Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 40. Tak bisa dipendam

Jangan lupa kalian like juga video terbaru aku di youtube yak.. 😁😁😁

Semua orang hanya tahu bagaimana kita bahagia, tapi mereka tidak ada yang tahu bagaimana sulitnya kita menutupi kesedihan kita di depan mereka semua.

Keluar dari kamar mama mertua, wajahku begitu sembab, merah dengan mata bengkak. Saat beberapa langkah aku mendekati Abel, dia langsung memelukku. Mencium puncak kepalaku hingga aku kembali menangis. Bibir Abel terus berbisik kepadaku, mengatakan banyak pujian untukku. Di antaranya, bila aku adalah perempuan terbaik yang dikirim Tuhan untuk menemaninya disaat-saat seperti ini. Sampai rasanya dia benar-benar bersyukur pernah memperjuangkanku dari laki-laki lain.

"Tolong jangan marah dengan mama lagi. Dia butuh kamu, Yang. Dia butuh anaknya. Aku pun akan seperti itu ketika Agil dan Phyra jauh dariku. Aku pasti akan sedih, sama seperti dia. Jadi tolong, Yang. Tolong jangan jauhi mama kamu lagi."

Dalam pelukan Abel, aku terus merengek. Memintanya untuk tetap di sisi mamanya di masa tua seperti ini. Apalagi mama Abel tinggal sendiri, tentu saja tidak ada lagi yang bisa dia harapkan selain Abel. Lalu jika Abel kecewa seperti kemarin, tentu saja dia yang paling terluka.

"Enggak, Yang. Aku enggak akan ninggalin mama lagi."

"Jadilah anak yang terbaik untuknya, supaya Agil dan Phyra bangga memiliki papa seperti kamu, Yang."

Saat kupeluk erat Abel, aku bisa melihat ada bi Ida yang tersenyum ke arah kami. Di tangannya ada secangkir teh hangat yang akan dia antarkan ke dalam kamar mama.

Aku pun sekarang semakin sadar, seburuk-buruknya bi Ida, dia tetap keluarga Abel, dan itu berarti keluargaku juga.

Meskipun beberapa cara yang dia lakukan membuatku sebal, atau bahkan marah, namun semuanya hanya kembali bagaimana sudut pandang menilainya. Jika aku ikhlas, dan aku tidak selalu berpikiran buruk kepadanya, aku yakin bi Ida bukan termasuk ke dalam musuhku. Karena lihat saja apa yang dia lakukan sekarang, semuanya murni bergerak dari hatinya. Dan harusnya aku berterima kasih kepada bi Ida yang sudah merawat mama mertuaku selama beberapa hari ini.

"Sebelum pulang, aku mau beli makanan dulu buat mama sama bi Ida. Kamu mau makan apa? Sekalian aja kita makan di sini."

"Aku apa aja. Yang penting makannya sama kamu."

Terlihat malu-malu, Abel malah mengusap kepalaku sebelum dia pamit kepada mamanya dan juga bi Ida untuk membeli makanan.

Sudah jarang sekali memang dia mengusap lembut kepalaku seperti waktu pacaran dulu. Tapi kini, ketika dia melakukannya lagi, rasanya aku seperti flash back, mengulang kembali memori yang sempat terlupa karena banyaknya masalah akhir-akhir ini.

"Aku jalan dulu ya."

***

Tidak sampai 10 menit Abel pergi, kupikir Abel sudah kembali saat mendengar suara motor yang berhenti tiba-tiba di depan rumah ini.

Aku yang sedang menghubungi mamaku, untuk menanyakan kondisi anak-anak, sengaja mengintip dibalik jendela sambil memastikan apakah itu Abel atau bukan. Namun nyatanya waktu aku melihat, kedua mataku langsung terfokus kepada perempuan yang turun dari motor itu.

Bukan. Bukan karena perempuan itu maling atau pelaku kejahatan. Tapi karena perempuan itu adalah Elin, adik Abel yang sudah menyebabkan banyak keributan di sini. Dan bisa-bisanya dia kabur, dan kembali seenaknya seperti sekarang.

Karena itulah, emosiku yang tadinya tidak ada, tiba-tiba aja muncul. Segera kututup panggilan teleponku, lalu keluar untuk menyambut kedatangan Elin dengan sumpah serapah.

"Masih berani ya lo datang? Sumpah enggak tahu diri banget lo. Kelakuan lo bener-bener keterlaluan."

Aku mendekatinya dengan makian yang tidak henti-henti. Kudengar bi Ida berteriak dari dalam rumah karena mendengar suaraku. Dia langsung menarikku, menjauhkan aku dari Elin.

"Ya ampun, Ghe. Istighfar. Udah atuh."

"Biarin aja, Bi. Biar dia tahu, semuanya hancur gara-gara dia. Biar dia sadar gara-gara kelakuan dia, mama jadi sakit. Biar dia paham, enggak cuma dia aja yang butuh diperhatikan. Heran aku. Perasaan mama sama almarhum papa tuh enggak kayak gini kelakuannya. Tapi kenapa ini anak enggak bisa diatur banget!!!"

"Udah nyusahin orangtua, eh, nyusahin aa nya juga yang udah punya keluarga. Heran banget aku. Kok ada ya manusia seburuk ini di dunia. Kerjaannya cuma nyusahin doang. Dari belum nikah, sampai sekarang cerai, enggak ada baiknya kelakuan lo!!!"

Kutunjuk-tunjuk wajah Elin dengan jariku. Sengaja kutantang dia biar dia tahu kalau aku bisa marah.

Tapi sayangnya, kemarahanku dibalas kasar oleh Elin. Tangannya dengan lincah mendorong badanku. Untung saja ada bi Ida yang berdiri di belakang. Kalau tidak mungkin aku sudah terjengkang ke belakang karena kelakuan dia.

Entahlah, apakah ini sebuah kelebihan atau kekurangan, yang jelas kalau aku marah aku tidak pernah main fisik. Yah, mungkin yang kemarin nampar Elin pengecualian. Lalu yang kedua, kalau aku marah, aku juga yang bakalan nangis. Jadi tungguin aja, pasti aku yang kalah dalam perdebatan ini.

"EH, NYADAR YA. YANG ORANG LUAR ITU SIAPA. BERANI-BERANINYA NGOMELIN GUE."

"Elin. Udah. Cukup. Mama kamu lagi sakit di dalam. Jangan ribut terus atuh!!!"

Makian dari bi Ida sama sekali tidak memberikan efek jera. Elin malah semakin menjadi. Dia hampir saja mencakar mukaku, kalau laki-laki yang berdiri di belakangnya sejak tadi menghalau cakaran itu.

"Aahh."

Bibir laki-laki itu meringis, dia menatap menatap Elin dengan kesal.

"Sumpah ya lo emang enggak pantas jadi anak dikeluarga ini."

Aku cuma bisa bergumam. Antara sedih, dan juga kesal, bercampur satu di hatiku.

Sampai rasanya aku ingin menangis, terburu-buru aku kabur dari perselisihan ini. Aku tidak ingin terlihat bodoh karena menangisi Elin dengan kelakuan buruknya.

"PERGI LO DARI SINI. JANGAN CAMPURIN URUSAN KELUARGA GUE. LO ENGGAK PANTES NIKAH SAMA KAKAK GUE. LO PEREMPUAN MUNAFIK, GHENA. LO TERLALU BURUK UNTUK KAKAK GUE. JADI PERGI JAUH-JAUH SANA. PERGI!!!"

Kembali kutatap wajah Elin. Wajah adik perempuan dari laki-laki yang benar-benar kucintai.

Di sini posisiku akan selalu kalah. Kalah karena aku tidak bisa berlaku kasar kepadanya. Apalagi setelah menikah dengan Abel, dia juga menjadi adikku. Adik yang harus kudidik dan kusayang.

"Mungkin karena sikapmu ini, aku pernah membenci mama mertuaku sendiri. Tapi sekarang aku paham, siapa yang seharusnya benar-benar kubenci."

Semakin banyak langkah yang kulakukan untuk masuk ke dalam rumah, semakin banyak juga makian yang keluar dari mulut Elin. Dia seakan tidak sadar, semua kalimat buruk yang dia katakan kepadaku sangat pantas diarahkan kepadanya.

"Ghe...."

Dengan wajah yang pucat, mama mertuaku mengintip dari balik kamarnya. Sedikit tertatih dia mendekatiku. Memelukku erat. Bibirnya terus berbisik, membuat tangisku semakin keras.

"Mama menyakitimu demi membelanya. Sekarang mama ingin menyayangimu, sebagai balasan maaf dia kepadamu."

Sesingkat itu kata-katanya, tapi benar-benar menusuk hatiku.

Sampai kapanpun seorang ibu akan tetap membela anaknya. Dan sampai kapanpun, menantu perempuan tetap menjadi orang lain di keluarga suaminya.

Kondisi ini tetap tidak bisa diubah sampai kapanpun.

"Enggak perlu seperti itu, Ma. Aku tetap memaafkan Elin, sekalipun Mama enggak menyayangiku."

Kubalas dengan baik kalimatnya, lalu segera aku bereskan barang-barangku.

Aku ingin segera keluar dari rumah ini.

Continue..
Huhuhuhu..
The last bab besok yaa..
Lebih ke epilog sih..

Btw.. Cerita ghena ini kan series yaa.
- Abel and his little girl
- Ghena and Parent in Laws
- Ghena and Her Enemies

Jadi kalau kalian berkenan aku bakalan bikin series Ghena dan abel lagi, tapi bagian mana yg mau kalian baca?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro