Bab 3. Kampung banget sih
Bapak Abel..
Suaminya Ghena..
Ayahnya Ragil dan Zephyra..
Punya adek namanya Elin..
Udah enggak punya ayah..
Sayang banget sama emaknya..
Punya keluarga yang nyebelin abisssss...
Larutnya malam tidak melarutkan perasaan kesalku kepadamu.
Setelah istirahat hampir 2 jam di rumah ini, niatnya aku dan Abel sebentar ingin berjalan-jalan mengelilingi daerah ini yang kebetulan sekali masih milik dari keluarga besar Abel.
Keadaan sore hari di sini dengan di Jakarta sangat-sangat berbeda jauh. Bahkan Agil saja bahagia sekali bisa bermain dengan beberapa anak yang seusia dengannya.
Udara yang sejuk, terus minim polusi memang menambah kebahagiaan tersendiri bisa menikmati sore hari di tempat seindah dan sesederhana ini.
Jujur saja aku sih betah berlama-lama di sini. Rasanya udara yang masuk di rongga hidungku benar-benar bersih, hingga terasa sejuk sampai di dalam paru-paruku. Apalagi suara burung-burung yang dimiliki oleh pamannya Abel menambah khas jika kini aku memang sedang berada di desa. Lengkap sudah kebahagiaanku di hari weekend ini.
"Ini rumahnya kosong, A. Baru dibangun sama pemiliknya. Kalau Aa ada uang, dibeli aja atuh. Jadi sekeliling ini udah punya keluarga kita semua."
Bi Ida sengaja mengatakannya ketika langkah kaki kami sampai di bagian ujung daerah ini, dan berdiri tepat di depan sebuah bangunan rumah baru yang cukup menarik penglihatan.
Aku yang berdiri di samping Abel hanya menunggu responnya ketika ditanya seperti itu.
"Kejauhan, Bi. Abel sama Ghena kan kerjanya di Jakarta. Kalau beli rumah lagi di sini, nanti siapa yang tempati."
Kali ini Abel masih menjawabnya dengan sangat bijak. Dan aku bersyukur akan hal itu. Setidaknya Abel tidak ikut menyebalkan seperti jawabannya sebelumnya, ketika kami baru tiba tadi.
"Ya dikontrakin. Uangnya kan lumayan. Terus ya, enggak rugi kalau sekarang investasi rumah gitu. Kamu bakalan untung. Uh, kalau bibi mah masih kerja kayak dulu, udah bibi beli deh rumah ini. Biar makin luas daerah tempat tinggal keluarga kita di sini. Jadi kalau pada kumpul semua enggak kebingungan harus tidur di mana."
Berdiri di samping Abel, sambil mendengarkan percakapan ini, aku cukup memahami maksud dari bi Ida. Sedikit pun aku tidak menyalahkan maksud dan tujuan baiknya.
Akan tetapi mbok ya balik lagi. Dilihat-lihat juga kemampuan keponakannya ini. Rumah di Jakarta aja masih dicicil. Baru masuk tahun ke 3, eh bisa-bisanya suruh beli rumah di sini. Memangnya dia pikir Abel punya pohon duit? Kalau ngomong enggak dipikirin dulu ya begini. Seenak jidatnya aja.
"Ghe, gimana? Kalau kalian semua pindah ke sini aja. Bawa aja mama mertuamu juga buat balik ke kampung. Dari pada di Jakarta, sendirian. Mendingan di sini. Rame."
Ditembak dengan pertanyaan tidak terduga, aku cuma bisa meringis.
Pindah? Ke Cianjur?
Duh, enggak ada sejarahnya aku pindah ke tempat begini. Memangnya sih semuanya enak, udaranya, lingkungannya, rumahnya masih sangat luas, enggak kayak rumahku di Jakarta. Tanah cuma 60 meter, sempit banget. Enggak ada halaman, sampai mobil saja parkir nitip di rumah mamaku, karena jelas luas tanahnya 3 kali lipat dari rumahku.
Tapi masalahnya memangnya aku bakalan betah tinggal di sini?
Memangnya aku bisa tahan beradaptasi dengan orang-orangnya?
Mungkin tempat ini jika sesekali dijadikan tujuan buat liburan, oke banget. Cuma ya gitu, kalau dijadikan tempat tinggal selamanya. TIDAK!!
Aku yang selama 27 tahun ini lahir, tinggal dan besar di Jakarta, sepertinya akan sulit untuk pindah ke tempat yang, ah... sulit dijelaskan rasanya.
"Mana mau Ghena pindah ke tempat begini. Sedikit aja hilang sinyal, bisa mewek semalaman."
"Apaan sih, A. Jayus banget."
Aku mencibir candaannya yang sama sekali tidak berbobot.
"Loh, bener, kan? Kamu tuh kalau enggak ada sinyal, uring-uringan, kan? Kayak ada yang hilang gitu rasanya."
Tanpa banyak bicara, kucubit saja bagian perutnya. Sampai dia tertawa geli melihat ekspresiku yang berubah kesal.
"Emang sih anak zaman sekarang tuh hape mulu yang dipegang. Kayak enggak ada kerjaan lain aja yang lebih penting. Kalau bibi lihat tuh, jangankan yang setua Ghena, seusia Agil aja banyak banget yang udah enggak bisa hidup tanpa hape. Heran deh bibi mah."
Panjang kali lebar, dia terus saja menggerutu, mengatakan banyak hal dan menyamaratakannya sesuai apa yang dia pikirkan.
Dalam hati aku terus saja menertawakan pemikiran kolot bibinya Abel ini. Menurutnya yang sok tahu itu, orang yang seharian cuma sibuk main hape, enggak ada kerjaannya. Dan menurut dia juga nih, katanya hape itu enggak penting.
Jujur saja nih, aku rasanya pengen ngomong langsung di depan mukanya.
KAMPUNGAN BANGET SIH.
Zaman sekarang sudah modern. Sudah banyak hal yang bisa dilakukan hanya dengan hape. Dan bisa-bisanya dia mengatakan orang yang sibuk bermain hape saja enggak ada kerjaannya.
Sebelum Abel menjawab, dia melirikku sambil tersenyum. Meskipun sering kali Abel menyebalkan, namun jika dia sudah seperti ini, menatapku dengan penuh makna, perlahan aura kemarahanku reda.
Dia dengan sengaja mengusap-usap bagian punggungku dengan sebelah tangannya yang tidak dia gunakan untuk menggendong Phyra.
"Tapi kalau Ghena, Abel tahu sendiri hal apa aja yang dia lakuin dengan hapenya. Sampai kemarin itu, Abel yang kasihan ngelihat dia. Hapenya standar banget. Padahal banyak hal yang dia lakuin dari hape itu. Jadinya pas ada rezeki dua bulan lalu, Abel ajakin dia buat ganti hape."
Beberapa kalimat yang keluar dari mulut Abel benar-benar semakin menenangkan. Memang bukan pembelaan secara langsung arti dari kalimatnya. Tapi aku percaya, Abel sengaja menjelaskan seperti itu kepada bibinya agar bibinya tahu jika aku bukan golongan manusia yang tadi disebutkan oleh bibi.
"Bagus lah. Tapi emang sih kamera hape-hape zaman sekarang nipu banget. Semua temen-temen bibi pas kerja dulu, jadi cantik banget. Kinclong gitu. Mungkin hapenya sama kayak yang punya Ghena sekarang. Bibi jadi penasaran, pengen coba. Bibi jadi kinclong juga enggak. Atau mungkin hapenya temen-temen bibi jauh lebih mahal dari punya Ghena."
Aku tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Ketika tadi diawal dia menjelek-jelekkan orang yang setiap hari kerjaannya hanya bermain dengan hape. Tapi lihat kini, dengan tidak tahu malu dia malah berbicara seperti itu. Dan ingin meminjam hapeku demi mencari tahu apakah hapeku sama dengan milik teman-temannya.
Idih, enggak tahu malu sekali dia. Dasar kampung!
"Eh, A. Kamu nginep di sini, kan? Enak nih nanti malam bisa ngadongeng sakeluarga."
Dengan logat sunda yang kentel macam susu kental manis, bi Ida kembali bertanya hal yang sulit kami jawab.
Tuh buktinya lihat saja, Abel tidak langsung menjawab. Dia memberikan Phyra padaku, agar aku menggendongnya, kemudian dia sengaja memintaku jalan terlebih dahulu untuk kembali ke rumah bi Wis.
"Belum tahu, Bi. Lihat nanti deh. Abel mau keliling dulu bentar, udah lama enggak ke Cianjur. Pengen cari suasana malamnya dulu."
"Suasana malam? Emang mau ke mana? Makan di luar ya? Udah lama juga ya kita sekeluarga enggak makan di luar. Dulu mah waktu masih ada almarhum papamu, sering banget kita makan di luar. Kalau kalian datang dari Jakarta, langsung deh ke tempat makan seafood itu loh, A. Yang deket pasar. Duh bibi jadi kangen rasanya. Yuk, malam ini kita ke sana aja gimana? Bareng-bareng sekalian sama yang lain. Pasti seru."
Disaat bibinya mengatakan kalimat panjang lebar, bisa-bisanya Abel hanya tersenyum sambil melirikku penuh arti.
Entah kali ini rasanya otakku buntu mengerti maksud dari lirikan Abel. Namun yang jelas Abel juga risih dengan sikap bibinya ini.
Continue..
Kuingin sungkem..
Hahahaa.. Nulis begini dosa enggak sih..
Yah pokoknya gitu lah..
No komen soal aslinya kayak apa.. 🤣🤣🤣🤣
Asli, jahat banget aku. Tapi inilah faktanya.. Gimana dong..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro