Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

SATU • Si Biang Onar •

"Eh lihat deh! Itu si Gi, lagi-lagi buat cewek nangis, ya?"

"Parah banget sih, dia! Mentang-mentang anak yang punya yayasan, harus banget ya jadi biang onar di sekolah? Heran!"

"Hus! Sudah ah, jangan keras-keras ngomongnya, males tahu kalau harus berurusan sama dia."

Aku berlari sekencang yang aku bisa. Suara-suara bising yang aku dengar bukanlah kali pertama berdengung di telinga. Kalimat dengan nada kebencian yang ditujukan seantero sekolah kepada si cowok biang onar, Gi Kilian Hanafi.

Aku memelankan laju kakiku saat aku merasa kadar oksigen mulai menipis dan membuat napasku menjadi tersengal-sengal. Aku berhenti tepat di taman belakang perpustakaan. Di sana terdapat pohon rindang dengan daun-daun yang membuat suasananya menjadi sejuk. Juga beberapa bunga mawar yang belum lama ini sengaja aku tanam. Tenang saja, tidak ada hal baik yang dilarang oleh sekolah.

"Kamu sudah mulai ke sekolah, Nami?"

Suara lembut seorang perempuan membuatku menengok.

"Iya, Bu," jawabku. Sebisa mungkin aku memulas senyum pada wajahku. Sepertinya senyum terpaksa yang muncul itu berhasil membuat lawan bicaraku mengelus kepalaku.

"Kamu boleh menangis, Nami. Menangislah kalau itu bisa membuat kamu merasa sedikit lega," ucap Ibu Fitri, seorang pustakawan yang sudah aku anggap sebagai temanku di sekolah, selain Bastari.

Perlahan tanpa dikomando, sekali lagi butiran bening mengalir dari kedua mataku. Detik berikutnya aku merasakan tubuhku dipeluk, sambil sesekali punggungku ditepuk-tepuk.

"Kamu anak yang kuat, Nami. Kamu harus percaya, kalau Bunda kamu sudah tenang di sisi-Nya." Bu Fitri melepaskan dekapannya.

Aku mengangguk. Aku tahu tidak ada gunanya sedih berlebihan, bahkan jika air mataku kering, Bunda tetap tidak akan kembali. Aku mengembuskan napas perlahan-lahan, berusaha membuat diriku tenang. Aku mengusap jejak air mata di pipi, aku tidak ingin Bestari sampai tahu kalau aku menangis.

"Nami ...!" Suara melengking yang baru saja terdengar itu adalah milik Bastari, temanku. Ralat, sahabatku. Aku dan Bastari sudah berteman sejak kami SMP. Dan, ini tahun keempat aku berteman dengannya.

Dia menghamburkan dirinya mendekapku. Kedua tangannya secara refleks mencubit pipiku. Entah sejak kapan mencubit pipiku setiap kali bertemu jadi rutinitasnya. Jujur saja itu sakit, dan aku pasti langsung mengomelinya.

"Sakit, Bastari ...!"

Dia hanya memamerkan deretan giginya yang rapih. "Pipi putih tembem kamu itu bikin aku gemes, Namina!" Kalimat pembelaan dirinya.

"Karena sudah ada Bastari, Ibu kembali ke dalam lagi ya, siapa tahu ada pengunjung yang datang," ucap Bu Fitri seraya mengelus rambut kami bergantian.

"Siap, Ibu! Nanti kalau kami bosan di sini, kami akan ke dalam, biasa ... baca novel," sahut Bastari diakhiri tawa setelah kalimatnya. Sementara Bu Fitri membalas dengan senyuman.

"Kamu sudah makan, Nam?"

Aku menggeleng pelan. "Belum, 'kan aku tunggu kamu keluar dari kelas."

Bastari tersenyum, dia lalu berkata, "Makan yuk, aku sudah lapar dari tadi."

"Lagian sudah tahu lapar kenapa baru keluar kelas, sih, Bas? Bel istirahat 'kan sudah berbunyi dari tadi," keluhku.

Sekali lagi Bastari memamerkan deretan giginya, tapi pada detik berikutnya wajah ceria itu berubah menjadi merah padam. "Aku tuh kesal, Nami .... Kamu tahu kan, anaknya pemilik yayasan yang baru saja masuk sekolah lagi, setelah diskorsing Minggu lalu?" Bastari mulai menjelaskan alasannya terlambat untuk makan di jam istirahat.

Aku mengangguk, sambil sibuk membuka kotak bekal berisi nasi goreng spesial yang sudah aku siapkan pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah.

"Jadi, dia ditegur oleh Bu Lisa karena dengan menyebalkannya dia bilang tugas yang diberikan oleh Bu Lisa sengaja nggak dia kerjakan dengan alasan tugas prakarya itu nggak penting," jelas Bastari dengan menggebu-gebu.

"Kebayang nggak gimana tersinggung dan marahnya, Bu Lisa?" tanya Bastari sambil menenggak air mineral dari botol minum yang dia bawa. Aku mengangguk lagi, saat terlintas air wajah masam Bu Lisa di benakku.

"Aku dongkol banget lihat muka dia yang sok ganteng, ih ... kesal! Gara-gara dia, satu kelas di hukum nggak boleh istirahat sampai tugas dia selesai dibuat."

"Terus, dia buat tugasnya?" tanyaku, sebelum menyumpal mulutku dengan sesendok nasi goreng.

"Hah? Ya nggak mungkin, dong, Nami ...! Dunia kiamat kali, kalau dia bisa begitu!"

Aku tersedak makanan yang baru saja coba kutelan. "Hah sampai segitu parahnya ya kelakuan dia, Bas?"

Bastari mengangguk mantap. "Gara-gara dia keluar kelas dengan seenaknya, kami jadi diminta untuk mengerjakan tugas dia. Makannya aku baru keluar kelas setelah sekian lama aku kelaparan," ujarnya dengan mimik wajah memelas yang seketika membuat tawaku pecah.

"Oh iya, tadi aku dengar selama perjalanan ke sini, katanya lagi-lagi dia buat cewek nangis."

Glup! Susah payah aku menelan salivaku.

"Aku heran si biang onar itu, kok masih ada saja yang suka, ya?" Bastari mengacak rambutnya frustasi.

"Itu cewek yang nembak dia waras nggak, sih? Kelakuan dia 'kan satu-dua sama setan, bisa-bisnya nembak, mana ditolak pula tuh! Heran!"

Sekali lagi aku menelan salivaku dengan susah payah, sebelum akhirnya aku mengaku kepada Bastari. "Se-sebenarnya cewek yang orang-orang maksud itu aku, Bas."

___________________
Bersambung ....

Ditunggu kelanjutan ceritanya Namina dan Gi yaaa teman-teman. Aku sedang coba buat cerita dengan POV orang pertama, semoga aku bisa 😭.

Mohon dukungannya teman-teman 🙏 semoga aku bisa konsisten juga nulisnya.
Terima kasih yang sudah mampir baca dan support cerita aku ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro