Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 18. Alamak, dia lagi

Ciee...
Ciee..
Yang udah tahu akun wattpad Abel.
Udah pada follow belum?
Jgn di follow deh, aku aja gak follow dia..🤣🤣🤣🤣


Sering kali orang menganggap kata maaf adalah obat mujarab dari sakit hati. Padahal tidak.

Suara ketukan pintu yang maha dasyat membuatku dengan susah payah membuka kedua mata ini dihari libur. Padahal sejak jum'at malam kemarin, aku dan Abel, serta Agil, yang kini sudah kami ajak berdiskusi, sama-sama membuat kesepakatan akan bangun siang dihari libur seperti ini. Dan mereka semua menyetujui kesepakatan itu namun dengan satu syarat, jika ada salah satu dari kami sudah bangun lebih dulu, tidak boleh curang dengan cara membangunkan yang lainnya.

Tapi masalahnya pagi ini bukan dari kami bertiga yang bangun lebih dulu. Bukan juga Phyra yang merusak kesepakatan ini. Karena bayiku itu masih terasa erat memeluk tubuhku ini dengan kepala yang bersandar pada dadaku. Terus masalahnya siapa yang melakukannya?

"Hm.... "

"Hm.... "

Kudengar Abel mengigau mengikuti irama ketukan yang semakin lama semakin kencang terdengar. Karena tidak ingin mengalah, aku sengaja membangunkan Abel, menyenggol tubuhnya dengan ujung kakiku.

Maklum saja, posisi tidur kami terpisahkan oleh dua anak yang posisi tidurnya sudah tidak berbentuk lagi.

"Yang. Siapa sih tuh yang ketuk pintu. Kamu lihat dong."

Masih setengah terpejam, aku sengaja menepuk punggung Abel, hingga membuatnya berbalik, melirikku dengan mata yang setengah terbuka.

Dengan kondisi kamar yang masih gelap, hanya lampu nyamuk yang membuatnya sedikit terang, Abel perlahan bangun. Menggaruk sejenak bagian pinggangnya, dia berjalan menghidupkan lampu kamar, melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi.

"Mana? Enggak ada suaranya?"

Abel berucap, sambil duduk di belakang tubuhku. Aku tahu dia sedang mengumpulkan nyawanya terlebih dahulu, sambil mendengarkan dengan seksama suara ketukan itu.

Hingga akhirnya bukan suara ketukan lagi yang kami dengar, tapi suara keras, yang begitu familiar, memanggil nama Abel berulang kali.

Setengah mata Abel yang awalnya masih terpejam, terbuka dengan sempurna. Kurasa dia tahu suara siapa itu. Karena dari gerak gerik Abel membuka pintu kamar dengan terburu-buru, membuat aku semakin yakin jika suara itu berasal dari orang penting yang dia kenal.

"Loh, bi Ida."

Suara setengah kaget dari Abel menghentikan aksi tidurku hari ini. Kesepakatan yang kami buat semalam hilang sudah. Dan kini aku harus bersiap menghadapi semuanya.

***

Kebiasaan tidurku yang jarang sekali memakai BH, walau kini Phyra sudah tidak menyusu padaku lagi, membuatku harus cepat-cepat mencari jaket atau apapun yang bisa menutupi daster payungku ini.

Setelah meletakkan beberapa bantal di semua sisi Phyra, lalu mengikat rambut asal, aku mencoba keluar. Mencari tahu jawaban dari suara yang kudengar.

Dan ternyata benar. Ada bi Ida di ruang tamuku dengan banyak barang dan oleh-oleh yang dia bawa. Senyumannya terlihat kaget karena melihat kondisiku yang masih lusuh, tapi sepertinya dia pintar sekali memainkan ekpsresi, sampai-sampai sekarang senyuman teramat indah sudah tergambar di bibirnya.

"Bi Ida. Sama siapa ke sini?"

Aku memaksakan senyum sembari mencium punggung tangannya. Kurapatkan erat-erat jaket Abel yang kupakai untuk menutupi pakaianku.

Meskipun bi Ida adalah perempuan. Namun tetap saja risih rasanya ketika manik matanya seperti menelanjangiku saat ini.

"Tadi bareng Winda sama suaminya. Suaminya senin mau ada kerjaan di Jakarta. Terus bibi pengen coba nginep di rumah baru Abel. Eh, tahu-tahunya kalian baru pada bangun."

Bingung harus menunjukkan ekspresi apa saat ini, aku hanya melirik suamiku yang tampilannya benar-benar kusut.

Beberapa saat aku tidak menyadari jawaban dari bi Ida tentang acara inap menginap. Dan ternyata saat pikiranku kembali terhubung, aku tahu banyak hal yang harus kulakukan kini.

Pertama, jika bi Ida menginap di sini, kamar belakang yang kosong, sudah penuh diiisi dengan banyak barang yang belum atau tidak terpakai lagi. Jadi sepertinya aku harus merapikan barang-barang itu.

Yang kedua, kalau aku merapikan barang-barang itu, berarti hari liburku tidak akan ada lagi. Dan aku harus menunggu libur minggu depan.

Dan yang terakhir, stok sabar yang sebelumnya sudah kupakai ketika menginap di hotel saat pulang kampung kemarin sepertinya sudah habis. Lalu aku harus bagaimana menghadapi salah satu musuhku ini?

"Bi Ida mau nginep di sini?"

"Iya? Kenapa? Ganggu kalian."

"Enggak, Bi. Cuma.... " Tuh kan Abel enggak berani melanjutkan jawabannya. Dari lirikannya ke arahku semacam sirine meminta bantuan.

"Masalahnya gini, Bi. Kamar belakang itu kan belum jadi. Jadinya kamar di rumah ini cuma satu."

Kukatakan saja sejujurnya. Tanpa perlu ada yang ditutupi.

"Terus Agil tidur sama kalian? Ya ampun, itu anak kan udah gede. Kok enggak dipisahin kamarnya? Gimana sih kamu."

Loh kok. Yang ditodong cuma aku. Kan bi Ida harusnya bisa menodong Abel.

"Itu.... "

"Belum sempat, Bi. Abel belum sempat bongkar kamar belakang. Dan kebetulan Agil juga masih takut buat tidur sendiri. Jadinya ya terpaksa masih kami jadikan satu kamar."

Tuh, dengarkan jawaban dari keponakanmu sendiri. Jangan todong aku lagi makanya.

"Keterlaluan kalian."

"Tapi kalau bibi nginap di sini, nanti biar Abel yang ngalah. Kamar di depan juga besar, bisa ditambahkan kasur lantai juga. Nanti biar Abel yang tidur di kasur lantai, bibi sama Ghena dan anak-anak tidur di kasur aja."

Kali ini aku bingung harus mengatakan apa atas keputusan sepihak dari Abel. Bisa-bisanya dia melakukan semuanya hanya demi bibi gilanya ini.

"Sebenarnya bibi mau nginep di rumah mamamu, tapi sebelum ke sana bibi mau ngomong serius sama Abel. Jadinya bibi ke sini dulu. Sebelum ketemu mamamu."

Ngomong serius?

Soal Elin, kah?

"Iya, enggak papa, Bi. Bibi bisa kok nginep di sini, enggak perlu sungkan."

Sambil memasang senyum terbaik, aku sengaja menambahkan jawaban dari keputusan Abel tadi. Biar saja. Biar dia tahu aku juga bisa menjadi menantu yang berpura-pura baik agar bisa disayang oleh keluarga suami.

Beberapa saat kami bertiga saling tatap, akhirnya bibi yang lebih dulu mengalah. Dia memberikan oleh-olehnya kepadaku agar bisa disimpan dengan baik.

Yah, walaupun hal ini dia buat sengaja agar ada waktu dirinya berbicara dengan Abel berdua saja, tapi aku yakin nantinya Abel pun akan menceritakan semuanya kepadaku.

"Bibi benar-benar bingung kelakuan anak zaman sekarang. Kalau enggak nikah muda dengan alasan ta'aruf, atau nikah buru-buru karena sudah hamil diluar nikah, ada saja kasusnya yang kayak Elin. Terpaksa cerai karena KDRT. Kayaknya dulu enggak ada deh hal-hal seperti ini dalam rumah tangga. Semuanya adem ayem. Tuh buktinya papa mamamu, cuma maut yang bisa memisahkan mereka."

Aku yang mendengar suara bibi dari arah dapur, rasanya cuma bisa mencibir.

Bukannya aku sok lebih paham darinya. Tapi orang yang belum menikah, dan tidak ada pengalaman apapun dalam menjalani rumah tangga, hanya tahu cover luarnya saja yang terjadi dalam pernikahan. Mereka pasti bisa dengan bebas berkomentar seperti bi Ida, seakan tahu segalanya. Padahal menyatukan dua orang yang berbeda dalam pernikahan bukanlah sesuatu hal yang mudah.

Kalau tidak percaya, coba saja buktikan sendiri.

Kalau tidak punya stok sabar yang banyak, kalau tidak mampu menurunkan emosi demi kebahagiaan bersama, kalau kurangnya ilmu dalam memahami kondisi pasangan, yang ada mahligai pernikahan akan karam diterjang ombak.

Itu yang kuketahui dari perjalanan pernikahanku yang baru beranjak 7 tahun ini.

Continue..
Bener enggak???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro