Bab 36. Saling Membahagiakan
Cek ombak dulu.
Komen dulu sebelum baca. Biar aku tahu berapa org sih yg baca cerita ini???
SExy. Tapiii..
Aku sih masih sexy'an yang bawah iniiiii..
Aku sih yakin, obat luka yang paling mujarab karena orang yang dicinta adalah menyendiri. Enggak percaya? Buktikan saja.
Walau terjadi keributan dengan mamanya kemarin, namun hari ini Abel benar-benar terlihat baik-baik saja. Dia melakukan segala rutinitas hari minggunya dengan sangat baik. Bahkan ketika aku baru bangun tidur bersama anak-anak, rumah sudah dirapikan Abel dengan baik. Mainan Phyra dan Agil yang sering kali berserakan sudah dimasukkan ke dalam box mainan yang aku siapkan di sudut ruang keluarga.
Meskipun masih setengah mengantuk aku benar-benar terkagum-kagum atas segala hal yang Abel lakukan. Dan sekarang ini tinggal giliranku. Mengasuh kedua anaknya, Agil dan Phyra yang sama-sama baru bangun tidur.
"Tumben udah rapi?" Kutanya padanya sambil tersenyum-senyum ketika langkahku melewati Abel yang nampak kelelahan.
Menghentikan sejenak gerakan jarinya di atas ponsel, Abel melirikku. Wajahnya memerah karena lelah. Lalu keringatnya bercucuran, seperti abis melakukan kerjaan maraton.
Seketika perasaan tidak tegaku hadir begitu saja. Aku mendekatinya. Menghapus bulir-bulir keringat di dahinya sambil tersenyum lebar.
"Makasih ya udah dibantuin. Aku baru bangun sama anak-anak, kamu udah rapi beresin semuanya."
"Justru itu yang aku incar. Kalau kalian udah bangun, aku yang ribet buat beres-beres rumah ini."
Setelah mendengar jawaban Abel, senyumanku semakin lebar. Gerakan tanganku di pipi tidak mampu aku hentikan. Bahkan terlihat sekali Abel menikmatinya sambil menarik tubuhku semakin mendekat.
Tidak terlihat sedikitpun kesedihan kemarin yang benar-benar berhasil meninggalkan luka di hatiku terdalam. Yang ada pagi ini adalah sosok Abel Savian, suamiku yang berhasil membuatku jatuh cinta dan meninggalkan kekasih hatiku sebelumnya.
"Kamu ada rekomendasi tempat bagus buat kita liburan sama anak-anak, Ghe?"
"Liburan? Kan besok masuk kantor, Yang. Gimana sih?"
"Iya sih, tapi aku.... "
"Aku tahu tempat terbaik untuk kita liburan bareng anak-anak."
"Dimana?" Abel terlihat antusias ketika aku memotong kalimatnya dengan cepat.
Ya, aku tahu sekali dimana kami dapat menemukan tempat tersebut dan bisa dipakai tanpa harus repot-repot mengeluarkan uang.
"Tenang aja. Sekarang kamu mandi, aku yang siapin semuanya."
Kudorong tubuhnya buru-buru, sekaligus kutitipkan Phyra dan Agil agar dapat dimandikan sekalian olehnya.
Sekali-kali berlaku curang kepada suami tak masalah seharusnya.
***
Di rumah aja. Itu yang kami lakukan saat ini. Setelah tadi Abel mempercayakan semuanya kepadaku, akhirnya jadilah tempat yang paling nyaman untuk kami berbahagia.
Kamar kami yang kasurnya sudah dibongkar agar Agil dan Phyra tidak jatuh ke lantai ketika tidur, sekarang sudah berhasil kuubah seperti tenda dalam perkemahan. Kebetulan sebulan lalu aku membeli kelambu untuk tidur agar Phyra dan Agil tidak digigit nyamuk. Namun karena belum sempat memasangnya di kasur, akhirnya baru hari ini terpasang. Dan bertepatan sekali dengan kegiatan kami yang ingin berbahagia tapi tidak mengeluarkan uang.
Kelambu yang sudah terpasang dan berdiri kokoh, sengaja kuselimuti atasnya dengan kain seprei agar terlihat seperti tenda. Lalu dengan bahagianya kedua anakku masuk ke dalamnya sampai Phyra tertidur karena terlalu lelah bermain bersama Agil.
Benar-benar luar biasa ideku.
Apakah kami bahagia dengan hal sederhana ini?
Tentu saja bahagia. Bahkan Abel menambahkan kebahagiaan kami dengan men- delivery pizza ke rumah agar kami bisa makan enak tanpa perlu keluar-keluar lagi dari tenda.
"Kepikiran aja kamu buat kamar kita jadi kayak gini. Padahal tadi aku niatnya mau ajak kamu sama anak-anak buat staycation di hotel mewah. Tapi karena ide kamu udah luar biasa, jadinya enggak usah keluar deh."
Abel mengakhiri kalimatnya dengan tawa bahagia. Sepotong pizza yang ada di tangannya langsung dia lahap dengan mudah sambil terus tersenyum tidak ada jeda.
Di hadapannya aku hanya bisa mencibir. Posisi kami yang tengah duduk di ujung kasur dengan beralaskan tikar, memang mirip sekali dengan orang-orang pinggiran. Tapi rasanya lebih mengenaskan kami sepertinya.
Karena lihat saja, kami baru bisa bermesraan seperti ini setelah kondisinya tenang. Alias Agil dan Phyra telah tertidur pulas. Jika dua anak kesayangan kami itu bangun, jangan harap kami bisa duduk sedekat ini sekarang.
"Alah alasan aja kamu. Kalau gitu mendingan uangnya kasih ke aku aja. Kita kan enggak jadi staycation."
Abel dengan cepat menggeleng. "Enak aja. Enggak bisa gitu. Uang itu masuk ke bank lagi, karena enggak jadi dipakai buat bahagiain anak istri."
Dasar Abel. Bilang saja memang enggak niat mengeluarkan uang hanya untuk foya-foya.
"Ghe."
"Hm."
"Pernah enggak sih kamu mikir kita bisa sampai sejauh ini setelah kenalan waktu itu?"
Aku meliriknya sejenak. Terlihat sekali dia menunggu jawabanku. Sampai gigitan pizza terakhirnya Abel tahan hanya demi menunggu responku saja.
"Jujur sih enggak ya. Mikir jadi pacarmu aja dulu enggak."
"Tapi kenapa akhirnya kamu luluh sama aku?"
Sengaja kujawab dengan gerakan kedua bahu yang sangat kompak. Sebenarnya sih aku malas menjawab dengan jujur. Takutnya dia baper, kan jadi berabe.
"Jawab yang bener, kenapa akhirnya kamu luluh?" tanya Abel lagi karena sepertinya dia tidak puas dengan jawaban dari kedua bahuku.
"Enggak tahu. Aku juga bingung kenapa aku akhirnya luluh. Mungkin karena niatmu yang tulus kali. Tapi aku sih percaya, semua yang dikerjakan dengan niat tulus pasti bakalan berakhir mulus. Gitu sih. Enggak tahu deh kamu percaya apa enggak."
Terlihat sangat puas dengan jawabanku, dia langsung menggenggam tanganku, sambil mengangguk. "Aku juga percaya, Yang."
Raut wajah kesedihan yang sebelumnya tidak terlihat kembali muncul kala Abel menatapku dengan gumamannya.
Aku sadar, masih ada luka di hati Abel yang tidak semudah itu bisa kusembuhkan. Namun, seperti yang kukatakan tadi, jika niatnya tulus pasti berakhir mulus. Karena aku sangat berharap Abel bahagia dan sembuh dari luka yang dia rasakan kemarin ini.
"Udah deh, jangan sedih gitu."
Kurangkum wajahnya dengan kedua tanganku. Diperlakukan seperti ini Abel hanya diam. Membalas tatapanku sejenak lalu tertawa geli.
"Dulu kamu menggemaskan banget, Yang. Sekarang kok aku lihatnya mengenaskan banget. Apa sesusah itu jadi istri aku?"
Kupukul kuat badannya. Menghindari gerakan tangannya yang begitu cepat dalam menarikku yang ingin pergi, aku malah terjatuh dengan posisi duduk. Sambil meringis, mengusap bagian pantatku, aku menatap Abel dengan galak.
Sumpah bagian ini enggak ada romantis-romantisnya sedikitpun. Padahal niat awalku mau buat Abel bahagia dan melupakan lukanya. Tapi kok rasanya jadi aku yang sengsara ya. Karena perlahan-lahan bagian pantatku panas karena mendarat di lantai dengan gerakan cukup kuat.
"Ih, nyebelin banget kamu."
"Memang aku nyebelin. Tapi aku bahagia. Punya istri yang lebih mikirin luka suaminya dibanding luka dia sendiri."
Tidak aku sangka, ternyata Abel diam-diam memperhatikan hatiku juga. Yang tidak pernah mengeluh sakit, walau lukanya tidak mungkin bisa disembuhkan lagi.
"Karena aku akan sembuh bersamamu, Yang."
Sudah bukan zamannya lagi kami romantisan kayak ABG, Abel malah ketawa dengarnya. Dia terlihat bahagia sekali sampai menangis geli menertawakan istrinya yang aneh ini.
Huh, untung saja aku cinta sama dia. Kalau enggak dia udah kutinggal kabur karena kalau ketawa sukanya merem gitu sih.
Continue..
Whakakaa.. Bahagia dulu dikit, baru deh... Hehehee..
Ada yg pernah lakuin kayak ghena dan Abel. Berusaha membahagiakan org yg disayang, padahal dirinya sendiri terluka..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro