Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 39. Bertahanlah

Mau bagi2 resep versi aku nih..
Dicoba yuk..


Suatu hari jika aku ditanya, apakah lebih baik bangkit dari luka tanpamu? Jawabanku masih tetap sama, sekalipun aku akan terluka lagi, aku tetap memilih untuk bangkit dari luka bersamamu kasih.

Dalam cemas aku menunggu bagaimana akhirnya kondisi Abel dengan mamanya. Aku rasanya ingin menerobos masuk ke dalam kamar itu, untuk tahu setiap rincian kejadian yang mereka berdua alami.

Tapi sampai detik ini masih tidak bisa. Walau bi Ida sudah tidak menahanku lagi, namun tetap saja, aku hanyalah orang lain yang kebetulan kini menjadi istri dari Abel Savian.

Berusaha untuk menenangkan hati ini, aku sibuk mengecek isi ponsel. Kebetulan hari ini aku memang meminta izin untuk cuti demi menemani Abel agar dapat menyelesaikan semua masalah ini.

Namun sayang, walau hari ini aku diizinkan cuti, tetap saja bosku berkomentar ini itu, agar aku dapat membantu melakukan pengecekan meskipun dari rumah. Sumpah aku tidak tahu lagi apakah benar tidak akan pernah ada hak cuti bagi karyawan remahan seperti diriku ini? Buktinya saja, baru satu jam aku tidak masuk, bosku sudah kelabakan ini dan itu. Padahal timnya yang lain, yang masuk di kantor ada, tapi tetap saja selalu aku yang diminta untuk melakukan tugas tersebut.

Kadang kalau ingin perhitungan bisa saja aku sedikit medit dalam transaksi kenaikan gaji setiap tahunnya. Apalagi sebagai karyawan yang begitu diandalkan, bahkan sampai waktu cuti pun diminta untuk bekerja, rasanya sangat pantas untuk meminta kenaikan gaji lebih. Haha, tapi kenyataannya memang tidak pernah sesuai harapan. Gajiku tetap naik pertahun, tapi lebih sering kenaikannya sama atau lebih rendah dibandingkan yang lain. Berarti kerjaan-kerjaan diluar jam kantor begini, apalagi kerjaan diwaktu aku cuti, hanya dihitung sebagai kerjaan loyalitas tanpa batas.

Nasib-nasib. Karyawan remahan memang harus terima nasib kalau masih mau digaji setiap bulannya.

Nanti saya kerjakan, Bu. Saya lagi di rumah mertua saya. Dia lagi sakit sekarang.

Jawaban itu yang aku berikan di grup. Meskipun bosku tidak peduli alasan dibalik aku cuti, tapi setidaknya aku berusaha jujur dengan keadaanku kini.

***

Hampir sejam menunggu, akhirnya Abel keluar. Kedua matanya memerah, seperti habis menangis, tapi senyuman di bibirnya mengembang jelas.

Aku yang menunggu dalam kecemasan langsung mendekatinya. Memeluknya sambil berharap Abel akan menceritakan semuanya.

"Mama mau bicara sama kamu, Ghe."

Kalimat itu yang muncul pertama di bibir Abel. Sontak langkahku terhenti. Di samping Abel berdiri, aku menatap jelas keseriusan wajah suamiku saat ini.

"Mama panggil aku ke dalam?"

"Hm. Dia mau ngomong sama kamu."

Berusaha memahami, kutarik paksa kedua sudut bibirku. Sambil merapal doa dalam hati, aku mencoba untuk memupuk kesabaranku. Walau aku tidak tahu apa yang akan terjadi ketika kami bicara nanti, tapi sudah bisa kupastikan aku akan menangis di dalam sana.

Menangis bukan karena dilukai olehnya. Tapi menangis karena stok kesabaran akan kupakai habis dalam menghadapinya.

"Assalamu'alaikum, Ma."

Aku mengucapkan salam ketika ingin memasuki kamar mertuaku itu. Seumur-umur aku menjadi menantu di rumah ini baru tiga kali aku masuk ke dalam kamar ini. Yang pertama ketika ayah Abel pingsan karena gula darahnya. Lalu yang kedua ketika beliau meninggal dunia. Dan inilah yang ketiga.

Bentuk kamar ini besar. Tapi di dalamnya terasa sangat unik. Terkesan tua, mirip seperti pemiliknya. Apalagi ditambah aroma minyak urut yang terasa jelas, semakin menambah kesan tua.

"Ma.... "

"Kemarilah, Ghe."

Perlahan aku mendekat. Duduk di pinggiran ranjang, lalu dengan cepat menggenggam tangannya yang mulai keriput.

Sebenarnya usia mama mertuaku berbeda 15 tahun dari mama kandungku. Tapi entah kenapa aku melihatnya jauh lebih tua dari mamaku sendiri.

"Ma... kenapa enggak bilang sama Ghena kalau mama sakit? Ghena kan bisa ke sini. Bisa ngerawat mama."

Belum apa-apa saja, air mataku sudah berlinang. Melihat dia yang berbaring dengan lingkaran matanya menghitam, mungkin karena terlalu banyak menangis, aku sudah tidak sanggup menatapnya.

"Mama enggak papa, Ghe. Mama mau minta maaf sama Ghena, kalau mama punya salah. Apalagi dari awal Ghena masuk ke dalam rumah ini, rasanya banyak perlakuan mama yang terkesan salah dimata Ghena. Padahal maksud mama enggak pernah begitu."

Dengan cepat aku menggeleng. Aku memeluk tubuh mama mertuaku. Berbaring di atas dadanya, sambil merasakan debaran jantungnya yang terkesan sangat lambat.

Dulu aku sering melakukan ini kepada mamaku, tapi semenjak menikah, kondisi ini tidak pernah terjadi lagi. Mamaku seakan menjauh, tidak mudah tersentuh, meskipun aku tahu dia selalu melihatku dari kejauhan. Tapi tetap saja, aku rindu memeluknya seperti ini.

Karena itu, saat ada kesempatan dengan mama mertuaku, langsung saja kupeluk dia seperti aku memeluk mamaku dulu. Rasanya sama. Hangat. Dan nyaman.

"Ghena yang mau minta maaf, Ma. Ghena belum sempurna menjadi menantu dalam keluarga ini. Tolong bimbing Ghena terus, Ma."

Terdengar suara tawanya yang berat. Diikuti usapan lembut di kepalaku.

"Ghe.... "

"Terima kasih tidak menjadi pemisah antara mama dan Abel. Terima kasih banyak. Mungkin jika bukan kamu yang menjadi istri Abel, sudah sejak lama Abel ninggalin mama."

"Enggak mungkin Abel ninggalin Mama. Dia sayang banget sama mama. Ghena enggak pernah merebut Abel dari Mama. Dia tetap Abel, anak yang bisa Mama andalkan. Karena Mama sudah besarin dia dengan banyak kasih sayang."

Mengakhiri kalimatku, kami sama-sama menangis. Mama mertuaku semakin memelukku erat. Hingga tak terasa aku membasihi bajunya dengan airmata.

"Maaf, baju Mama basah karena aku."

Dia kembali tertawa. Tapi tawanya benar-benar berbeda. Seperti tawanya dulu ketika pertama kali menyambut kelahiran Agil.

"Enggak papa."

Mama kembali menatapku, menggenggam tanganku sembari memijat-mijat lembut.

"Mama banyak belajar dari kamu, Nak. Jujur saja, perkara Elin, mama sudah tidak tahu harus bagaimana lagi. Semuanya mama serahkan saja sama dia langsung. Biar dia rasakan sendiri bagaimana hidup tanpa sendirian di dunia ini."

Kata-kata yang mama ucapkan terkesan penuh makna. Tatapannya pun kembali sedih. Tapi mama seperti berusaha mengendalikan semua perasaan itu.

"Sekarang mama minta tolong sama kamu. Tolong tetap kuat di samping Abel. Jangan karena kami, mama dan Elin, kamu menyerah menemani langkah Abel dalam kehidupan ini."

Mama semakin paham seberapa tidak sukanya aku pada dirinya dan juga Elin. Sampai-sampai dia memohon seperti ini agar aku tidak meninggalkan Abel hanya karena keburukan mereka.

"Menerima Abel menjadi suamiku, berarti aku sudah siap menerima segala hal tentang dia. Masa lalunya, bahkan keluarganya. Walau luka ini tetap ada, tapi hatiku enggak pernah kecewa memiliki dia, Ma. Ghena akan selalu ingat, Abel bisa sehebat ini karena Mama yang membesarkannya."

Yah, selalu kalimat itu yang terpatri dalam hati dan pikiranku. Meskipun aku menikah diusia yang masih sangat muda, tapi aku tahu menikah bukan hanya tentang Ghena dan juga Abel. Tapi tentang masa lalu Ghena dan masa lalu Abel. Tentang kekurangan Ghena dan kekurangan Abel. Dan juga tentang keluarga Ghena dan juga keluarga Abel yang tidak mungkin kutolak kehadirannya. Semuanya sepaket. Lengkap. Bahkan bahagia dan luka pun selalu datang bersamaan jika kita bisa mensyukurinya.

"Terima kasih, Ma. Terima kasih sudah menjadi ibu dari laki-laki yang benar-benar kucintai."

Continue..
Uwuuu.. Nangis dong..
Spesial untuk mama Ghena dan mamanya Abel, semoga selalu diberikan kesehatan. Diberikan umur yang panjang. Dan diberikan rezeki yang berlebih.
Karena umur panjang pun termasuk rezeki yang tidak bisa diukur dengan uang... Aamiin.. 😭😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro