Tell and Done
Ivory
Kita harus ketemu
Sekarang
Joshua
Ruv ada apa?
Ivory
Please
Joshua
Sebenarnya aku tidak bisa lagi datang ke duniamu
Kesempatanku sudah terpakai saat kita bertemu waktu itu
Tapi akan kuusahakan
Ivory
Thanks
Aku bakal tunggu di makammu
Joshua
Hei
Ruv!
Ivory
Ya?
Joshua
Sekarang pukul 10 malam
Apa kamu gak sadar?
Ivory
Sadar
Maka dari itu cepat datang agar cepat selesai
Joshua
Aku bahkan tidak bisa menjanjikanmu kehadiranku
Jangan berbuat konyol dengan pergi ke makam tengah malam begini
Kalau tidak boleh ke makam, lalu apa gunanya memaksa Joshua untuk bertemu? Ia bahkan melemparkan rasa takutnya begitu saja demi mempercepat 'kepulangan' Joshua. Rasanya Ivory ingin menangis karena terlalu putus asa.
Joshua
Berikan aku alamat rumahmu
Aku akan mengabarimu lagi jika tidak mendapat ijin
***
Setengah jam Ivory menunggu dalam kesunyian. Ia menggunakan lampu kecil untuk menerangi kamarnya, juga agar orang tuanya mengira bahwa ia sudah tidur. Ponsel ia non-aktifkan sejak pesan terakhirnya dibaca Joshua. Ivory tidak mau menerima pesan apapun dari Joshua, karena itu berarti Joshua membawa kabar buruk.
Mencoba berpikir positif, kalau mungkin saja Joshua sedang tersesat mencari rumahnya, Ivory terus menunggu hingga seseorang memanggil namanya.
"Ruv?"
Gadis itu segera turun dari kasur. Antara terkejut dan tidak karena sosok yang ia tunggu tengah berdiri, memandangnya, di dalam kamarnya.
"Kak Jo, terima kasih sudah datang."
"Kak..?"
"Iya, kakak. Kak Jo lebih tua tiga tahun dari aku."
Joshua tertawa kecil. "Panggil seperti biasanya saja."
"Nggak sopan itu namanya."
"Aku yang memintamu. Tidak perlu membahas tentang sopan santun."
Nada bicara Joshua yang terdengar serius membuat Ivory memilih untuk menurut daripada membantah.
"Oke. Aku langsung jelaskan semuanya. Kita bertemu di Line, Ghost Line ternyata memang karena ada suatu kepentingan. Kak... Mm, kamu meninggal karena aku. Aku membunuhmu. Kejadiannya sudah sangat lama, saat kita masih kecil. Dan itu bukan karena unsur tidak sengaja, tapi memang aku sadar ketika melakukannya. Kamu masih menyimpan dendam padaku."
Joshua berjalan mendekati Ivory. Kedua tangannya terulur, menarik tengkuk gadis di hadapannya, kemudian mendekatkan wajahnya dan menatap mata gadis itu.
"Katakan yang sejujurnya."
Ivory menghela nafas berat setelah Joshua menjauhkan diri. Ia tahu kalau yang dilakukan Joshua tadi adalah mengecek denyut nadi dan pupil matanya untuk mengetahui apakah dirinya berbohong atau tidak. Teknik anggota CBI seperti yang pernah ayahnya lakukan.
Tak heran Joshua meragukan perkataan Ivory. Dari caranya bercerita saja sudah terlihat kalau gadis itu lebih mirip petugas yang melaporkan kronologi pembunuhan daripada pelaku kejahatan yang mengakui kesalahannya.
Menyodorkan berkas yang sejak tadi ia pegang menjadi pilihan terbaik bagi Ivory daripada harus menjelaskan yang sesungguhnya dengan mulutnya sendiri.
"Aku datang untuk mendengarmu berbicara, bukan merusak mataku dengan membaca di ruangan gelap seperti ini."
Kind of savage.
"Akan kunyalakan lampunya."
Kind of stupid.
"Ruv!"
"Aku nggak bisa! Aku nggak tahu apa yang harus aku bilang ke kamu. Aku nggak sanggup..."
"Katakan."
"Nggak."
"Katakan."
Ivory melemparkan berkas yang sudah lusuh karena ia remas. "Aku mengambil jantungmu!"
Terjadi keheningan yang bisa dibilang singkat setelah Ivory pada akhirnya mengatakan poin utama. Joshua tersenyum puas. Sangat puas dan penuh kelegaan.
"Jangan berkata seperti itu. Aku memberikan jantungku untukmu. Bukan kamu yang mengambilnya dariku."
Tidak ada respon dari Ivory karena gadis itu sibuk mengurai kekagetannya.
"Aku sudah ingat semuanya."
Semuanya...?
"Ah, maaf."
"Kok malah nangis?" Joshua menangkup pipi Ivory, mencubitnya lembut, kemudian menepuk pelan. "Jantungku baik-baik aja, kan?"
"Iya.. Terima kasih."
Tangis Ivory yang tak kunjung henti menggerakan tubuh Joshua untuk merengkuhnya.
"Nangisin apa sih? Masa laluku? Nyawaku?"
"Kamu masih tertahan di alam gak jelas itu gara-gara aku."
"Siapa yang bilang gitu?"
Seberkas cahaya terang yang berasal dari dalam laci meja belajar menarik atensi Joshua untuk melihatnya. "Hei, itu apa?"
Ivory menatap heran ke arah laci paling bawah yang ditunjuk Joshua. "Nggak tahu. Udah lama gak buka laci itu."
Rasa penasaran yang cukup tinggi mendorong keduanya untuk menghampiri dan membongkar barang dalam laci tersebut. Cukup menyulitkan untuk mencari asal cahaya karena tertumpuk banyak buku dan lembaran kertas.
"Diary?" sahut Joshua ketika akhirnya benda bersinar yang ternyata sebuah buku kecil tersebut ditemukan.
"Aku nggak pernah nulis diary."
Membalik hard cover dan lembar kosong berwarna putih, sederet tulisan khas anak kecil yang cukup rapi menjadi satu-satunya hal yang tertulis dalam buku itu.
[Penting! Bilang makasih ke malaikat penyembuh!]
Ah, kini Ivory ingat. Setelah pulang dari rumah sakit, ia bertanya pada ibunya bagaimana ia bisa sembuh. Padahal tak jarang Ivory mencuri dengar pembicaraan dokter dengan orang tuanya yang mengatakan kalau Ivory belum mendapatkan pendonor.
Donor? Kata yang sangat asing di telinga Ivory. Tapi gadis itu yakin kalau yang dimaksud sang dokter ialah tidak ada orang yang mau membantunya agar dapat sembuh kembali.
"Seorang malaikat datang untuk memberikan kesehatan padamu." Jawaban yang Ivory terima atas pertanyaannya.
Begitu baik malaikat ini hingga Ivory memaksa ibunya agar ia dapat bertemu dengan penyelamat hidupnya. Untuk berterima kasih tentu saja. Namun fakta bahwa sang malaikat telah pergi entah ke mana tak membuat Ivory menyerah. Ia menulis sebuah catatan yang akan menjadi pengingat jika dirinya masih mempunyai utang ucapan terima kasih.
"Ini buktinya, Shou. Aku yang menahanmu selama ini."
Joshua mengambil buku kecil itu dari tangan Ivory dan menutupnya. Cahaya yang mereka lihat sudah menghilang sejak buku itu diambil.
"Aku tidak merasa ditahan. Lagipula kamu sudah mengatakannya tadi."
"Berarti... Kamu udah bisa.. Tenang.."
"Apanya yang tenang?" Tawa Joshua membuat Ivory mendecak kesal.
Setelah membereskan semua barang yang mereka bongkar, Joshua membawa Ivory untuk duduk di tepi kasur. "Sekarang waktunya tidur. Sudah hampir tengah malam."
"Kamu mau kembali?"
"Kurasa begitu."
Mulut Ivory terbuka namun tidak ada satu kata pun yang keluar melewati lidahnya. Ia ingin meminta Joshua agar bersamanya lebih lama. Tapi itu jelas melanggar keputusannya sendiri, yang tidak ingin membuat Joshua terus 'bergentayangan' karena hal yang ia perbuat di masa lalu.
Dan akhirnya, hanya helaan nafas yang keluar dari mulut kecil Ivory.
"Mau kutemani sampai kamu tertidur? Sebenarnya aku diberi waktu 12 jam untuk menyelesaikan urusanku."
"Kalau gitu, temani aku sampai waktumu habis."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro