Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dazzling

Waktu itu hari begitu cerah. Kami sekeluarga berencana liburan ke Puncak. Mama dan Papa asyik mengobrol, bercanda tawa, dan mengikuti nyanyian di radio saat sebuah lagu kenangan ketika mereka masih pacaran diputar. Sesekali, mereka menoleh ke belakang dan menanyakan turnamen karateku. Juga, bertanya soal Ilalang.

"Aku bisa kok menang! Aku bisa bawa medali dan bikin master Rano bangga." Bibirku mengerucut. Sebab, orang-orang di klub karate selalu meremehkan kekuatanku hanya karena aku terlihat tak bertenaga karena terlalu kecil—atau lebih tepatnya, mungil.

"Itu baru anak Papa. Punya semangat yang besar."

"Teman kamu kok udah jarang main ke rumah?" tanya Mama.

"Biarin aja. Dia main juga ngerepotin dan bikin kesel."

"Hush... kok kamu jadi galak sama dia. Nggak boleh, Sayang." Mama menggelengkan kepala. Aku jadi galak karena kejadian beberapa waktu lalu saat secara ceplas-ceplos mengatakan suka pada Ilalang yang berbuah penolakan. "Sama Mama dia sopan loh. Terus, suka muji masakan Mama juga. Kan, Mama suka ada yang muji masakan Mama selain kamu dan Papa." Mama ingat kalau Ilalang pernah bercerita bahwa ia anak piatu.

"Halah, emang dasar nggak tahu diri aja numpang makan di rumah orang."

Papa terkekeh mendengar perkataanku yang terucap dengan nada jengkel. "Kamu nih kalau dia nggak pernah kelihatan aja nyariin. Pulang sekolah tanya-tanya Ilalang mampir apa nggak."

Mama dan Papa tahu, aku tidak punya banyak teman di sekolah. Aku hanya mengajak beberapa teman sekelas ke rumah kalau ada kerja kelompok. Sedangkan, Ilalang—bisa dikatakan—sering mampir sepulang sekolah atau datang saat libur.

Mereka lantas asyik mengobrol lagi, membicarakan sesuatu. Aku menoleh ke samping dan menemukan buku Peter Pan yang pernah kupinjam dari Ilalang. Aku memang sudah berencana membawa buku itu untuk kubaca selama berlibur ke Puncak—soalnya, Papa akan sibuk dengan temannya membicarakan soal perkebunan dan entah apa lagi yang menurutku sangat membosankan.

Kejadiannya begitu cepat. Aku tak tahu apa yang terjadi karena sekejap saja badanku seperti terpelanting di dalam, membentur sana-sini, membuatku mendekap buku itu seakan dengan begitu badanku tak lagi terombang-ambing. Mataku memejam rapat.

Telingaku berdenging. Samar-samar, aku mendengar seruan di sekitar. Aku tak bisa menggerakkan badanku, kecuali jari-jemari dan bola mata yang melirik ke jok depan. Orang tuaku berlumuran darah. Aku memandang tanganku. Sama-sama berlumur darah dengan serpihan beling.

Ada beberapa orang yang membuka paksa pintu mobil jok belakang. Badanku diangkat dan digendong. Aku bisa menggerakkan kepalaku sedikit. Orang tuaku masih di sana, terjepit, berusaha dikeluarkan orang-orang. Buku Peter Pan tergeletak di dekat jendela mobil yang telah ringsek dan terkena percikan darah. Buku itu terinjak orang-orang.

Mataku terbuka secara tiba-tiba. Aku memandang langit-langit selama beberapa saat, mengumpulkan kesadaran setelah mendapatkan potongan memori buruk itu lagi. Mengangkat badan, aku merasa pening. Setelah beberapa saat, barulah aku sadar sudah berada di dalam kamar Ilalang. Wah, sepertinya ia yang memindahkanku di sini. Bibirku melengkungkan senyum. Awal-awal simpul, lalu berubah semakin lebar hingga membuat pipiku panas.

Aduh, apaan, sih. Alay banget.

Baru kuingat keberadaan ponselku. Aku menoleh, mencari-cari benda itu. Karena tak menemukannya, maka aku ingin bertanya ke Ilalang. Di ruang makan, aku disambut dengan aroma masakan yang langsung membuat perutku berbunyi.

"Waaah, gue langsung laper."

Melihat kedatanganku, Ilalang tersenyum semringah. "Selamat pagi, Sopi. Eh, Filosofia."

Mataku menyipit. Nih bocah kesurupan dugong apa, ya? "Kenapa lo?"

"Silakan duduk." Ia menarik kursi dan mempersilakan aku duduk. "Makan yang banyak, ya." Lalu, ia mengambilkan sarapan untukku. Sepiring spageti carbonara.

Buset, kok gue malah merinding sih. Aku memandang Ilalang dengan mata membulat. Menelitinya dengan saksama. "Lo abis teler? Atau nyimeng?"

"Gue kan kasihan sama lo gara-gara kemarin. Udah, ayo makan."

"Hape gue mana?"

"Nggak usah main hape dulu. Makan dulu sana."

"Gue kan pengen baca pesan-pesan gue."

Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia menggeleng. "Seharusnya lo istirahat dari hape dulu. Nanti gue anterin ke Sabda deh buat... ah... iya lupa, dia kan cuti nikah." Ia menarik sudut bibir dan mendecak lidah. "Nanti gue anter ke temen dia yang lain buat mulihin kondisi psikis lo." Tak memberikan aku kesempatan bicara, ia memandangku. "Mau gue suapin?"

"Ogah!" Aku menggenggam sendok dan garpu, bersiap makan. "Lagian, lo kenapa, sih? Tumben amat perhatian."

"Lo nggak suka gue baikin?"

"Geli!"

Bibirnya mengatup rapat. Ia mengembuskan napas panjang, lalu menyeret piring sarapanku saat aku hendak menyendok suapan pertama. Aku menatapnya kaget. Belum sempat menyemburkan protes, ia menarik sendok dan garpu dari genggamanku.

"Woi, kok diambil?!"

"Bikin sarapan sendiri." Lantas, ia membawa piringku ke luar, meninggalkan aku yang terbengong-bengong.

*

Akhirnya, aku menemukan ponselku di atas meja di ruang televisi tempat kami nonton bersama semalam. Kan, banyak pesan yang masuk. Sebelah alisku terangkat saat melihat pesan dari Ezra. Yang sudah dibuka. Aku berdecak sekali.

Ezra: Kamu nggak apa?

Ezra: Aku khawatir kamu nggak ada kabar...

Ezra: Kamu di mana?

Ezra: Filosofia?

Mataku membulat membaca balasan-balasan yang sepertinya diketik Ilalang.

Filosofia: Nggak apa. Nggak usah khawatir.

Ezra: Aku udah hubungi orang Papaku buat ngawasin kamu, takut kalau ada apa-apa.

Filosofia: Hilih.

Ezra: Where's Filo?

Filosofia: Yah ketahuan.

Filosofia: Ngapa lo nyariin dia?

Ezra: Dia ada sama kamu?

Filosofia: Ada nih, tidur sebelah gue.

Ezra: Oh.

Ezra: Kalau dia udah bangun, tolong suruh balas pesanku ya :)

BOCAH SIALAH! Inilah akibatnya kalau meninggalkan sesuatu padanya. Aku tak mau Ezra salah paham. Segera kubalas pesannya agar ia tak berpikiran macam-macam.

Filosofia: Zraaa. Maaf ya kemaren aku nggak pegang hape T_T Aku baik-baik aja kok hehe. Besok lusa aku udah balik ke kantor.

Centang satu. Aku menunduk dan mengembuskan napas berat. Menoleh ke samping, aku mendapati Ilalang yang datang membawa semangkuk salad buah dan menatapku seakan-akan tak berbuat dosa.

"Eh, Bambang. Lo ngapain bales Ezra kayak gitu? Gue sleding pala lo, ya." Aku memberikan gestur meninju.

Tak memedulikan gerutuanku, ia duduk di atas bufet dan meletakkan mangkuk salad di sebelahnya. "Ambil baju lo yang bagus... ah... lo nggak mungkin punya baju bagus, sih. Gue anterin deh beli baju baru buat ke nikahan Sabda besok. Gue bayarin."

Aku saja baru sadar kalau besok adalah pesta pernikahan dokter Sabda dan Nuansa. Aku memandang Ilalang yang asyik makan salad.

"Gue...." Aku tersenyum menampakkan deretan gigi. "Pinjem duit buat ngamplopin mereka. Boleh?"

Ia menaikkan sudut bibir ke atas. "Gampang." Nadanya turun beberapa oktaf. "Entar juga itu duit balik lagi ke kita."

"Gimana gimana?" ulangku.

"Mandi dulu, Sopi. Bau lo kayak kambing qurban."

Aku mengerucutkan bibir ke depan. Sambil beranjak, aku membaca pesan-pesan di grup yang tertimbun mulai dari awal.

Meriana: POKOKNYA GUE NGGAK MAU DENGER LAGI HAL-HAL BULLSHIT KAYAK BEGINI. BIKIN PARNO! LO JUGA @Filosofia KENAPA SIH NGGAK MAU DENGERIN GUE?

Soffy: Sans, Mer ._.

MERIANA: GUE NGGAK MAU KALIAN KENAPA-NAPA. INI SEMUA DEMI KEBAIKAN KALIAN JUGA!!!1!111!!! KALAU MASIH ADA YANG NGELANJUTIN GUE NGGAK SEGAN-SEGAN MINTA ATASAN BUAT MECAT LO SEMUA!

Mas Tama: buset

"By the way, tadi pihak kepolisian ngehubungin."

Langkahku terhenti. Aku memutar badan. "Oh, ya? Mereka butuh kesaksian gue lagi?"

Ia menggeleng. "Kasusnya ditutup sama pihak keluarga. Katanya, mereka ikhlas."

Dahiku mengernyit. Mana ada ceritanya kasus pembunuhan yang langsung ditutup dengan alasan keluarganya sudah ikhlas! Kejadiannya baru kemarin, loh! Aku mencium bau tidak beres. Aku memandang kontak. Ada beberapa narasumber rahasia yang masih menunggu untuk kukorek soal kasus penyuapan itu. Masalahnya, aku tak mau lagi mengambil langkah gegabah. Belum lagi Meri yang mengomel panjang lebar di grup dengan capslock.

*

Kami ke mal mencari baju untuk pesta besok malam. Melihat baju-baju yang ditawarkan pramuniaga, aku menggaruk kepala yang tak gatal. Bajunya bagus-bagus, tapi aku tak suka. Selera fashion-ku tidak begini. Kalau ke pesta pernikahan, aku selalu memakai kebaya dengan jarik.

"Pindah ke toko batik aja, deh," kataku pada Ilalang.

"Kenapa?"

"Duh, gue nggak suka yang modelnya glamour."

"Banyak gaya."

"Bukan banyak gaya, tapi menyesuaikan kenyamanan!" Aku melipat tangan di depan dada. "Cowok mah tahu apa soal fashion." Aku menggerutu.

"Kakak mau yang modelnya kebaya modern, ya?" tanya si pramuniaga.

"Iya."

"Kami ada di bagian samping. Mari ikut saya."

Ilalang mengibaskan tangan menyuruhku ikut dan segera mengakhiri pencarian baju karena ia sudah bosan keliling-keliling. Pramuniaga itu membantuku memilih koleksi kebaya. Aku terperangah melihat baju-baju itu.

"Wah... ini keren banget." Aku sampai bingung memilihnya.

"Kakak suka warna apa?"

"Uhm... kalau buat baju beginian saya suka peach atau salem."

Pramuniaga itu mengambil baju-baju dengan model berbeda dalam warna peach serta salem. Aku semakin dibuat bingung. Kuserahkan saja sepenuhnya pada pramuniaga yang memilih kebaya yang sesuai dengan badanku. Mataku memelotot melihat salah satu model kebaya yang memperlihatkan belahan dada terlalu rendah.

Mantap.

"Kakak bagus pakai yang itu."

"Masalahnya, dada saya rata, Mbak."

Pramuniaga itu terkekeh.

"Lagian, dia pasti nggak suka lihat gue make beginian," aku menggumam sendiri, lantas mencoba yang lain.

Banyak yang kucoba sampai akhirnya aku merasa cocok dengan salah satu model brokat ber-layer ke belakang. Lalu, kupadupadankan dengan rok jarik berwarna cokelat tua.

"Yang ini bagus buat Mbak," kata si pramuniaga. Aku berputar-putar mengamati penampilanku sendiri. Warna peach kalem yang pas di kulitku.

"Oh, ya? Nggak lebay?"

"Acaranya di mana?"

"Di ballroom Grand Sahid Jaya."

"Kalau untuk acara di gedung kelas A, ini cocok."

Tadinya, aku ingin mengambil yang modelnya sederhana saja. Tapi, kalau dipikir-pikir, aku harus menyesuaikan tempat.

"Gaunnya ini berapa, Mbak?"

"Sepasang cuma duapuluh lima juta."

BUSET. CUMA. DUAPULUH LIMA JUTA DIBILANG CUMA.

Aku menggaruk-garuk kepala. "Anjir, mahal amat. Bisa dipake buat nonton konser BTS seminggu, nih." Kugigit bibir bawah.

"Gue bayarin."

Ah... aku baru ingat kalau dibayari.

"Ya udah, deh." Mumpung dibayari, yekan.

Pramuniaga itu membantuku merapikan gaun brokat tersebut. Aku agak merasa sesak. Bagian pinggangnya seperti diberi korset yang membuatku tercekik.

"Butik kami juga ada koleksi kebaya yang lebih mewah dari ini lho, Mbak. Bisa juga atas permintaan pelanggan. Kalau Mbak mau nikah, ke sini saja. Saya kasih diskon nanti."

Aku terkekeh. Nikah sama siapa coba.

"Saya mau minta pendapat yang bayarin dulu, ya, Mbak." Bagaimana juga, aku harus meminta persetujuan Ilalang selaku ATM-ku saat ini. Aku agak kesusahan jalan. Hampir saja aku membuat jarik yang kukenakan robek lantaran kupaksa jalan panjang-panjang. DUAPULUH LIMA JUTA INI JANGAN SAMPAI ROBEK, BODOH.

Di sofa, aku melihat Ilalang sibuk menggulir ponselnya dengan tangan menopang kepala, kelihatan bosan.

"Woy, gimana? Bagus nggak menurut lo? Tapi mahal, sih."

"Berapa aja gue bayar, santai aja. Duit gue banyak." Ilalang mengalihkan perhatian dari ponsel ke arahku. Ia mencermatiku tanpa berkedip.

"Gimana? Nggak pantes, ya?" Aku memain-mainkan jemari, agak rikuh. Aku belum pernah meminta pendapat pada cowok saat mencoba baju. Saat masih pacaran dengan Ezra saja, aku asal mengambil dan membawanya ke kasir tanpa mencoba.

Ilalang tersenyum. "Bagus." Tatapan matanya yang lembut mengarah tepat di mataku. "Bikin gue pengen nikahin lo."

*****

MATIH LO SEMUA. ENA KAN MALEM-MALEM BAPER. Ga jadi aplot malming, jadinya mingmal :)

Btw, gue belum bisa gambar gaunnya si Filo, males gambar wkwk. Kurang lebih agak mirip gaun brokat birunya si Syahrini liat aja di ig-nya. Cetar membahana. Tapi bagus anjay.

OH YA KUMAU MEMBERI TAHU KALAU GINCU 1 MASIH PROSES EDITING. BURUAN DIBACA BUAT YANG BELUM BACA, SOALNYA MAU KUHAPUS GENGS. TERUS, DI VERSI BUKUNYA UDAH KUTAMBAHIN DARI POV SABDA, SAMA NANTI BAKAL AKU TAMBAHIN PART SI ILALANG DAN FILO SEBELUM MEREKA KETEMU DI STASIUN. Pada kepo kan sama POV Ilalang, gimana dia mandang Nuansa sama Filo :))) Tunggu aja di buku GINCU 1 nanti :)

Buat yang baru baca GINCU 2, jangan lupa baca cerita sebelumnya, ya. Soalnya penting banget. Banyak yang tanya Dierja itu siapa, ini siapa, itu siapa, yang jawabannya ada di GINCU 1. Jadi, jangan dilewatkan gaes, soalnya masih berkaitan erat.

ADAKAH DARI KALIAN PEMBACA GINCU SEJAK KE #1? APAKAH KALIAN SABAR NUNGGU BUKUNYA? MAAP CAPSLOCK.

Sekali-kali nistain bias. Coba tebak bias w yang mana di antara mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro