Bab 20. Suami Sempurna?
Halooo..
Hahaha.. 2 hari gak update..
Kmrn aku tuh lemes bgt. Tensi rendah bro..
90/70
Keleyengan akikah..
Makan daging kambing, gak suka.
Jadinya terpaksa harus konsumsi vitamin penambah darah. Makan ati ayam. Pokoknya makan makanan yang bisa menambah tekanan darah.
Jadi mohon maaf kalau lama update..
Oh iyaa.. Hayoo..
Yang belum subscribe youtube ku siapa?
Atau yang belum follow IG ku.
Namanya sama kok.
Shisakatya
Ditunggu yak..
Yang selalu kamu tanggapi dengan tawa, bagiku merupakan sebuah usaha.
Yeah, di sinilah kami. Ya, kami. Aku, Abel, bi Ida, serta kedua anakku yang sedang menunggu janji untuk bertemu mertua Elin malam ini.
Aku yang sengaja memisahkan diri, untuk menikmati makan malam bersama Agil dan Phyra, hanya memantau dari kejauhan gerak gerik Abel yang serius menanggapi setiap kata yang bi Ida katakan.
Hayo, nyinyiran apalagi yang diberikan bibi tercinta kami itu. Apakah harus dia mengomentari semua hal dalam kehidupan kami.
Aneh, benar-benar aneh. Mungkin karena dalam hidupnya tidak ada orang khusus yang memerhatikan, sehingga dia menyibukkan diri untuk khusus memerhatikan orang lain. Sangat terlihat dia tidak memiliki aktivitas lain diluar kepoin orang. Luar biasa memang bibiku itu.
Ketika aku masih sibuk menyuapi Phyra, orang yang ditunggu-tunggu Abel dan bi Ida akhirnya datang juga. Mereka saling berjabat, kemudian langsung memasang wajah serius dengan mertua Elin yang membuka pembicaraan.
Dari posisiku kini memang tidak terlalu terdengar apa yang mereka bicarakan kini. Akan tetapi hanya dari ekspresinya saja, aku paham jika masalah ini terlalu berat untuk diputuskan akhir seperti apa yang terbaik bagi semuanya.
Apalagi yang kutahu dari pihak keluarga Elin, seperti mama mertuaku, Abel, dan bi Ida, sangat tidak setuju Elin bercerai dengan suaminya. Yah, walau sudah terjadi kesalahan fatal yang berakhir dengan KDRT, namun seharusnya semua kesalahan bisa dibicarakan baik-baik.
Karena sejujurnya di dunia ini tidak ada manusia yang ingin menikah untuk bercerai akhirnya.
Begitu pula seharusnya yang Elin rasakan. Tapi entah kenapa sampai kini, memang Elin yang berharap atas kejadian ini, dia bisa berpisah dengan suaminya. Hm, mencurigakan sekali rasanya.
"Iya, Pak. Kami juga paham. Kami di sini tidak membela Elin atau suaminya. Tapi kami ingin berdiskusi bagaimana baiknya. Karena sejujurnya adik saya, Elin, terus meminta untuk bercerai. Padahal kondisinya sedang hamil. Apakah tidak bisa semuanya dibicarakan dulu."
Kudengar suara Abel mulai meninggi, ekspresinya sangat serius, seperti keseriusannya ketika ingin menikahi dulu.
"Yah, kalau bercerai keputusan terbaik, kami bisa apalagi? Lagi pula, mereka berdua yang akan menjalankan hubungan ini. Kita sebagai orangtua setelah menasihati, hanya bisa mendoakan saja. Semoga keputusan yang mereka ambil tidak membuat mereka terluka akhirnya."
Abel menggeleng tidak puas ketika tanggapan dari mertua Elin terkesan datar, dan sama sekali tidak berharap mempertahankan Elin sebagai menantu mereka.
Dengan kondisi yang semakin tidak terkendali, aku mulai mendekat, setelah meminta Agil menjaga adiknya sebentar, kedua kakiku langsung sampai di samping Abel.
Kuusap lembut punggungnya sambil tersenyum ramah kepada kedua mertua Elin.
"Gimana?" Perlahan kutanya keputusan akhirnya kepada Abel, takut-takut pembicaraan yang sejak tadi kudengar ternyata salah.
"Mereka pasrah. Kalau memang berakhir cerai, ya cerai saja."
Hanya berbekal jawaban dari Abel, aku mencoba ikut terlibat dalam masalah ini. Sengaja kutarik kursi di samping Abel, kemudian kucoba untuk memperkenalkan diri dulu sebelum berbicara panjang lebar.
Yah, beruntungnya aku pernah bekerja sebagai sales dulu selama kurang lebih 3 tahun. Karena di sini, kemampuan berbicaraku, bernegosiasi, dan kemampuan memposisikan diri sebagai lawan bicara, dapat sangat berguna.
"Malam Pak, Bu. Saya Ghena, istri dari Abel. Kebetulan Elin adik ipar saya. Kalau diperbolehkan memberikan masukan sedikit tentang masalah ini, apakah tidak sebaiknya kita semua mempertemukan kembali putra kalian dengan Elin, istrinya. Kita dudukan mereka bersama-sama. Dan kalau bisa, bapak dan ibu juga ikut di sana. Mendengarkan penjelasan dari mereka mengenai awal mula kasus ini. Karena seperti yang saya dengar dari cerita Elin, katanya dia memang salah, berbalas pesan dengan laki-laki lain. Tapi saya pikir jika isi pesannya masih dalam batas wajar, kekerasan tersebut tidak akan terjadi."
"Tapi kan, sekali lagi semua itu adalah pembelaan yang Elin katakan kepada kami, dia bilang suaminya terlalu cemburuan. Sampai hal sepele seperti itu dibesar-besarkan, hingga KDRT itu terjadi. Jujur saja, sebagai kakaknya Elin, saya tidak suka adik saya dikasari. Tapi kembali lagi, saya di sini sama sekali tidak membela Elin. Saya yakin Elin pun salah. Kenapa saya katakan demikian? Karena semua kemarahan yang terjadi pasti ada alasannya. Tidak ada orang yang marah tiba-tiba tanpa sebab. Dan kemungkinan besar, Elin yang menimbulkan alasan itu, sampai suaminya tega memukul tubuhnya hingga memar."
"Lalu kalau bapak ibu tanya, siapa yang salah di sini? Saya katakan dua-duanya salah. Dua-duanya harus mengakui kesalahannya. Nah, itulah kenapa saya minta kita semua kembali pertemukan putra bapak dengan Elin, adik ipar saya. Biar selesai masalahnya. Selesai masalah bukan berarti harus bercerai. Tidak. Tapi selesai masalah adalah kondisi dimana kedua pihak tidak dirugikan sedikitpun."
Sekian panjang penjelasanku, ternyata berbuah manis. Kedua mertua Elin setuju membawa anak mereka untuk bertemu Elin lagi, besok.
Dan itu berarti....
"Malam ini kita nginep di rumah mama Bintaro ya, karena aku masih pengen kamu bicara sama Elin dulu, sebelum Elin ditemuin lagi sama suaminya."
Abel sengaja berbisik di telingaku. Mengatakan permintaannya yang kemarin ini dia katakan.
"Kami setuju sama ibu Ghena, memang harus dibicarakan semuanya secara jelas. Apalagi dalam pikiran kami, anak kami sudah diselingkuhi oleh istrinya sendiri. Jadinya kami merasa KDRT itu cukup membalas rasa sakit hati kami."
Tuh, kan. Benar saja. Pasti mertuanya Elin berpikir hal yang sama dengan yang kupikirkan.
"Memang harus dibicarakan secara jelas, Pak, Bu. Karena saya tidak ingin timbul penyesalan nantinya."
"Besok kami coba bawa Tamam ke sana."
Kesepakatan ini berakhir baik. Tapi jika memang setelah dipertemukan, keputusan yang diambil tetap bercerai, setidaknya tidak ada penyesalan nantinya karena tidak bisa sama-sama memberikan penjelasan.
Setelah kedua mertua Elin pamit pergi, bi Ida terlihat tersenyum-senyum padaku.
"Anak muda zaman sekarang pada jago ngomong ya." Bi Ida kembali menyinyir dengan ciri khas tawanya yang benar-benar mengejekku.
"Bukan jago ngomong, bi. Emang dulu kerjaan Ghena ngomong terus. Promosiin barang. Kan dulu Ghena sales."
Aku menjawab pertanyaan bi Ida sambil memanggil Agil dan Phyra untuk mendekat kepadaku.
"Yah jangan sampai aja, banyak bicara enggak ada isinya. Kayak pribahasa ituloh. Dulu bibi belajar pribahasanya. Tapi lupa."
Aku hanya tersenyum-senyum di samping Abel sambil memangku Phyra. Suamiku itu sibuk mengetikkan pesan kepada mama tercintanya mengenai hasil pertemuan kami dengan mertua Elin malam ini.
"Tenang aja, Bi. Ghena mah udah pernah berisi. Ini buktinya. Isi Agil sama Phyra. Jadi enggak mungkin kalau banyak ngomong Ghena enggak berisi. Lagi pula, untung kan Ghena ngomong panjang lebar. Mertua Elin jadi setuju buat adain satu pertemuan lagi. Karena jujur aja, masalah ini enggak semudah itu buat diputuskan secara sepihak. Kayak keputusan cerai yang Elin mau. Memangnya jadi janda enak banget apa."
"Hust! Ngomongnya sembarangan aja. Makanya bibi bilang kan ke Abel, suruh nasihatin Elin lagi. Jangan asal cerai aja."
Aku cuma tersenyum, sambil menyetujui kata-kata bi Ida. Tumben sekali isi pikirannya benar. Biasanya selalu menyimpang dari jalan yang benar.
Bagus deh, setidaknya kalau begini terus, bi Ida bisa keluar dari list musuh-musuhku.
"Zaman lagi sulit begini, bisa-bisanya tuh anak mikirin buat cerai. Memangnya dia pikir mudah cari suami yang sempurna. Sempurna tampangnya, dan sempurna juga kantongnya. Apalagi sebagai perempuan wajib mencari yang seperti itu. Karena kita hidup di dunia enggak modal cinta aja. Harus usaha juga. Usaha buat nikah sama laki-laki yang bibi sebut tadi. Eh, si Elin, giliran udah dapat yang sempurna, malah dilepasin gitu aja. Emang keterlaluan tuh anak."
Di samping Abel, aku sengaja menepuk-nepuk pahanya, gara Abel dengar semua kalimat yang bi Ida katakan.
Untung saja dulu aku memilih Abel menjadi suamiku bukan karena dia jauh lebih mapan. Tapi karena memang dialah laki-laki yang paling bisa memahamiku.
Karena jika boleh kubandingkan, mantanku ketika sekolah dulu jauh lebih segala-galanya dari Abel. Kekayaannya, tampangnya, kehidupannya. Tapi sayang, yang kaya tidak menjamin bisa memahami kita sepenuhnya. Itulah kenapa Abel berhasil memenangkan hatiku.
"Aku tahu," bisik Abel saat tepukan dipahanya kulakukan berulang kali.
Yah, dia pasti selalu tahu apa yang kumaksud tanpa perlu kukatakan.
Continue..
Uwooo.. Uwoo..
Rasanya pengen tak tag bapak Abel yang terhormat... 🤣🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro