Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14


Main-main sih boleh aja, asal tahu kapan waktunya pulang ke rumah tanpa lupa arah.


Si borokokok! Kenapa tuh orang datang lagi. Dari jauh ekspresinya udah cengar cengir waktu melihat aku sedang berdiri di depan outlet yang sepi. Walau weekend namun entah ke mana perginya para pengunjung yang kadang hanya keseringan lihat-lihat saja, tapi enggak beli. Biasanya sih kalau sudah dimulai dari kesunyian begini, sampai malam akan terus sepi. Coba saja lihat sampai nanti. Apakah benar atau aku yang terlalu percaya diri.

Tapi ngomong-ngomong soal percaya diri, ngapain ya tuh orang datang lagi ke dalam hidupku? Setelah hampir seminggu kemarin kami tidak sengaja bertemu di toko baju, dan berakhir dengan dia mentraktir aku makan, kali ini ada apalagi?

Posisi kali ini benar-benar tidak membuatku nyaman, karena dia sengaja datang berkunjung bukan seperti tempo hari yang kita tidak sengaja bertemu. Apa mungkin ada yang penting?

"Ghe ...."

Suara serak yang dulu selalu kudengar mulai memanggil namaku. Dia masih tersenyum sampai Rama yang sedang berdiri di sampingku terkaget-kaget melihatnya.

Rama, dan tim outlet lainnya, cukup mengenal bagaimana tampangnya si Kang Dadang yang dulu selalu aku bicarakan. Walau  ketika aku mulai bekerja menjadi sales, dan dia alias si kang Dadang atau Fadi, sedang berada di  luar negeri untuk menjalani kuliahnya yang tidak selesai, namun tetap saja foto-foto Fadi sudah menjadi konsumsi publik teman-teman outletku. Maka dari itu, melihat Fadi datang, memanggil namaku dengan senyuman penuh arti, cukup membuat kaget Rama.

"Kang Dadang  lo, kan?"

"Ish, masa lalu."

"Waduh, ngapain dia ke sini? Dia tahu suami lo lagi dinas luar kota? Gila, radarnya kenceng juga."

"Apaan sih lo, Ram!!" amukku sambil memukul bagian lengan Rama.

Karena aku tidak ingin menimbulkan keributan, buru-buru aku mendekati  Fadi. Menariknya menjauh dari outlet agar tidak ada yang membicarakan kami. Akan tetapi sepertinya semua akan percuma. Ketika aku melirik ke arah belakang, dimana langkahku sudah menjauhi outlet, aku melihat Rama sudah memanggil yang lainnya. Mereka semua kini kompak mencurigai gerak gerikku yang sibuk menyeret Fadi dengn status MANTAN.

"Kenapa sih narik-narik begini?" tanya Fadi bingung.

"Loh, elo enggak sadar kenapa gue begini?"

"Enggak."

"Ish, ngeselin. Lo ngapain tiba-tiba datang, senyam senyum, panggil nama gue. Kan gue udah bilang, gue ...."

"Udah nikah, kan?"

"Iya.  Terus? Lo ngapain masih datang aja."

Seolah lupa dengan status kami sekarang, Fadi dengan seenaknya mengacak rambut panjangku yang tergerai.

Tuh kan... udah lama enggak dibelai, sekalinya dibelai malah jadi kayak jablay.

"Gue mau beli HP. Gue inget lo kan sales HP, makanya gue ke sini langsung. Kenapa gue enggak kabarin dulu, takutnya lo nolak. Padahal gue juga datang cuma mau beli HP, enggak mau ngecengin lo. Dih kan, PD banget lo."

"Ya habisnya ...."

"Habisnya kenapa?" desak Fadi menunggu jawabanku.

Kepalaku respon menggeleng. Aku kembali berputar arah, berniat menuju outlet sambil menghapus pikiran bodohku ini. Namun kata-kata lanjutan yang keluar dari mulut Fadi membuatku diam membeku.

"Andai saja kamu memberitahuku apa yang harus aku perbaiki sejak awal, mungkin sekarang kondisi kita tidak seperti ini."

Mengembuskan napas berat, aku meliriknya. Wajahku jelas sekali kesal. Karena menurutku sangat percuma dia mengatakan hal ini sekarang. Dulu-dulu dia ke mana saja? Dia tidak tahu betapa terlukanya aku waktu itu.

"BASI KATA-KATA LO!"

Menjawabnya dengan penuh penekanan, aku tidak ragu melangkah pergi. Karena menurutku amat sangat percuma mendengar kata-kata manisnya, karena nasib kami tidak akan pernah bisa berubah lagi.


***

"Kok bukan kamu yang jualin, Ghe?" tanya Sofi ketika aku membiarkan Rama untuk membantu Fadi memilih HP.

Mungkin Sofi sadar ekspresiku sudah berubah ketika kembali ke outlet tadi. Apalagi ditambah aku menyia-nyiakan penjualan disaat weekend seperti sekarang ini, sungguh bukan seperti aku yang biasanya. 

Karena itulah ketika dia melihat aku masuk ke dalam gudang, Sofi mengikutinya. Dan mulai bertanya kenapa aku seperti ini, seolah sangat tidak profesional dalam bekerja.

"Enggak papa, Mbak. Aku cuma lelah," jawabku sambil melepas heels sembarang.

Tanpa pikir panjang aku langsung duduk di lantai gudang yang dingin, bersandar lemah pada teralis besi yang dibuat mengelilingi gudang demi keamanan. Mungkin wajahku kini sudah begitu pucat, karena mendadak kepalaku terasa sangat sakit. Rasa dingin AC yang semakin menjadi membuat tubuhku semakin meringkuk.

Aku memeluk kedua kaki ini, dan membiarkan bagian pahaku begitu saja terbuka. Rok pendek hitam yang menjadi seragam dari toko ini sama sekali tidak berguna. Pahaku dengan bebas terbuka ke mana-mana seolah memang ini tujuannya dibuat seragam dengan ukuran yang minimalis.

"Nih pakai," ucap Sofi sambil melemparkan jaketnya untuk menutupi kedua kakiku yang terbuka.

Dia bersidekap, memandang aku yang semakin lemah tidak berdaya.

"Aku enggak tahu ada masalah apa kamu sama dia. Tapi kalau kedatangan dia malah membuat kamu kayak gini, mending diam-diam aja di gudang, enggak usah keluar. Biar Rama aja yang gantiin."

Pengertian. Satu kata yang terucap berulang kali untuk Sofi. Tidak salah bila dia dipercaya menjadi store head di toko ini. Karena sejujurnya pemikiran Sofi jelas jauh lebih dewasa dibanding Rama yang usianya lebih tua dari kami.

"Pada ngapain dah, rame tuh?"

Rama tiba-tiba masuk, mendorong pintu gudang yang beratnya minta ampun. Dia langsung sibuk seperti mencari-cari barang, namun tidak ketemu. Lalu mengecek list stock barang pagi ini yang aku kerjakan tadi.

"Kayaknya ada stock Iphone yang 5 white deh. Kok ini enggak ada ya?"

Aku melirik Rama penasaran. Siapa yang mau beli iphone?

"Siapa yang mau beli iphone?" Sofi yang mewakilkan pertanyaanku.

"Tuh, kang Dadangnya Ghena!!"

WHAT? Fadi mau beli Iphone.

Ini gila sih. Enggak kebayang duit dari mana dia. Secara orangtuanya udah habis-habisan biayain dia, dan bayarin kartu kredit sampai over limit waktu dia kuliah di Singapura. Lah ini bisa-bisanya tuh anak beli HP Iphone kayak beli kacang goreng?

"Sini biar gue aja yang layanin!!"

Rasa kesal seperti ingin meledak di hatiku. Kondisi tidak terima yang dulu selalu diperdaya, seperti meminjam uang, dan dijanjikan hal manis, mungkin sebagai alasan kemarahanku saat ini.

Lalu sekarang, bisa-bisanya dia beli barang mewah dengan mudahnya. Enak saja dia!!

"Eh, kok jadi lo yang layanin?" sahut Rama tidak terima. Mungkin pikirannya setelah mengeluarkan banyak tenaga untuk menjelaskan sampai Fadi deal untuk membeli Iphone, bisa-bisanya aku mengambil sales jualan dia.

"Apaan sih, nanti nama salesnya tetap lo. Gue cuma mau pastiin aja, ini anak kagak ngepet. Secara bokap nyokapnya udah blockir seluruh aliran dana untuk dia. Eh, bisa-bisanya dia sekarang beli hp mahal. Nipu cewek mana lagi dia?"

Emosiku sangat tidak terkontrol. Setelah mengambil kotak iphone itu, aku buru-buru keluar dari gudang dan berniat ingin menyembur Fadi dengan segala emosi yang kurasakan. Bahkan sepatu heels yang tadi kulepas belum aku pergunakan kembali. Langkahku sudah keluar mencari sosok Fadi yang sangat menyebalkan  itu.

"Faa ... di," panggilku melemah diakhir. Ada seseorang yang kukenali berhasil membuatku bungkam.

Pertama-tama aku mengalihkan arah tatapanku. Namun amat sangat kurang ajar jika aku mengabaikannya. Hingga akhirnya manik mata kami bertemu, kemudian arah tatapannya naik dan turun, seakan sedang melihat bentuk tampilanku kini. Walau tidak ada kata-kata yang dia ucapkan, aku tahu dia sedang menilai diriku dari sudut pandangnya.

"Mama ...."


continue...

waduuhhh... mampuyyyy...

mamanya sopo iki????

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro