Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bonus

"Ma?! Ivory pulang!" Ucapannya terhenti, sedikit kebingungan bagaimana cara menyampaikan tentang kehadiran Joshua. ".... Bawa teman."

Berada tak jauh dari ruang tamu, sang ibu bergegas menghampiri anaknya. "Oh? Teman siapa?"

Joshua tersenyum ramah dan menundukkan kepalanya sedikit. "Selamat pagi, Bibi. Saya Hong Jisoo. Tapi keluarga saya biasa memanggil saya Joshua."

Nama yang terdengar familiar membuat ibu Ivory mengamati wajah Joshua, mencoba mencari kemungkinan apakah ia pernah mengenalnya atau tidak.

"Ma, Ivory mau cerita. Ayo duduk."

Ivory dan Joshua duduk di sebuah sofa panjang, sedangkan sang ibu dan ayah —Ivory memanggilnya agar ikut mendengarkan ceritanya— duduk di sofa satuan.

"Oke... Enaknya mulai darimana? Oh, Joshua ini bukan teman kampus. Mama pasti udah tau."

Ibunya tersenyum kecil. Jelas saja, ketika pulang tadi Ivory menyebutkan nama yang digunakan khusus untuk keluarga, bukan 'Huiso' yang umum diketahui untuk orang luar. Berarti bisa diambil kesimpulan singkat jika Joshua adalah orang yang spesial dan dipercaya oleh Ivory.

"Terus... Dulu Mama pernah ikut Ivory ke pemakaman, kan? Kalau Mama masih ingat, makam yang kita kunjungi itu makamnya... Joshua."

Kedua orang tua Ivory tidak memberikan komentar apapun. Mereka terkejut tentu saja, namun Ivory harus menyelesaikan penjelasannya hingga tuntas terlebih dahulu.

Ivory menarik nafas panjang dan membuangnya cepat lewat mulut. Ia menyusun banyak kalimat dalam otaknya agar tidak ada cerita yang terlewatkan.

"Kalau Papa masih ingat juga, dulu Ivory pernah berusaha mencari informasi tentang Hong Jisoo atau Joshua Hong. Papa bahkan kaget kenapa Ivory bisa tahu nama itu. Sekarang, dia ada di sini."

Padahal Ivory belum bicara banyak, tapi ia merasa kerongkongannya kering. Suasananya terlalu serius hanya untuk mengambil air minum kemasan yang berada di meja.

"Ivory bisa tahu dan kenal dengan Joshua karena.... Ditakdirkan..." ucapnya dengan nada bingung. "Intinya, waktu itu Joshua masih berupa roh."

Sebelum kalimat Ivory semakin kacau, Joshua segera mengambil alih cerita dan melanjutkannya. "Saya mengenal Ivory di saat saya masih berwujud roh, atau lebih mudahnya, hantu. Saya tidak dapat melanjutkan perjalanan saya ke alam yang seharusnya saya tempati karena ada urusan yang belum terselesaikan, dan Ivory mau membantu saya. Saat ini saya dikirim kembali ke dunia ini dalam rupa manusia."

Ayah Ivory berdeham, tanda bahwa ia hendak mengatakan sesuatu.

"Bagaimana saya bisa percaya kalau kamu memang Joshua yang saya kenal? Bisa saja kamu mencoba menipu dengan berpura-pura menjadi Joshua, entah untuk tujuan apa."

Ivory sama sekali tidak menyangka jika ayahnya akan melontarkan kalimat seperti itu. Memang hal yang wajar, tapi tetap saja Ivory tidak terima.

Berbanding terbalik dengan Joshua yang hanya tersenyum dan segera menjawab, "Ketika Paman menebus saya, transaksi dilakukan di gudang bawah tanah. Hanya ada Paman, saya, dan pria tua kepala organisasi yang menjual saya. Kesepakatan yang Paman berikan... Lima ratus juta—"

"Lima ratus juta?! Dollar!?"

"Mata uang negara ini," sahut Joshua.

Angka nominal yang begitu besar tak bisa melunturkan ekspresi kaget di wajah Ivory. Berbanding terbalik dengan ibunya yang terlihat biasa saja.

"Saya tidak memiliki bukti lain lagi yang cukup kuat untuk membuat Paman percaya. Jadi kalau memang Paman tidak berkenan, saya akan meninggalkan rumah ini dan—"

Joshua tidak melanjutkan ucapannya ketika ayah Ivory tiba-tiba beranjak dari sofa dan menghampirinya. Meminta Joshua untuk berdiri kemudian memeluknya.

"Paman percaya padamu. Terima kasih, kamu masih mau kembali ke keluarga ini."

"Seharusnya saya yang berterima kasih pada Paman. Di sini sudah seperti rumah kedua saya."

Ayah Ivory menepuk-nepuk pundak Joshua sambil berkata, "Nanti kalau sudah selesai ngobrol, temui Paman di ruang kerja. Suruh Ivory mengantarmu."

"Hah? Mau ngapain?"

"Urusan cowok."

Respon santai ayahnya hanya dibalas dengan decakan sebal oleh Ivory. Meski begitu, ia merasa sangat lega karena ayahnya tidak menyangkal eksistensi Joshua.

"Jadi, malaikat penolongnya Ivory memutuskan untuk datang kembali?" Kini giliran sang ibu yang memulai sesi wawancara.

Joshua sedikit terkejut dengan julukan yang diberikan ibu Ivory, namun ia segera memasang senyumnya. "Saya bukan malaikat, Bibi. Saya hanya seorang pendonor."

"Can we skip this topic, please?" pinta Ivory yang mulai diusik rasa bersalah tiap kali mendengar kata donor dan malaikat.

"Hmm.. Kalau begitu, pertanyaannya Bibi ubah. Kenapa kamu memutuskan untuk datang kembali?"

Meski pertanyaan itu cukup ambigu, entah yang dimaksud ialah datang kembali ke dunia atau ke rumah Ivory, Joshua langsung menjawab tanpa ragu, "Datang kembali ke dunia ini bukanlah keputusan saya. Sejujurnya saya juga tidak diberi tahu mengenai apa yang harus saya lakukan dengan hidup kembali seperti ini. Dan yang terpikirkan oleh saya hanyalah menggunakan kesempatan ini untuk menemui keluarga yang telah menyelamatkan saya dulu."

"Manusia kayak gini cuma muncul sekali tiap seribu tahun," celetuk Ivory.

Setuju dengan pendapat anaknya, ibu Ivory tertawa kecil sebelum kembali bertanya pada Joshua. "Berarti kamu ini bereinkarnasi?"

"Saya... Saya tidak tahu pasti apakah yang saya alami disebut dengan reinkarnasi atau bukan, karena saat ini saya hidup menggunakan tubuh orang lain."

Ungkapan yang mengatakan bahwa setiap manusia di dunia ini memiliki tujuh kembaran, benar adanya.

Seorang pemuda bernama Erick Lucius merupakan salah satu sosok cerminan Joshua. Berjalan di garis batas antara hidup dan mati selama setengah tahun menjadi tanda yang cukup jelas bagi Erick. Jiwanya akan segera meninggalkan raganya.

Hingga di suatu siang, dokter dan petugas medis lainnya disibukkan dengan upaya mereka untuk membuat jantung Erick kembali berdetak.

Ya, saat itu jiwa Erick benar-benar telah melepaskan raganya. Bertukar tempat dengan jiwa Joshua yang mengambil alih raga milik Erick, yang kemudian membunyikan sinyal bahwa 'Erick' berhasil diselamatkan.

Prosesi pertukaran jiwa yang terjadi disaksikan oleh seorang malaikat, menandakan bahwa itu merupakan hal yang legal karena Joshua bukan merampas raga orang lain.

Terbangun dengan berbekal memori kehidupan Joshua —tidak menyisakan sedikitpun memori kehidupan Erick— membuatnya cukup kerepotan untuk menjelaskan kepada orang tua Erick bahwa ia bukan lagi Erick, melainkan Joshua.

Butuh waktu selama satu tahun lebih bagi orang tua Erick untuk mulai meyakini bahwa sosok pemuda yang seharusnya merupakan anak mereka satu-satunya, memang bukan lagi putranya yang mereka kenal. Dan perjuangan Joshua tak sampai di situ saja, karena ia masih harus membujuk orang tua Erick yang sempat tak mengijinkannya pergi ke luar negeri —untuk menemui Ivory.

"Jadi kedatangan saya ke sini tidak akan lama. Saya masih harus tinggal bersama orang tua Erick untuk sementara waktu, sampai mereka sungguh menerima eksistensi saya sebagai Joshua Hong sepenuhnya."

Ivory menarik kecil lengan baju Joshua, meminta atensi dari pria itu. "Untuk sementara waktu? Sampai kapan?"

"Secepatnya," jawab Joshua sambil mengusap kepala Ivory.

"Joshua, kamu sudah melewati banyak hal berat." Ibu Ivory menggenggam tangan Joshua. "Jika kamu memerlukan sesuatu atau butuh bantuan, datang saja pada kami. Minta tolong melalui Ivory juga bisa. Bagaimanapun, kamu juga menjadi bagian dari keluarga ini."

Membalas genggaman tangan Ibu Ivory, Joshua kembali tersenyum. "Saya tidak mau merepotkan keluarga ini terus-terusan. Tapi hari ini saya menerima banyak kebaikan, lagi. Bahkan setelah bertahun-tahun terlewati. Terima kasih. Saya tidak akan menyia-nyiakan kebaikan yang keluarga ini berikan."

Kini giliran ibu Ivory yang memeluk Joshua. Rasanya begitu hangat. Sudah lama Joshua tidak merasakan kasih sayang orang tua. Sedikit mengikis rasa rindunya dengan keluarga kecilnya yang dulu.

"Dari tadi Mama perhatikan, kayaknya Ivory nggak mau jauh-jauh dari Joshua, ya."

Gadis yang tengah disibukkan dengan sedotan dan air minum kemasan itu menghentikan kegiatannya sejenak. "Jelas dong. Ivory kan kepingin punya kakak cowok. Eh, ternyata beneran dikasih. Harus nempel terus, biar gak kabur."

Celetukan yang dilontarkan Ivory selalu sukses membuat ibunya tertawa. "Kalo nempel terus, Joshua malah takut, kabur dari kamu."

"Gak. Bo. Leh." Ivory menatap tajam ke arah Joshua dan kembali berkutat dengan sedotan yang tak mau menembus lapisan plastik air minum.

"Mulai sekarang panggilnya Mama, ya. Jangan panggil Bibi lagi. Kamu ngobrol dulu aja sama Ivory. Mama siapkan makan siang, nanti kamu harus ikut makan di sini," ujar sang ibu sebelum meninggalkan ruang tamu.

"Iya, Ma."

Joshua menatap Ivory yang masih belum selesai berurusan dengan sedotan. "Need some help?"

"Tusuk sendiri, minum sendiri. Pasti capek habis ngomong panjang lebar," ucap Ivory yang memilih menyerah dan menyodorkan air minum beserta sedotan bandel ke Joshua.

"Thanks." Dan hanya dengan sekali coba, Joshua sukses menusukkan sedotan itu.

Ivory duduk diam, menunggu Joshua menyelesaikan minumnya. Merasa tidak sabar karena masih ada satu hal lagi yang belum mendapat penjelasan.

"Mau tanya sesuatu?"

"LINE."

Joshua mengangguk pelan. "Karena aku dipersiapkan untuk kembali hidup, segala hal yang aku punya di alam perantara langsung dibersihkan. Termasuk akun LINE."

Bingung harus memberikan respon apa, Ivory mengerucutkan bibirnya. "Mm... Maaf. Aku pikir ada hal yang.. Buruk terjadi. Atau.. Entahlah."

"Nggak perlu minta maaf. Harusnya aku yang minta maaf, udah bikin kamu khawatir."

Besarnya dorongan untuk memeluk Joshua berhasil menggerakan tubuh Ivory, memenuhi keinginan hatinya. Joshua sendiri tak menolak, justru merasa gemas.

"Shou... Di sini berapa lama?" Suara Ivory begitu pelan, hampir seperti berbisik. Rasanya lelah, harus berpisah lagi dengan Joshua.

"Seminggu, Ruv."

"Pasti bakal pulang ke sini, kan?"

"Pasti."

"Nggak boleh cuma seminggu doang, loh. Sebulan juga nggak boleh."

Joshua tertawa kecil. "Dua bulan?"

Rengekan Ivory disambut dengan tawa Joshua yang terdengar lebih jelas.

"Iya, nggak cuma seminggu, atau sebulan, atau dua bulan. Tapi selama yang Ruv mau."

Jawaban yang memuaskan. Ivory memejamkan matanya sebelum bergumam pelan.

"Aku akan tunggu kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro