Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 1

Derap-derap langkah yang menggema di koridor. Matanya menatap ke sekitar dengan waspada. Jantungnya berdetak sangat kencang. Ia berusaha untuk menyembunyikan ketakutannya dan terus melangkah tanpa memperdulikan hawa dingin yang menusuk dan suasana yang mencekam.

Suasana malam di Rakuzan High School memang sangat menakutkan. Jarang sekali ada yang mendatangi sekolah ini ketika waktu menunjukkan lebih dari jam 7 malam. Mereka takut akan rumor yang beredar di sekolah ini. Apalagi, sekolah ini sedang diperbaiki, membuat sekolah ini berbahaya jika didatangi saat malam karena terlalu gelap.

Meski ia mengetahui rumor itu, gadis satu ini tetap mengunjunginya. Yah, bagaimana lagi? Buku PR nya yang tertinggal di kelas padahal hari ini ia mendapatkan PR dari guru killer di sekolah ini dan harus dikumpulkan besok. Mau tak mau ia harus memberanikan dirinya untu mengambil buku itu.

Ia menghela napas lega ketika ia berhasil mengambil bukunya kembali. Lalu dengan hati-hati, ia berjalan menuju pintu keluar di lantai bawah. Lalu ia menggunakan tangga yang letaknya paling dekat dengan pintu keluar itu.

Ting!

Dentingan piano itu mengusik telinganya. Tubuhnya membeku seketika. Dengan langkah berat, ia memberanikan dirinya untuk mencari sumber suara. Suara itu berasal dari pojok ruangan. Lalu ia mendongak dan melihat papan bertuliskan 'Ruang Musik' di atasnya.

Ia menelan ludahnya dengan kasar. Tangannya bergetar hebat. Ia memberanikan dirinya untuk menggeser pintu itu dan melihat siapa ynag membunyikan alat musik tersebut.

Kriett...

"AAAAAHHH!!!!"

.
.
.

"Eh? Jadi rumor itu benar?"

"Kasihan sekali, anak kelas satu itu yang melihatnya?"

"Iya, benar. Padahal baru masuk tapi ia sudah diteror seperti itu..."

Desas-desus dari rumor itu menyebar dengan cepat. Hingga ketua OSIS dari sekolah ini, Akashi Seijuro juga ikut mendengarnya.

"Huh..." ia memijat kepalanya yang pening karena banyaknya masalah yang ada di sekolah ini.

"Sei-chan, kau belum beristirahat sejak tadi. Aku yakin kau juga begadang kemarin untuk menyelesaikan proposal itu." Ujar Mibuchi Reo, teman se-timnya sekaligus kakak kelasnya.

"Aku baik-baik saja, Reo. Hanya saja sepertinya masalah baru muncul lagi." Balas Akashi sambil menghela napas.

"Apa itu tentang hantu yang bermain piano di ruang musik pada malam hari?" tanya Mayuzumi Chihiro yang mendengarkan percakapan mereka.

"Itu benar. Aku akan menanyakannya pada anak kelassatu yang mengaku melihatnya itu. Kalian pergilah ke ruang OSIS duluan, nanti aku menyusul." Akashi meraih jersey-nya dan menyampirkannya ke pundaknya. Lalu ia berjalan meninggalkan teman se-timnya yang khawatir akan keadaannya.

Akashi berjalan menyusuri koridor, lalu langkahnya berhenti di depan sebuah kelas yang ternyata adalah kelas 1-3. Semua gadis yang mengaguminya berbisik-bisik tentangnya dan semua siswa laki-laki menatapnya heran.

"A-ano... ada perlu apa senpai kemari?" tanya seorang gadis ynag berasal dari kelas tersebut.

"Oh, permisi. Kalau boleh tau, siapa gadis yang mengaku melihat hantu kemarin malam?" tanya Akashi dengan nada lembut, membuat gadis itu bersemu.

"A-ah, senpai mencari Misuzu-chan, ya? A-akan kupanggilkan sebentar." Lalu gadis itu berlari kecil, menghampiri seorang gadis yang tengah berkumpul dengan teman-temannya yang lain. Sedangkan Akashi mendudukkan dirinya di sebuah bangku yang tak jauh dari kelas itu.

"S-senpai..." suara gadis itu menyapa telinga Akashi.

"Duduklah disini. Lalu ceritakan apa yang terjadi padamu kemarin." Mendengarnya, Misuzu merasa sedikit takut, tapi ia mengangguk pelan dan duduk di sebelah Akashi.

"Kemarin, aku kembali ke kelasku untuk mencari bukuku yang tertinggal. Setelah aku mengambilnya, aku berjalan ke pintu utama. Tapi saat aku baru saja menapak di tangga terakhir, suara piano itu terdengar." Misuzu memulai ceritanya.

"Karena penasaran, aku mencari sumber suara yaitu di ruang musik. Saat aku membukanya, a-aku melihatnya.." ia memelankan nada bicaranya di akhir kata.

"Bagaimana wujudnya?"

"R-rambutnya panjang sekali hingga menyentuh tanah. Dia memakai dress berenda yang panjang. Matanya tertutupi oleh poninya sendiri. A-aku terkejut, jadi aku tidak bisa melihatnya dengan jelas dan langsung lari. M-maaf.." ia menunduk karena takut ia tidak membantu sama sekali.

Akashi mengamati gadis itu lalu tersenyum tipis. "Terima kasih, sudah berani menceritakannya. Kau pasti takut sekali, kan?" tangannya tergerak untuk mengelus lembut surai gadis itu.

Pipinya merona, Misuzu tersenyum senang. "A-ah, tidak masalah. Aku senang aku bisa membantu."

Akashi mengangguk. "Sekarang, kembalilah ke kelasmu. Sebentar lagi sensei akan datang." Benar saja, tak sampai satu menit, terlihat seorang guru pria yang berjalan menuju kelasnya.

"Kalau begitu, aku permisi dulu ya, senpai!" dengan senyuman lebar, Misuzu kembali ke kelasnya dan melambaikan tangannya pada Akashi. Tentu saja Akashi balas melambai.

"Hmm..." ketika gadis itu hilang dari pandangannya, raut wajah Akashi kembali menjadi gelap. "Aku harus menemuinya sekarang..." gumamnya sambil berjalan ke ruang kepala sekolah.

.
.
.

Sepulang sekolah...

"Akashi, kau tidak pulang?" tanya Hayama Koutarou menghampiri Akashi yang sedang mengerjakan tugas OSIS nya.

"Kau ini benar-benar... istirahatlah sebentar saja, kalau kau sakit bagaimana?"

"Maaf mengkhawatirkan kalian, tapi aku baik-baik saja. Pulanglah duluan." Ujar Akashi sambil tetap berkonsentrasi dengan pekerjaannya.

"Huft.. kalau begitu kami duluan. Jaga diri ya, Sei-chan." Akashi hanya membalasnya dengan anggukan.

Setelah berjam-jam mengotak-atik laptopnya, akhirnya Akashi mematikannya. Ia melirik jam dinding yang terdapat di ruangan itu sekilas.

"Sudah jam 7 lewat? Berarti aku sudah mengerjakannya selama 4 jam lebih..." gumamnya pada dirinya sendiri. Lalu ia membereskan barang-barangnya dan berjalan keluar dari ruangan itu. Tak lupa ia menguncinya kembali.

'Saa.. apa kau akan menampakkan dirimu lagi?' batinnya sambil berjalan dan mengamati sekitarnya. Ketika ia sampai di depan lokernya, gerakannya terinterupsi dengan sebuah suara.

Ting!

'Itu dia..' pikirnya sambil menyeringai. Ia memelankan langkahnya dan berjalan ke arah ruang musik. Sementara itu, dentingan piano tadi tetap berlanjut dan membentuk nada dari sebuah lagu.

'Hito wa dare demo kodoku dato iu (Ada yang mengatakan bahwa semua orang pasti merasa kesepian)
Jitsu wa boku mo sou omou n da (Sebenarnya aku juga berpikir begitu}'

'Dia menyanyi...?'

'Kimi no kodoku mo, boku no kodoku mo (Kesepian yang kau rasakan, kesepian yang kurasakan)
Kesu koto wa dekinai demo, wakachiaeru darou? (Walau tidak bisa dihapuskan, kita bisa membagi dan memikulnya bersama, bukan?)'

Kriett..

Dengan ekspresi kosong, Akashi membuka pintu ruangan itu. Sekitar 5 detik kemudian, lagunya berhenti dan Akashi tersadar dari lamunannya.

"Eh?" Akashi mengamati sosok didepannya. 'Rambut panjang yang menyentuh tanah. Mata yang tersembunyi di balik poninya. Dress berenda yang panjang. Apa dia hantu yang dia maksud?' pikirnya.

"Akhirnya kau datang juga," suara gadis itu menginterupsinya. "pemilik 'mata yang bisa melihat masa depan'"

"..hah?" Akashi menatap gadis itu dengan heran. Bagaimana dia bisa tau? Sedangkan gadis itu hanya menunjukkan senyum yang menyimpan banyak misteri.

"Bagaimana aku bisa tau? Karena aku memiliki kemamuan yang tidak berbeda jauh darimu." Ujar gadis itu lagi.

"Cara bicaramu tadi.. apa kau juga bisa melihat masa depan?" senyuman gadis itu memudar ketika ia ditanya seperti itu.

"Hmm... aku tidak bisa melihat masa depan..." Ucapannya membuat Akashi mengernyit. "Aku mengatakan kalau aku memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda darimu. Dan kemampuan itu adalah kebalikan dari kemampuanmu sendiri." Jelasnya lagi.

"Apa mungkin.. kau dapat melihat masa lalu?" tebak Akashi. Gadis itu mengangguk.

"Apa-" sebelum Akashi bertanya lagi, gadis itu menaruh jari telunjuknya tepat di depan bibir Akashi.

"Kalau kau ingin mengetahui hal-hal tentangku..." ia menggantungkan ucapannya dan menatap dalam ke mata crimson Akashi. "Bawakan aku suatu hal yang menarik." Setelah mengatakan itu, gadis itu mendorong tubuh Akashi keluar dan tersenyum sebelum ia menutup pintunya dengan rapat.

.
.
.

'Apa-apaan kemarin malam itu?' walau ia mencoba untuk melakukan hal lain, entah kenapa ia tidak bisa melupakan kejadian kemarin malam. Alhasil ia menyalakan TV untuk mencari hiburan sambil meminum segelas kopi.

"Diberitakan bahwa kemarin malam, penculikan siswa Rakuzan High terjadi lagi. Seperti beberapa kasus sebelumnya, korban diculik disaat tidak ada orang yang melihat dan tidak ada kekacauan yang terjadi sama sekali."

Tiit

Akashi mematikan TV-nya. "Terjadi lagi, yah?" gumamnya pelan. Ia segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolahnya dan menemui orang itu.

Tak lama kemudian, ia sampai di sekolah

Tok tok tok

"Masuk." Sahut suara dari dalam ruangan itu.

"Permisi..." Akashi membuka pintunya dan memasuki ruangan itu, untuk menemui seseorang dengan pakaian yang rapi dan terlihat berwibawa.

"Oh, Nak Akashi... duduklah." Akashi mengikuti perintahnya dan duduk di depan orang itu. Dia adalah Shuji Takahashi, kepala sekolah Rakuzan.

"Shuji-san... mengenai berita pagi ini..."

"Ya, aku mendapatkan barang buktinya." Shuji merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah pita berwarna biru langit. "Ini adalah barang korban." Akashi mengambil barang itu dan mengamatinya.

"Aku heran, mengapa penculiknya selalu meninggalkan barang dari korban?" tanya Akashi.

"Aku juga tidak memahami jalan pikiran mereka... yah, kita akan mengetahuinya apabila kita memecahkan masalah ini, kan?"

"Benar juga." Giliran Akashi yang menyimpan pita itu. "Dan..."

"Apa masih ada masalah lain lagi?"

"Tentang gadis yang di ruang musik itu..." Shuji langsung terdiam setelah mendengarnya.

"Jadi kau benar-benar mengunjunginya..." ia menunjukkan senyuman masam. "Dia manusia, kau tau? Dia adalah keponakanku."

"Apa?"

"Itu benar. Dia adalah putri dari adikku. Namanya (Name). Lalu, menurutmu, dia gadis yang bagaimana?"

"Oh.. dia.. gadis yang aneh." Ujar Akashi sedikit kesal.

"Pfft.. hahahaha!!"

.
.
.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Akashi masih berada di sekolah dengan memberitahu keluarganya kalau ia ada urusan OSIS. Tapi nyatanya, ia malah berniat mengunjungi gadis kemarin.

"(Name)!" panggil Akashi sambil menggeser pintunya. (Name) langsung menghentikan pianonya dan menatap ke arah Akashi.

"Kau lagi... oh? Sudah tau namaku ya, Akashi Seijuro."

"Kau juga mengetahui namaku ternyata."

"Tentu saja, ketua klub basket dan ketua OSIS Rakuzan, belum lagi ia menjabat sebagai ketua kelas di semua kelas yang ia tempati. Dan orang sepertimu datang kemari, ada perlu apa?" tanya (Name).

"Sebenarnya..."

Flashback on

"Pfft.. hahahaha!!" Shuji langsung tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

"Apa ada yang lucu?" tanya Akashi sedikit kesal karena merasa ia ditertawakan.

"M-maaf maaf, habisnya, baru pertama kali ada orang yang berani menganggapnya seperti itu..." ujar Shiji sambil berusaha menenangkan dirinya.

"Kenapa harus takut?" gumam Akashi.

"Kau benar, gadis itu tidak perlu ditakuti. Hmm... karena kau sudah mengenalnya, bisakah kau meminta bantuannya perihal kasus ini?" tanya Shiji dengan serius.

"Apa maksudnya?" tanya Akashi bingung.

"Kau akan tau sendiri nanti. Dan juga, jangan lupa membawa ini." Shiji menyerahkan sebuah keranjang yang ditutupi kain pada Akashi.

"Apa ini?"

"Snacks. Anak itu sangat menyukainya, kau tau? Dia mungkin mau membantumu jika kau membawakannya untuknya."

'Penyogokan?' pikir Akashi sambil menatap keranjang itu. Lalu ia menghela napas berat. "Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu." Dan ia meninggalkan ruangan itu.

Flashback off

"Aku mengerti sekarang. Jadi Shinji ingin menggunakanku, ya?" gumam (Name) sambil menatap kosong ke luar jendela.

"Ya. Dan aku juga membawakan ini untukmu." (Name) menoleh untuk melihat apa yang Akashi bawa.

"Hmm? Wahh!!" matanya berbinar-binar ketika melihat sebuah permen yang dibentuk mirip seperti bunga.

"Kau menginginkannya?"

"Mau!" dengan cepat, (Name) langsung menyambar permen itu. Akashi sedikit terkejut ketika mengetahui bahwa (Name) terlihat seperti anak kecil.

"Jadi... apa yang ingin kau ketahui?" tanya (Name) dengan nada main-main, tetapi terdapat keseriusan didalamnya.

"Kasus penculikan pagi ini." Jawab Akashi tegas.

"Hmm.. apa kau memiliki sesuatu barang dari korban atau semacamnya?" Akashi teringat akan pita biru langit yang ia ambil pagi ini dan menyerahkannya pada (Name).

"Tunggu sebentar." (Name) menggenggam pita itu dan menutup matanya.

'Jika ia diam, ia terlihat seperti boneka...' pikir Akashi. Tak lama kemudian, (Name) mulai membuka matanya kembali.

"Apa yang kau temukan?" tanya Akashi.

"Melihatnya akan lebih mudah daripada menjelaskannya. Ikut aku sebentar." (Name) menggandeng tangan Akashi dan berjalan menuju bangunan sekolah yang satunya, tempat dimana ada beberapa kelas yang digunakan untuk kegiatan klub dan ekstrakurikuler.

"Disini tempatnya." Ujar (Name) yang berhenti tepat didepan ruang seni.

"Ruang seni?" (Name) mengangguk. Lalu Akashi mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka pintu itu. "Apa gadis-gadis itu disembunyikan disini?"

"Itu benar. Aneh bukan? Ruangan ini terlihat normal dari luar. Tapi jika kau masuk, ruangannya tidak seluas ruangan yang lain. Kebanyakan orang mengira karena banyaknya barang dan lukisan yang disimpain disini." Jelas (Name).

"Sekarang, Akashi, bantu aku menyingkirkan lukisan-lukisan besar itu." Jarinya menunjuk ke sebuah lukisan yang sangat besar, ukurannya seperti manusia, bahkan lebih besar dan lebar. Keduanya langsung menyingkirkan lukisan yang terpajang disana.

"Aku mengerti sekarang.." ujar Akashi ketika melihat apa yang ada di depannya.

"Para korban yang diculik, semuanya diculik dengan cara yang sama. Pertama-tama mereka ditipu dengan sebuah surat yang menyatakan kalau orang yang mereka sukai akan menunggu mereka di sekolah jam 5 pagi."

"Lalu ketika mereka datang, mereka akan di beri obat bius dan dicampur dengan semen, lalu ditempelkan ke dinding. Lukisan-lukisan besar itu yang menutupinya. Beberapa bagian dari sekolah ini sedang direnovasi jadi ada beberapa semen yang mereka gunakan. Lalu mereka mengganti jumlah semen yang mereka pakai agar tidak dicurigai."

"Pinjamkan aku ponselmu, kau memiliki nomor Shiji, kan?" Akashi mengangguk dan memberikan ponselnya pada (Name).

"Shiji, datanglah ke sekolah sekarang. Bawa beberapa polisi dan alat pertukangan ke ruang seni." Tanpa memberi kesempatan menjawab, (Name) langsung memutus sambungannya.

"Urusan kita sudah selesai, aku akan kembali ke kamarku." Ujar (Name) yang berjalan kembali ke ruang musik.

"Kamar? Itu kan ruangan umum untuk siswa sekolah ini?" (Name) tetap melangkah tanpa menghiraukan Akashi. Tak lama kemudian, mereka sampai di ruang musik lagi.

"Hei!" Akashi menarik lengan (Name). Ia kesal karena pertanyaannya dihiraukan.

"Apa lagi? Kasusnya sudah terpecahkan, jadi aku ingin tidur sekarang."

"Tidur? Dimana?" (Name) hanya melepas cengkraman Akashi dengan paksa dan berjalan ke arah sebuah rak buku yang memuat musik. Lalu ia mendorong satu buku yang terlihat sama jika dilihat dari jauh, tapi sebenarnya itu hanya buku palsu.

Tiba-tiba lantai di dekatnya bergerak, dan terciptalah sebuah tangga. "Kamarku ada di bawah. Mana mungkin aku akan tidur di sini? Kalau aku melakukannya, saat pagi siswa yang lain akan menemukanku dan menyuruhku keluar dari sini, kan?"

'Pantas saja ruangan ini terletak di bawah dan paling pojok.' Batin Akashi.

"Oh, satu lagi... menghabiskan waktu denganmu bukan hal yang buruk. Sampai bertemu lagi, Akashi." Ucapnya sambil tersenyum manis sebelum ia menghilang dari pandangan Akashi.

'Gadis aneh yang menarik...' batin Akashi sambil menyeringai tipis.

.
.
.

Satu bulan kemudian...

Sejak kejadian itu, Akashi jadi semakin sering mengunjungi (Name). Tapi ia tidak harus menunggu malam tiba. Karena (Name) bilang kalau ia bebas mengunjunginya kapanpun, asal jangan sampai ada orang lain yang mengetahui tentang keberadaannya.

Karena perjanjian yang Akashi buat dengan Shuji, Akashi bekerja sama dengan (Name) untuk menyelesaikan permasalahan yang lain, dan merekapun melaksanakannya dengan cukup baik.

Di waktu senggang, biasanya Akashi akan menemani (Name) yang bermain piano dengan Akashi yang memainkan biolanya, atau mungkin memainkan pianonya sedangkan (Name) bernyanyi.

Sekarang ini, mereka berada di kamar (Name).

"(Name), apa kau tidak risih dengan rambutmu?" tanya Akashi.

"Hm? Aku tidak pernah memikirkannya karena aku sudah terbiasa. Tapi karena kau mengingatkanku... kurasa memang sedikit risih, sih.." ujarnya sambil memainkan poninya.

"Aku bisa memotongkannya untukmu jika kau mau." Tawar Akashi. (Name) menerima tawaran itu dan membiarkan Akashi memotong rambutnya.

"Bagaimana kau bisa membuatnya sepanjang ini?"

"Aku tidak tau. Saat aku terbangun, rambutku sudah seperti ini."

"Saat kau bangun? Maksudmu, apa mungkin kau hilang ingatan?" (Name) mengangguk.

"Aku bisa melihat masa lalu siapa saja dari benda yang mereka miliki, tapi aku tidak bisa melihat masa laluku sendiri. Bahkan aku tidak ingat nama keluargaku juga..." Jelasnya kemudian. "Bagaimana denganmu? Kenapa kau mau membantu Shuji memecahkan masalah-masalah itu?"

"Oh itu..." Akashi langsung teringat akan seseorang. "Aku sedang mencari seseorang..."

"Heh~ aku tidak tau kalau kau bisa melakukan apapun demi orang lain." Ujarnya dengan nada mengejek.

"Aku ini juga manusia, kau tau..." (Name) terkekeh mendengarnya.

"Sudah selesai." Ucap Akashi sambil meletakkan guntingnya. "Kau... tidak ingin keluar?" tanya Akashi. (Name) tidak menjawab. Ia malah berjalan mendekati jendela dan menatap langit.

"Sebenarnya aku juga ingin..." gumamnya lirih.

"(Name), besok akan ku jemput jam 10."

"Eh? Mau kemana?"

"Kau bilang kau ingin keluar, kan?"

"I-iya sih... t-tapi kan-" perkataannya terhenti kala mendapatkan jari Akashi yang menyentuh bibirnya.

"Aku tidak menerima penolakan, (Name)." Bisiknya tepat ditelinga (Name), membuatnya merinding. Tangan kecilnya mendorong bahu Akashi agar menjauh. Tapi tentu saja Akashi lebih kuat.

Akashi terkekeh. Lalu ia menggenggam tangan (Name) untuk menghentikan pergerakannya. "Kalau kau belum siap, aku yang akan membantumu bersiap-siap." Ucapannya membuat pipi (Name) memanas ketika ia memahami maksudnya.

"K-kau benar-benar seenaknya sendiri sekarang ya..." ujar (Name) kesal.

"Hehehe, yang penting, aku akan menjemputmu besok. Selamat malam, (Name)." Ucap Akashi sambil mengecup keninhnya, membuat wajah (Name) semakin memanas.

"Bodoh..." gumam (Name) lirih setelah Akashi meninggalkannya sendiri.

___

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro