Bab 5. Sudah keterlaluan
Terima kasih yang udah baca kisah Abel dan Ghena.
Aku bahagia banget lihat kalian larut dalam kisah ini..
Semoga masih setia sampai ending nantinya..
Aku diam bukan berarti aku menerima semuanya. Hanya saja aku sedang menunggu bagaimana responmu selanjutnya.
Di sepanjang jalan menuju hotel, senyum di bibirku tidak henti-hentinya meredup. Bahkan ekspresi kesal di wajah bi Ida semakin menambah kesenanganku ketika Abel mengatakan kepada semua keluarganya kalau kami akan menginap di hotel saja malam ini.
Untung saja tidak ada serangan lanjutan dari mereka. Kan tidak lucu kalau tiba-tiba bi Ida meminta untuk ikut menginap di hotel. Akan terasa semakin aneh jika hal tersebut terjadi.
"Kenapa kamu?" tanya Abel bingung ketika melirikku di kursi belakang.
"Enggak. Enggak papa." Aku sengaja menjawabnya masih dengan senyuman yang benar-benar menggambarkan kebahagiaan. Karena sebenarnya aku sengaja bersikap seperti ini, hanya ingin Abel tahu kalau aku risih dengan semua keluarganya yang menyebalkan. Yah, kecuali bi Wis. Mungkin karena beliau sudah terlalu tua, sehingga lebih netral di penilaianku.
"Yang, dulu tuh bi Ida kerja apaan sih? Dia dulu kerjanya di Jakarta, yak?"
"Dulu dia tinggal sama papaku di Jakarta waktu dia masih sekolah. Kebetulan waktu itu papaku dulu udah kerja, jadinya bisa biayain dia sekolah. Terus waktu selesai sekolah, ditanya mau kuliah apa enggak, dia milih kursus."
"Kursus?" ulangku tak yakin benar.
"Iya, kursus salon gitu kalau enggak salah."
Jawaban dari Abel membuatku harus putar otak untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan pekerjaan yang dulu dimiliki oleh bi Ida.
Kalau benar dia kursus salon, berarti dia....
"Dia kerja di salon?"
"Hm. Dari dulu kerja di salon. Terus pernah buka salon sendiri dulu, dimodalin kakek. Cuma ya gitu, kurang ditekunin jadinya enggak berkembang."
Oh, jadi kerjanya di salon? Ya ampun, kemana aja aku selama 7 tahun ini. Masa aku baru tahu pekerjaan bibinya Abel itu.
Hm, lagi-lagi karena aku terlalu cuek dengan keadaan di sekitarku. Entahlah tanpa sadar semuanya memang kulakukan. Jikalau orang itu tidak menyenggolku, dalam artian menggangguku, maka aku tidak akan peduli kepadanya.
Dan bi Ida ini sebenarnya bukan baru-baru saja aku bertemu dengannya. Sudah beberapa kali, jika dia ke Jakarta, pasti kami akan bertemu. Hanya saja, biasanya aku tidak terlalu menyadari sikap menyebalkannya itu.
"Kenapa kamu tanya-tanya dia?"
Aku tersenyum lebar ke arah tatapan Abel, kemudian menggeleng. "Pengen tahu aja. Bukannya tak kenal maka tak sayang. Takutnya nih aku udah salah nilai duluan, sebelum kenali seperti apa sosok bi Ida sebenarnya."
"Kamu tuh kalau udah enggak suka sama orang, kelihatan banget, Yang. Tatapan kamu enggak bisa bohong."
"Eh, masa sih?"
"Iya. Untung aja bi Ida setipe sama kamu, enggak pedulian. Mau diomongin apa juga, enggak bakalan dia pikirin."
"Dih, aku enggak gitu ya. Enak aja nyamain sama hal-hal buruk."
Aku menepis semua tuduhan Abel kepadaku. Kulihat wajah tersenyum Abel benar-benar menyebalkan karena berhasil membuatku marah. Kita lihat saja, masih berani dia senyum begitu lagi, aku bales nanti dia.
***
Setelah melihat 2-3 hotel terdekat dari rumah saudara-saudara Abel, akhirnya kami menginap disalah satu resort ternama, grand zuri resort yang kebetulan sedang ada diskon.
Langsung saja tanpa pikir panjang, Abel memutuskan untuk cek in, agar Agil dan Phyra bisa nyaman tertidur. Apalagi hari yang sudah hampir pukul 11 malam, membuat tubuh kami pun benar-benar lelah.
"Aa Agil, bangun dulu yuk. Bersih-bersih dulu, baru tidur."
Aku membangunkan Agil saat mobil Abel sudah terpakir di depan resort tempat kami menginap malam ini. Udara yang cukup dingin, berbeda dengan Jakarta, membuatku khawatir Agil dan Phyra akan sakit jika terlalu lama berada di luar begini.
Karena itulah, setelah pintu kamar kami terbuka, aku langsung meminta Agil masuk, mengganti pakaiannya, lalu lanjut tidur. Sedangkan Phyra, bayi perempuan ini malah terbangun ketika kami sampai.
Benar-benar tidak tahu waktu.
"Aa, enggak usah mandi ya. Cuci tangan, kaki, sama cuci muka aja. Terus ganti bajunya. Minta bajunya sama papa."
Aku langsung memperingatkan Agil ketika anak laki-lakiku itu sudah berjalan masuk ke dalam toilet.
Setelah Phyra lahir, memang Agil jauh lebih mandiri. Jika sebelum-sebelumnya selalu dibantu oleh aku, tapi kini, hampir 2 tahun, dia bisa melakukan semuanya sendiri. Yah, walau masih harus aku atau Abel pantau. Namun apapun yang Agil lakukan benar-benar sangat membantu.
"Pa, keluarin bajunya Agil dong. Kasih celana training aja sama kaos. Jangan celana pendek. Nanti masuk angin dia."
Tidak mengeluarkan satu katapun, Abel seakan paham atas perintahku itu. Dia memilihkan baju untuk Agil, setelah semua barang-barang di mobil berhasil dia keluarkan.
Sedangkan aku sendiri, sudah disibukkan mengganti pakaian Phyra yang tidak mau diam sedikitpun.
"Dek, diem dong. Udah malam ini. Mama kan mau mandi."
Berhasil menggantikan pakaian Phyra, kulihat Abel sibuk membantu Agil berpakaian, dan kemudian suamiku itu mulai bergerak ke arah meja dalam kamar ini. Membuatkan segelas susu untuk putranya sendiri.
"Udah, bobo. Bobo. Jangan main-main lagi."
Aku memperingati kedua anakku. Jika Agil langsung menurut, berbaring di atas ranjang, menunggu susu yang Abel buatkan sambil menonton TV, sangat berbeda jauh dengan Phyra. Bayiku itu malah berjalan ke sana ke sini dengan sepasang kaus kaki yang kupakaikan tadi.
"Adek. Nanti jatuh."
Menanggapinya dengan senyum, Phyra malah duduk di lantai, mencubit beberapa semut yang lewat di depannya.
Benar-benar keterlaluan.
"Kamu mandi duluan sana. Biar anak-anak sama aku dulu."
Titah Abel mulai keluar. Sebelum menurutinya, aku menatap Phyra sebagai ancaman agar bayi itu tidak macam-macam selama dijaga oleh Abel.
Tapi sayangnya, baru 1 menit aku masuk kamar mandi, Phyra terdengar menjerit. Lagi-lagi dia menangis ketika tidak melihat aku dimalam hari. Aduh, gusti. Apa sesulit ini memiliki waktu hanya untuk mandi saja?
"Ma, Phyra nangis nih."
Ketukan kencang dari arah pintu toilet, menghentikanku untuk mandi. Kran shower langsung segera kututup, kemudian aku mengambil handuk, melilit tubuhku sebelum membuka pintu.
Ekspresi sebal aku hadiahkan untuk Phyra yang masih terisak dengan air mata palsu.
"Buka aja pintunya, biar anaknya lihat."
Abel kembali memberi titah yang tidak mungkin kutolak. Namun ketika dia ingin menyerahkan Phyra padaku, buru-buru kutolak.
Bukan karena aku enggak sayang dengan putriku, tapi please deh, Phyra sudah kugantikan baju, masa iya dia harus kugendong dengan tubuh basah begini.
"Kok dikasih ke aku sih? Aku kan lagi mandi. Gimana sih kamu. Heran deh. Pegang dulu apa anaknya sebentar. Udah tahu Phyra baru aku gantiin baju, masa kena air lagi."
"Ya tapi anaknya nangis, Ghe."
Tuh, kan! Mulai deh. Kalau Abel sudah memanggilku dengan nama, itu tanda-tanda dia emosi juga.
"Enggak. Dia enggak akan nangis lagi. Pintunya juga aku buka, kan? Udah kamu gendong dulu. Aku belum selesai, yang. Ih, kamu mah gitu banget. Heran."
Baru ketika Abel ingin membalas kalimatku, suara dering ponselnya terdengar. Dia melirik sekilas ke arah ponselnya itu yang ada di atas meja. Kemudian sialnya, ketika Abel ingin melangkah ke sana, Phyra kembali menangis. Mengeluarkan air mata palsunya, dan meminta aku untuk menggendong dia saat ini.
"Ih, udah buruan angkat tuh teleponnya."
Aku menggerutu sebal. Menerima Phyra ke dalam gendonganku, dan membiarkan Abel menerima panggilan teleponnya.
Sejenak kulihat Abel terdiam sebelum mengangkatnya. Lalu saat Abel menyebut satu nama sebagai sapaan awal, aku rasanya ingin berteriak memaki orang itu saat ini juga.
"Assalamu'alaikum, bi Ida. Kenapa?"
Bi Ida lagi? Itu orang kenapa deh? Bisa-bisanya masih menganggu orang lain tengah malam begini.
"BI IDA TERUS!!"
continue..
Whakakakaa.. Bi ida terus.. 🤣🤣🤣🤣
Ajib sih emang.. Sumpah nulis ini tuh antara emosi, ngakak, dan malu sendiri.. Hahahaa
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro