
Mendengar kalimat itu, aku spontan terduduk dan berseru, "Aku nggak per—" Lalu, ingatan di kepalaku terputar lagi. Yang secara tak sadar mengomel-ngomel membawa-bawa si berengsek itu di depan kawan-kawan redaksi. Aku menghela napas panjang.
Dosaku tentang ia banyak juga.
"Ketiga, lo udah punya pacar, tapi kadang masih mikirin dia. Keempat, saat lo kesel, lo malah maki-maki dia. Dan, terakhir, kamu ngerasa ada yang hilang, meskipun berusaha ngelupain dia."
Bibirku makin mencebik. Aku memandang Sita yang menatapku kasihan.
"Jadi, dari kelima poin, ada berapa?" tanyanya.
Mengembuskan napas panjang, aku menjawab lirih. "Semuanya."
*
Belum-belum, aku sudah ngos-ngosan. Sementara itu, Sita tampak masih segar bugar sambil mengambil foto pemandangan di sekitar Namsan Tower dengan mirrorless. Kupandang keadaan sekitar yang ramai dengan pengunjung. Padahal sudah menunjuk angka delapan. Angin dingin yang berembus tampaknya tak menyurutkan semangat mereka.
"Kak, nggak capek?"
Sita mengembuskan napas panjang. "Untung gue nggak ngajak Egi. Kalau dia ikutan pasti minta gue buat masang gembok cinta. Ew." Perempuan kitu mengernyitkan dahi, menganggap kegiatan itu sebagai sesuatu yang cringey. Ia memandangku. "Ayo, semangat." Ia melanjutkan perjalanan sambil merekam menggunakan mirrorless.
Aku menundukkan badan dan mengatur napas, sebelum melanjutkan langkah. Sialnya, aku tersadar sudah terpisah dari Sita. Di antara lautan manusia, aku celingukan mencari keberadaannya. Kukeluarkan ponsel untuk menghubunginya. Namun, ia tak merespons. Aku mengembuskan napas.
Kubuka Instagram dan merekam keadaan di sekitarku. Saat mengunggahnya, aku mengutip akun Sita.
Filosofia.g: kepisah sama @sitadanurdara !! Kak! Takut nyasar hiks
Aku malah melangkahkan kakiku tak tahu ke mana. Yang penting jalan saja. Mengikuti orang-orang di depanku. Saat mereka naik, aku ikutan naik karena kepo. Ah... yang pasti, Sita tak akan ke tempat tujuanku ini. Ia tak suka sesuatu yang cringey, kan? Seharusnya aku tidak datang ke sini, tapi malah berhenti di depan barisan gembok yang dikaitkan di pagar. Aku tertawa. Kalau dipikir memang cringey, sih.
Kupandang barisan gembok cinta itu dan membaca beberapa tulisan. Karena aku tak paham hangul, aku hanya membaca yang menggunakan alfabet Latin. Aku mengambil gambar pemandangan di sekitar pegunungan Namsan. Angin yang cukup dingin membuatku sedikit bergidik. Aku merapatkan mantel dan menyembunyikan dagu ke syal. Belum memasuki musim dingin, tapi udara malam sudah seperti ini. Kulitku kan kulit tropis. Mana mungkin bisa bertahan dengan suhu sedingin ini.
Ponselku berbunyi tanda chat masuk.
Sita: lo di mana?
Filosofia: di love padlocks, kak. Udah di atas nih. Kakak di mana?
Sita: jyaaah. Gue udah turun woi. Gue kira lo nggak mau naik.
Filosofia: aku turun nih ya?
Sita: bentar, gue naik aja deh. Tunggu sampe gue ke sana.
Malam semakin dingin.
Aku mengecek jam di ponsel. Sudah jam sembilan lebih, tapi Sita tak kunjung menampakkan diri. Aku sudah mengirim foto di sekitarku dan mengirim lokasi. Ia hanya membacanya. Mungkin, sudah di tengah jalan. Ah, sabar dulu, deh.
Kurasakan embusan angin yang menerbangkan beberapa helai rambut. Aku memejamkan mata. Telingaku mendengar suara orang-orang di sekitar, mengobrol dengan bahasa yang tak kumengerti.
"Ckck. Lo kan paling nggak betah dingin. Kuat amat berdiri di sini lama-lama."
Praktis, mataku terbuka lebar mendengar suara itu. Jantungku seperti disentak sesuatu. Aku memutar badan, melihat Ilalang sudah berdiri di hadapanku. Kedua tangannya menyusup ke saku mantel hitamnya,
"Kenapa?" tanyanya.
"Harusnya gue yang tanya begitu, bego." Aku mendesah kesal. "Ngapain lo di sini?"
"Gue lihat story lo."
Aku terkekeh. "Masa?"
"Nuansa aja bisa gue kejar sampe Lembang. Masa gue nggak bisa ngejar lo sampe Namsan Park."
BACOT BANGET YA JADI ORANG. GUE LAPORIN BAPAK LO NIH YA LANG. BIAR DIA TAHU KELAKUAN LO.
Aku mengembuskan napas panjang. Mengontrol agar tak menumpahkan teriakan-teriakan di kepalaku. Senyumku terkembang,
"Jadi, kenapa nyamperin gue ke sini?"
"Apa kabar?" tanyanya. "Gue belum sempat nanya itu."
JELEK. KABAR GUE JELEK!
"Baik. Lo sendiri? Pasti baik, dong. Ekspresi lo nggak ada sedih-sedihnya sama sekali."
"I'm not that happy." Ia mendekatiku hingga berdiri di sebelahku. Aku berjaga jarak, agak minggir ke samping. Melihat sikap defensifku, ia malah tertawa. "Lo kelihatan baik-baik aja."
"Iyalah. Gue udah bahagia sama Ezra."
"Maaf." Ia meminta maaf lagi. Aku hanya memutar bola mata. Memandang langit petang. "Gue nggak sempat jelasin."
"Ya udah. Gue kasih lo kesempatan buat jelasin."
"Abis itu?" tanyanya.
"Lo nggak usah muncul lagi di depan gue."
Ia hanya membalas dengan embusan napas panjang. "Adek gue di London."
Mendengar kata 'adek', aku langsung teringat Cassiopeia, cewek campuran bule Inggris itu. Yang bertemu denganku di taman sebelum hari wisuda itu.
"Dokter bilang, dia cuma bisa bertahan dalam waktu dekat ini," lanjut Ilalang yang membuatku menoleh. Kaget. Ia memandangku. "Kita pernah kan lihat dia kolaps? Sekarang keadaannya semakin buruk. Dan, tetep, yang disalahin gue. Akibatnya, dia mau ngehancurin peninggalan mama gue. Lo masih inget, kan? Resor mama gue di Bali. Dia mau jual dan ngehancurin tempat itu jadi tempat lain. Gue ngikutin kemauan bokap gue. Gue tinggalin mimpi gue di sini buat ngikutin kemauan dia selama ini. Demi ngejalani peran gue sebagai anak pertama dan mungkin nanti bakal satu-satunya. Seakan-akan nggak ada harapan lagi di keluarga gue. I gave up on everything."
Aku memandangnya cukup lama.
"Gue nggak bisa konsen. Mikirin lo mulu," katanya lagi. "Gue ngerasa bersalah. Nggak seharusnya lo nerima ini. Setelah urusan gue berakhir, gue berniat kembali ke Indonesia. Tapi... gue ngelihat lo udah punya orang lain yang bisa semudah itu bisa bikin lo seneng. Gue ngerasa nggak berguna karena nggak bisa nyenengin lo kayak Ezra."
Hening. Aku tak memberikan jawaban. Ucapannya mengaduk-aduk akal sehat dan emosiku.
"Filo," panggilnya. "You're my first and intend to be my last."
Tanganku yang kedinginan gemetaran. Aku meremas-remasnya. Tiba-tiba, ia meraih dan mengganggam kedua tanganku seakan ingin mengantarkan kehangatan. Lantas, memelukku. Badanku menghangat. Hatiku menghangat. Aku memejamkan mata. Air mataku tumpah. Selemah ini aku di hadapan keparat satu ini. Selang beberapa saat, aku mendorongnya menjauh dan mengumpulkan kesadaranku lagi.
"Udah. Cukup," kataku. "Nggak usah balik ke Indonesia. Kita selesaikan aja di sini." Aku tersenyum sumbang. "Gue mau buka buku baru. Dan yang pasti, tokohnya bukan lo."
Tanpa memberinya kesempatan bicara lagi, aku berbalik badan, melenggang pergi sambil menyusupkan kedua tangan ke saku menahan dingin. Aku melihat Sita yang sejak tadi menyandarkan punggung pada pagar sambil melipat tangan di depan dada. Sepertinya, ia berkongsi dengan Ilalang. Memintanya datang. Mungkin, agar aku memberikan waktu baginya untuk menjelaskan. Hatiku benar-benar kacau. Perasaanku seakan kebas. Untuk saat ini. Seperti kedua tanganku yang sejak tadi menahan dingin.
Bagiku, sudah selesai. Aku tak mau hatiku dibikin terombang-ambing seperti bahterah Nuh di atas banjir bandang. Setidaknya, aku tak lagi penasaran. Setidaknya, semua sudah jelas. Itu kan yang kumau selama ini? Ya sudah!
Aku sudah mengambil keputusan. Dan, ia tak akan bisa mengubah keputusan itu.
Langkahku terhenti saat mendengar bunyi chat masuk yang dikirim cukup banyak sejak tadi. Aku berhenti sekadar membuka dan membacanya.
Ezra: hey
Ezra: are you ok?
Ezra: aku khawatir soalnya kamu nggak bales. Ada apa di sana?
Ezra: semoga cuma kekhawatiran biasa. Kamu baik-baik aja, kan?
Ezra: btw, kapan pulang?
Aku terdiam membaca kalimat terakhirnya.
Ezra: mamaku tanya, kapan kita adakan pesta pertunangannya.
*****
Modyar kau bambang. Ditinggal lagi kau macam Nuansa. HAHAHAHAHAHA. Ibu Peri yang baik hati ini sungguh bahagia melihat karakter bernasib ngenes.
BTW, tinggal beberapa bab lagi kelar ya. Waktu itu banyak yang nanya, maksud gue di bab sebelumnya.
JADI GINI. KAN BEBERAPA BAB GINCU 2 AKU MASUKKAN DRAFT, MAKANYA LONCAT-LONCAT. NAH, KALIAN BISA AJA BACA DRAFT-DRAFT ITU DI APS DREAME GITU. ATAU KALAU MAU NUNGGU VERSI FULL CETAK, BISA DITUNGGU YA OPEN ORDERNYA SETELAH AKU OPEN ORDER KLANDESTIN AKHIR JANUARI INI.
KEMUNGKINAN AKU OPEN ORDER GINCU 2 FEBRUARI!!!
ADA YANG UDAH SIAP MAU BELI?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro