03. SUFFERING FROM THE PAST
KISHIGA MENATAP DENGAN KOSONG.
Lengan kirinya tidak berdaya sewaktu Gaki menancapkan kukunya semakin dalam. Ia tidak lagi berusaha menggapai bayonet di pinggang. Tubuhnya pun sudah menyerah. Ia hanya bisa memandangi saat belalai dari mulut Gaki itu menyambar tepat ke arah keningnya.
Saat itulah tiba-tiba terdengar sebuah dentuman. Suara itu bergemuruh menyerupai guntur, membahana dan meretakkan udara. Kishiga bergeming. Ia mengira bahwa suara itu benar-benar raungan yang datang dari langit. Namun, sesaat kemudian ia terkejut.
Cengkeraman Gaki terlepas. Iblis itu terjengkang ke belakang. Ia terlentang di tanah, lalu bergeleparan seolah-olah dilanda rasa sakit yang 'tak tertahankan. Kishiga berusaha mengangkat tubuhnya bangkit, beranjak dan menilik Gaki itu dengan heran. Sebagian dari kepala Gaki itu hancur. Sebuah lubang menganga, memperlihatkan daging yang terkoyak-koyak di dalamnya.
Angin kencang bertiup menyibak debu dan asap yang menyelimuti tempat itu. Samar-samar tercium pula aroma cordite.
Kishiga tersentak, tersadar bahwa barusan bukanlah bunyi gemuruh guntur. Seseorang, entah dari mana, telah menolongnya dengan menembak kepala monster itu.
Kishiga berjalan dengan tergopoh-gopoh menghampiri jūseiba yang tergeletak di tanah, meraihnya sembari menahan rasa menyengat di bahu. Ia mengatur napas, lalu mendekati Gaki yang masih menggeliat-geliut menahan sakit. Dengan mencurahkan seluruh tenaga, Kishiga menghunjamkan pedangnya ke dalam perut iblis tersebut. Ia mengirisnya, membuat sayatan lebar diiringi suara "rrrttt!" dari daging dan kulit yang terbelah.
Titik paling fatal pada Gaki adalah perutnya yang menggembung. Tusuk sedalam-dalamnya, iris sekuat-kuatnya. Itulah satu-satunya cara untuk "membunuh" Gaki.
Begitu Kishiga berhasil membelah perutnya, Gaki itu menegang dengan tubuh melengkung menjauhi tanah. Ia mendesis panjang, nyaris seperti sebuah erangan yang melengking, sebelum akhirnya terkapar. Diam dan kaku.
Sementara itu, Kishiga merasakan tenaga yang tadi meluap-luap dalam dirinya tiba-tiba saja padam, seolah-olah sambungan daya dalam dirinya terputus. Pandangannya semakin redup dan Sang Kapten rebah di sisi Gaki itu. Yang terdengar hanya denyut nadi yang bergejolak di pelipis, serta embusan napasnya yang kepayahan.
Dalam keadaan terombang-ambing di antara ketidaksadaran, Kishiga mendengar derap langkah mendekatinya. Kemudian, ia merasakan seseorang mengangkat bahunya dan menyeret tubuhnya. Terdengar pula suara beberapa orang, tetapi segala sesuatu seperti diredam, berangsur-angsur menjauh dan menghilang dari pendengarannya. Lalu, semua menjadi hitam.
***
HARI TELAH MALAM sewaktu Kishiga beranjak dari tempat tidur. Ia tersentak, sehingga membuat ranjang tempatnya terbaring berderit. Suara terkejut terselip dari bibirnya ketika mendapati dua orang prajurit yang ia kenal ada bersamanya di ruangan itu.
"Matsunaga? Sasaki?"
Letnan Matsunaga meletakkan kaleng makanannya dan beranjak menghampiri Sang Kapten. Kapten Sasaki tetap duduk memandangi dari tempatnya. Sebuah perban melingkari kening hingga menutup mata kirinya.
"Kalian masih di kota ini? Bagaimana dengan Sadayuki? Bagaimana yang lain? Kalian bertemu dengan mereka? Apa yang terjadi dengan tempat ini?" Kishiga menghujani mereka dengan pertanyaan.
Matsunaga memegang bahu Sang Kapten dan dengan perlahan mendorong tubuhnya agar kembali berbaring. Sebelum menjawab serbuan pertanyaan itu, ia terlebih dahulu mengangguk pelan, lalu berkata, "Aku sempat bertemu dengannya. Aku percaya mereka sudah berangkat menuju Kota Iwamurada."
"Lalu, kenapa kalian berada di sini? Seharusnya kalian pergi bersamanya!"
Untuk sejenak, Matsunaga dan Sasaki saling pandang. "Kapten," ucap Matsunaga, kembali berpaling kepada Kishiga. "Kami melihatmu berlari menuju ke distrik barat. Tampaknya tidak seorang pun memberitahukan kepadamu bahwa distrik itu telah terkepung. Kami tidak mungkin membiarkanmu sendirian."
Kishiga tertegun mendengar jawaban Matsunaga. Dadanya sesak dan perasaannya terguncang. Ia mengela napas dalam, lalu dengan lemah membenamkan dirinya di pembaringan.
Kapten Sasaki mengatakan apabila situasi memungkinkan, mereka bertiga akan menyusul besok. Meskipun kerusakan yang melanda Kota Nagano begitu dashyat, tetapi masih ada beberapa bagian kota yang 'tak terjamah malapetaka akibat Gaki. Salah satunya adalah kompleks lumbung di mana terdapat istal berisi kuda-kuda.
Informasi itu membuat perasaan Kishiga sedikit lebih tenang. Ia memejamkan mata, teringat dengan janjinya pada seorang pelukis kain sutra bernama Nanae, seorang gadis berusia empat belas tahun.
"Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi atasmu. Itulah bukti keberadaanku, dan oleh sebab itu aku hidup untuk memenuhinya."
Setelah berdiam diri selama beberapa lama, Sang Kapten beranjak dari tempat tidur dan menaiki tangga menuju balkon. Dari situ terlihat jelas sisa-sisa pertempuran hari itu. Hanya beberapa jam yang lalu, segalanya dipenuhi oleh kekacauan dan pertumpahan darah. Debu bergulung dan menari-nari di antara kengerian. Kini yang tampak hanya reruntuhan dan rumah-rumah terbengkalai. Sinar bulan melingkupi bangunan dan jalan-jalan, menguatkan suasana hampa yang membentang dari satu penjuru ke penjuru lainnya.
Letnan Matsunaga menyusul naik.
"Apa yang terjadi sewaktu aku pingsan?" Kishiga bertanya tanpa memalingkan wajah. Tatapannya terus mengambang pada suasana muram yang ada di depan.
Matsunaga pun mulai menjelaskan. Ternyata tidak berselang lama sesudah Matsunaga dan Sasaki menyelamatkan Kishiga, tiba-tiba saja para Gaki itu berhenti menyerbu ke dalam Kota Nagano. Gaki-Gaki itu berbalik, kembali menuju arah kedatangan mereka semula dan berhenti di kawasan terbuka di antara dua dinding pertahanan bagian dalam.
Kishiga mengernyitkan dahi. "Apa yang membuat mereka begitu?"
"Kami tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Waktu itu mereka berkumpul di sana begitu saja." Matsunaga menunjuk pada sebuah lapangan di antara reruntuhan. Ada secercah keraguan dari nada bicaranya. "Mereka berkumpul ... mengelilingi seseorang."
"Maksudmu?"
"Gaki-Gaki itu hanya berdiri di sana, dan di tengah-tengah mereka ada seseorang. Kami juga tidak mengenalinya siapa. Mereka mematung, serentak memandangi sosok itu. Itu tidak berlangsung lebih dari sepuluh detik, tetapi aku begitu takjub sampai-sampai merasa waktu berlalu panjang."
Itu terdengar tidak masuk akal. Kishiga menelisik wajah letnan muda itu. 'Tak diragukan lagi, letnan muda itu bersungguh-sungguh dengan perkataannya barusan. "Apa yang terjadi selanjutnya?"
"Kami tidak tahu. Saat itu keadaan masih kacau balau, sehingga ketika tersadar, kami segera membawamu ke tempat ini, lalu bersembunyi sampai hari gelap."
Beragam dugaan mulai timbul dalam pikiran Kishiga. Ia berusaha menyambungkan segala kemungkinan dan menghubungkannya dengan ucapan Matsunaga. Siapa sesungguhnya orang itu? Mengapa Gaki-Gaki tidak menyerangnya? Bagaimana itu terjadi, dan apa yang terjadi kemudian?
Barangkali ....
Namun pada akhirnya ia menepiskan semuanya. Percuma memikirkan sesuatu yang mungkin saja sepenuhnya keliru.
Kishiga meraba saku dada kemeja dan mengeluarkan sebuah buku kecil bersampul kulit. Sayangnya, pena yang terselip bersama buku tersebut patah menjadi dua, meninggalkan noda tinta pada saku kemeja dan sampul buku tersebut.
Menyadari gerak-gerik Sang Kapten, Matsunaga mengambil pena miliknya sendiri dan menyodorkannya.
"Terima kasih." Setelah berkata demikian, Kishiga berjalan turun kembali menuju ruang bawah.
Ruangan itu diterangi oleh sebuah lampu minyak yang dibiarkan menyala redup. Kapten Sasaki duduk di hadapan lampu tersebut dan menyandarkan punggung di tembok. Senapannya lekat pada tubuh, siap kapan pun dibutuhkan. Matsunaga menyusul turun, kemudian mengambil posisi di dekat jendela yang ditutupi dengan sehelai kain. Dari situ, ia bisa mengamati keadaan di luar.
Kishiga kembali menghampiri pembaringan. Ia mulai membuka bukunya, menyisir lembar demi lembar. Tidak banyak yang telah dituliskan di dalamnya dan barangkali juga tidak banyak yang akan ia tambahkan kemudian. Namun, hal yang terpenting adalah ia harus tetap hidup agar bisa merampungkannya.
Kishiga berhenti pada halaman kosong, lalu mulai menggoreskan pena di permukannya.
Aku tidak punya istilah yang bisa menggambarkan dengan tepat bagaimana kesukaran yang kami hadapi, untuk sekadar melihat matahari di keesokan hari. "Bertahan hidup", kata-kata itu terasa begitu tumpul jika dibandingkan kenyataannya.
Kami hidup seperti sekumpulan hewan buruan yang bersembunyi dari para pemangsa. Jika dilihat dari satu sisi, tembok-tembok dan benteng yang kokoh adalah pelindung yang menyelamatkan kami dari ancaman Gaki. Namun, jika dilihat dari sisi yang lain, sesungguhnya kami ini berada dalam kepungan tanpa jalan keluar.
Hidup kami harus berakhir ke dalam kubangan tragedi.
Kishiga melemaskan jemarinya. Kata "tragedi" yang barusan ia tuliskan terasa lekat dalam pikirannya. Semua bermula dari sebuah peristiwa yang menggemparkan Dinasti Domugi.
***
TUJUH TAHUN YANG LALU, MARET 1908, Kaisar Tenshō mengadakan upacara untuk mengantarkan jiwa sang kaisar emeritus, ayahnya, menuju surga. Upacara ini dinamakan Ōkisei (皇帰省), tradisi yang berlaku selama ribuan tahun sejak masa kaisar-kaisar terdahulu.
Sebagaimana semestinya, dalam upacara ini seorang pelukis kain sutra menggunakan kanvas sutranya untuk menghubungkan dunia roh dan dunia manusia. Melalui itulah jiwa sang kaisar kembali ke surga.
Namun, ketika upacara sakral itu sedang berlangsung, seekor iblis ganas menerobos keluar dari dalam gulungan kain sutra yang digunakan dan membantai orang-orang yang hadir di sana. Kaisar Tenshō selamat dalam peristiwa itu dan para pengawal berhasil membunuh sang iblis.
Kendati demikian, berita tentang peristiwa itu merambat ke segala penjuru. Kabar-kabar bertebaran membuat pergolakan. Berita yang disebarkan dari mulut ke mulut dalam sekejap mengguncang pemerintahan Dinasti Domugi.
"Surga telah menolak Kaisar!" diserukan di berbagai tempat.
Sebelum Dinasti Domugi berkuasa di Jepang, pemerintahan berada dalam genggaman Dinasti Shūkoku. Pada sebuah pertempuran besar puluhan tahun silam, Dinasti Domugi berhasil menggulingkan takhta Shūkoku dan menempatkannya di bawah pengawasan ketat kekaisaran yang baru.
Kaum Shūkoku, yang selama ini ditundukkan dan ditindas oleh Dinasti Domugi, memanfaatkan peristiwa kemunculan iblis tersebut. Keadaan politik dan kestabilan negara terpecah-pecah akibat kegemparan yang demikian hebat. Mereka mengadakan pemberontakan sengit yang membuat Jepang kembali terpecah menjadi dua faksi besar.
Ksatria-ksatria Shūkoku berperang melawan prajurit Dinasti Domugi.
Pemberontakan merambat dari Kyūshū dan Shikoku di selatan, begitu pula dari Fukushima di utara; Region Kanto, di mana Edo berada, didesak dari dua arah. Pertempuran yang terjadi berlangsung selama enam bulan—bulan-bulan yang akan selalu dikenang dengan pertempuran yang panjang dan pahit.
Pada akhirnya, pemberontakan itu berhasil diredam. Beberapa bangsawan Shūkoku ditangkap dan dibawa ke Kyoto sebagai tawanan rumah. Para prajurit Shūkoku yang tersisa harus bertahan dalam keputusasaan. Sebagai upaya terakhir, mereka mengumpulkan pelukis sutra dari seluruh Jepang untuk melakukan suatu tindakan terlarang:
Mereka membangkitkan iblis-iblis Gaki melalui upacara yang dikenal sebagai Onikisei.
MONSTER GAKI sendiri dinamakan demikian karena sifatnya yang ganas dan senantiasa kelaparan—"Gaki" (餓鬼,"hungry demon").
Gaki diketahui memangsa korbannya dengan satu metode yang khas, yaitu dengan melubangi kepala korban menggunakan belalai yang keluar dari mulutnya. Lendir yang memenuhi belalai tersebut terdiri dari semacam substansi yang bisa melelehkan otak manusia, membuatnya menjadi seperti gumpalan bubur lembek. Melalui belalai itu, mereka akan mengisap otak korban hingga tidak bersisa.
Kemunculan mereka secara masif pertama kali disaksikan pada November 1908, tujuh tahun yang lalu. Dimulai dari Kastil Semboku di Provinsi Ugo, kemudian dari Fukushima dan Kōriyama di Provinsi Mutsu, Kastil Kofū di Provinsi Izumo, dan Shirakawa di Provinsi Kaga. Nyaris secara serentak, Pasukan Dinasti Domugi harus menghadapi sekumpulan besar Gaki bermunculan dari Utara dan Barat.
Akibatnya, Jepang pun dikepung oleh iblis Gaki yang menyebar dari satu tempat ke tempat lainnya dan membantai siapa pun yang mereka temui tanpa memandang bulu. Hanya dalam rentang beberapa bulan, hampir seluruh wilayah Jepang berada di bawah kekuasaan Gaki.
Pertempuran besar melawan Kaum Shūkoku telah menguras hampir seluruh sumber daya Dinasti Domugi yang tersisa. Kini mereka harus berhadapan dengan ancaman Gaki. Lebih buruk lagi, sebanyak apa pun iblis Gaki yang terbunuh dalam pertempuran, mereka tidak pernah benar-benar berkurang. Lambat laun, monster-monster buas itu menyerbu dataran Jepang seperti sebuah tsunami.
Di masa akhir pemberontakan, yang dikenal sebagai Pertempuran Musim Gugur (秋の戦い), para bangsawan Shūkoku yang tersisa undur dari Pulau Honshū (wilayah kekuasaan Dinasti Domugi) untuk kembali ke domain mereka, yaitu Pulau Kyūshū dan Shikoku. Namun, sebelumnya mereka membantai para pelukis kain sutra dan hanya menyisakan beberapa orang yang selamat, lalu membawa mereka menuju Kyūshū.
Suatu upaya perlawanan terakhir yang keji, dan berujung pada kematian yang tidak terelakkan bagi para penduduk yang 'tak berdaya di bawah kepungan iblis-iblis Gaki. Melalui tindakan pembantaian tersebut, Kaum Shūkoku bermaksud agar seluruh penduduk yang tersisa di Honshū tewas dimangsa Gaki.
DENGAN BERAKHIRNYA PEMBERONTAKAN KAUM SHŪKOKU, dimulailah sebuah era baru. Era bagi para penduduk Honshū yang tersisa untuk bertahan hidup dalam ancaman iblis ganas.
Era yang dinamakan dengan Gakidō (餓鬼道, "Ghoul's Realm").
Meskipun pertempuran dengan Shūkoku telah diredam, Dinasti Domugi harus tetap berperang melawan serbuan-serbuan iblis Gaki. Dalam tiga tahun, mereka berhasil menekan balik dan mengisolasi iblis-iblis itu di balik tembok pelindung raksasa. Namun, itu tidak menyelesaikan masalah yang sesungguhnya. Seperti obat pereda nyeri yang berguna hanya untuk sementara, selama akar masalahnya tidak dituntaskan.
Kishiga melayangkan pikirannya jauh ke belakang, mengikuti jejak-jejak ingatan seperti mundur melintasi sebuah terowongan panjang. Bukan tanpa alasan ia berada Nagano, jauh dari keamanan dan kenyamanan yang ia dapatkan di Edo.
Semua karena sebuah misi rahasia.
Misi untuk membebaskan Jepang dari krisis Gaki. Misi yang juga membawanya kepada serpihan-serpihan kebenaran, yang ia pungut dan kumpulkan di sepanjang perjalanan. Kelak, serpihan-serpihan itulah yang akan menjelma menjadi sebuah gambaran kenyataan sesungguhnya.
Beberapa minggu yang lalu, ketika ia berada di Asakusa, Edo. Itulah saat pertama kali ia menerima misi ini.
——— Ω ———
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro