Bab 15
Baca yuk.. mumpung aku baik udah update.. xixixi
-----------------------------------------------------------------------------
Duit itu bisa dicari, kebahagiaan bisa dibentuk. Namun tanpa kamu, keduanya tidaklah berarti.
"Mama ...."
Panggilan itu mengulang-ulang dipikiranku. Perempuan paruh baya yang menjadi ibu dari suamiku, Abel Savian, tiba-tiba saja muncul di outlet, tempatku bekerja. Tatapannya yang terus menilaiku terasa sangat mengganggu.
Aku yang awalnya berniat menggantikan Rama untuk melayani Fadi membeli Iphone 5, tidak berani melanjutkan niat tersebut. Langsung kuberikan kembali Iphone 5 white tersebut kepada Rama. Memberitahukannya lewat tatapan jika kondisiku kini sedang dalam mode gawat.
"Mama ... kok enggak bilang-bilang Ghena mau ke sini?"
Mama tidak menjawabnya. Dia sibuk memberikanku penilaian. Tampilanku yang acak-acakan serta tidak menggunakan alas kaki, semakin membuatnya curiga.
Sangat memahami apa yang salah di sini, segera aku putar arah. Kembali ke dalam gudang untuk memakai sepatuku. Sofi yang melihat perubahan ekspresiku, mengerutkan kedua alisnya. Dia mengikuti gerakanku keluar dari outlet dan menyadari jika ada mama mertuaku di sini.
Kenapa dia tahu?
Karena sebelum Abel dan aku menikah, mama mertuaku ini juga sudah pernah datang ke toko ini.
Setelah kulihat tampilan ini lebih baik, aku mendekati mama mertuaku kembali. Dan sengaja melewati Fadi tanpa melihatnya.
"Mama kenapa enggak ngomong mau ke sini?" Kuulangi lagi pertanyaan yang sama, agar dia tahu aku belum mendapatkan jawabannya.
"Mama enggak sengaja lewat. Sekalian sama papa dan Elin. Mereka lagi di resto bawah. Dan mama niatnya mau ajak kamu ke sana," ucapnya dengan sangat jelas.
Walau kini posisi kami saling berhadapan, namun aku sangat menyadari tatapan mama tertuju ke arah Fadi yang posisinya berdiri di belakangku.
"Kamu enggak sibuk, kan?" selidik mama mertuaku.
"Ah, Ghena bisa izin sebentar, Ma."
"Ya sudah, coba minta izin sebentar untuk makan."
Masih dengan kondisi kikuk, aku berjalan kembali mendekati Sofi. Berbisik kepadanya untuk meminta izin. Untung saja aku memiliki store head seperti Sofi. Dia memang store head idaman semua orang.
"Yuk, Ma."
Aku merangkul lengannya, yah bersikap seperti saat bersama mamaku, sambil berjalan menuju resto yang sudah ditunggu papa mertuaku dan juga Elin.
"Tadi di outlet itu siapa?"
Tanya mama mertuaku yang kelihatannya sudah dia tahan sejak tadi.
Langkah kami sama-sama terhenti di depan lift kaca yang belum terbuka. Menunggu untuk menjemput kami ke bawah, aku mencoba untuk menjawab semua pertanyaan yang mama ajukan. Kulihat dia sudah begitu penasaran. Mungkin efek tatapan Fadi yang intens terhadapku, membuat mama yakin jika orang itu bukan sekedar customer biasa.
"Yang mana, Ma?"
Ngeles dikit enggak papa, kan?
"Yang cowok lihatin kamu terus itu."
"Oh ...." Aku memasang senyum, sambil bersidekap. Aku bergaya seperti ini bukan berarti mau menantang mama mertuaku. Hanya saja aku ingin bersikap biasa saja. Tanpa terlihat gugup dimatanya.
"Dia, Fadi. Temen Ghena. Abel juga kenal sama dia," kataku tanpa ada kebohongan.
Memang hubunganku dengan Fadi kini hanyalah teman. Dan sebelum aku memiliki hubungan dengan Abel, sampai menikah seperti sekarang ini, aku yakin Abel tahu siapa Fadi.
Jadi rasanya jawabaku tadi bukanlah kebohongan.
"Oh, temennya Abel? Tapi kok mama belum pernah lihat dia main ke rumah?"
"Bukan teman dekat sih, Ma. Yah, semacam teman kenal aja."
"Oh gitu. Tapi kok tatap kamunya?" tanya mama mertuaku terlihat sangat risih.
Disaat pintu lift terbuka, kupersilakan mama mertuaku masuk lebih dulu. Dengan adanya jeda waktu ini, aku memacu otakku untuk memberikan jawaban yang sangat jelas, tanpa membohonginya.
"Yah mungkin aneh aja dia mikirnya, aku tiba-tiba panggil Mama. Dia pikir Mama juga customer lain gitu."
Aku mencuri-curi ekspresi yang ditampilkan mama mertuaku. Untung saja dia menerima. Kalau tidak, aku yakin semakin banyak ditanya, jawabanku akan semakin kacau.
"Tuh Elin sama papa," tunjuk mama mertuaku ke sebuah resto ikan yang persis berada di lantai bawah, bersebrangan dengan outletku.
Sebelum masuk ke dalam resto, aku sengaja melihat ke atas, di mana outletku berada. Ternyata ada Fadi di sana, sibuk menatapku juga.
Buru-buru aku masuk, dan menutupi semuanya dari mama mertuaku. Jujur saat ini aku tidak mau ditanya macam-macam lagi.
***
"Kamu enggak tinggal sama kita aja, Ghe? Abel kan masih di Surabaya sekarang. Lagi juga dia titip kamu ke mama, dan mama kan susah kalau harus bolak balik ke rumahmu. Gimana?"
"Gimana ya, Ma? Soalnya aku juga sekarang sibuk kerja sambil kuliah. Kalau aku tinggal di rumah Mama, aku harus bawa semua buku-buku kuliahku. Kamus-kamus pemrograman, dan buku praktikum yang enggak sedikit itu. Dan jadinya bakalan ribet banget. Mungkin sabtu atau minggu aku bisa nginep di rumah Mama. Atau pas waktu aku libur kerja. Tapi biasanya kalau aku enggak kerja, aku bakalan ada di kampus seharian. Jadi susah juga," ucapku melemah diakhir.
"Emang kamus-kamus kuliah yang dulu Abel pakai, enggak bisa kamu pakai?"
"Ah? Enggak tahu juga, Ma. Kalau mata kuliahnya beda, ya jelas enggak bisa."
"Ma ... udahlah. Kak Ghena enggak mau Mama ajak tinggal di rumah. Maksa banget sih."
"Elin!"
Kalau soal anak bontotnya ini, papa mertuaku pasti langsung ngegas. Sekali Elin bicara macam-macam di depannya, pasti papa akan memanggil nama Elin penuh penekanan. Sampai gadis, eh benar kan gadis, diam tidak bersuara lagi.
"Ya sudah. Pokoknya sempatin main ke rumah, ya. Kalau memang kamu mau main, bilang aja. Nanti mama minta papa jemput."
Aku melirik papa mertuaku, tersenyum dan mengangguk. Mirip menantu-menantu yang sayangabel banget, kan? Eh, sayangable maksudnya.
Saat menikmati menu makanan yang disajikan, aku sedikit lebih tenang. Karena tidak ada pertanyaan, atau sindiran-sindiran jahat dari adik iparku. Ah, beruntungnya. Rasanya jika aku tidak tahu malu, aku ingin meminta porsi ganda untuk kumakan sore nanti.
"Mau tambah, Ghe?"
"Ah?"
"Ini kamu mau tambah kentangnya? Kentang kamu udah habis. Pesan lagi sana. Atau ini ambil dari mama aja kebanyakan."
"Ah, jangan, Ma. Udah cukup kok."
"Elin juga mau tambah, Ma."
"Ya udah pesan lagi aja. Kamu sama Ghena. Ghena mau pesan yang mana. Tanya dulu tuh."
Elin melirikku sinis. Tapi sayangnya aku tidak peduli. Selama ada makanan, aku tidak peduli diia mau julid ke aku sampai berjilid-jilid pun akan aku ladenin.
"Aku Fish and Chips aja, Lin."
Tanpa ditanya, aku sudah mengatakan lebih dulu menu apa yang mau kupesan. "Sama lemon teanya, yak."
Dengan senyuman yang paling lebar, aku melirik papa dan mama mertuaku.
Enggak ada namanya doa tolak rezeki. Mumpung dibayarin, kenapa enggak dimanfaatin?
"Iye."
Nadanya sedikit sewot, tapi tetap mencatat menu yang kuminta. Elin ... Elin, sekalipun dia hanya adik iparku, memangnya disangka aku takut sama dia?
continue...
Kesayangan achuuuuuu...... mumumumu....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro