Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17. Permintaan sulit

Hayoo..
Siapa yang belum follow instagram aku?

Yuk di follow.
Nama IGku : Shisakatya


Entah kenapa sekarang ini banyak orang lain yang berlagak tersakiti padahal aku yang merasakan sakit ini.

Tumben sekali hari ini Abel tidak lembur, dan tidak ke rumah mamanya dulu setelah pulang kerja. Tepat pukul 5 sore, Abel sudah menghubungiku, memintaku untuk menunggu, karena dia yang akan menjemput aku langsung ke tempat kerja.

Bagiku kejadian seperti ini cukup langka. Apalagi saat ada masalah dalam keluarga Abel. Biasanya suamiku itu lebih kepada fokus menyelesaikan masalah tersebut, sampai kadang melupakan anak istrinya.

Memang sih kelihatan salah perlakuan Abel seperti itu. Namun aku yakin Abel juga ingin segera masalah keluarganya itu selesai, agar dia bisa tenang kembali menjalani kehidupan bersama anak-anak dan juga aku, istrinya.

"Ghe, tumben belum balik?"

Teman kantorku sudah bertanya saat pukul 5.30 sore, aku belum beranjak dari meja kerja.

"Belum. Nunggu Abel jemput."

"Oh, kirain lembur. Disuruh si bos." Dia sengaja menggodaku sambil melihat bosku itu berjalan cepat untuk pulang dengan membawa banyak tas.

Yah aku tahu kenapa bosku itu terlihat terburu-buru, karena dia pun tidak ingin berlama-lama berada di kantor dengan statusnya sebagai seorang ibu dua anak, dan salah satu anaknya dikarunia hal yang spesial.

Tapi masalahnya nih. Masalah terpentingnya, kalau bosku itu tidak buru-buru pulang, padahal waktu sudah lewat dari jam 5 sore, bisa-bisanya big boss, atau atasannya lagi akan menghentikan langkahnya untuk pulang. Karena itulah kenapa setiap harinya bosku selalu pulang tepat waktu.

Memang sih, terkadang hal ini sangat menguntungkan bagiku. Aku juga bisa langsung pulang saat bosku sudah melarikan diri dari kantor ini. Tapi sayangnya kadang bosku yang perempuan itu cukup licik. Dia sengaja menitipkan aku banyak kerjaan, sedangkan dia pamit pulang.

Nyebelin, kan?

Yah, begitulah memang kehidupan perkantoran. Kalau masih berada diposisi bawah, siap-siap saja ditindas banyak hal. Kurang lebih sama seperti layaknya truk yang mengangkut ayam. Posisiku kini berada di bagian paling bawah. Yang setiap saat harus siap menerima kotoran hangat dari ayam-ayam di atasku.

"Ghe, gue balik duluan ya."

Aku mengangguk, sambil mengucapkan hati-hati ketika teman kerjaku memutuskan pulang lebih dulu. Dia juga termasuk kategori magem tangguh. Kenapa aku katakan demikian? Karena setiap harinya dia berangkat ke kantor dengan mengendarai motor, walaupun kini kondisinya tengah hamil muda.

Yah, seperti inilah kehidupan para istri tangguh zaman sekarang. Sering kali disepelakan sebelah mata karena tidak bisa memasak, tapi jarang sekali diapresiasikan ketangguhan mereka dibidang lainnya.

***

"Tumben kamu udah pulang? Enggak lembur?"

Aku bertanya kepada Abel yang sedang menyerahkan sebuah helm kepadaku. Wajahnya terlihat cukup lelah, walaupun tertutup masker sebagian.

Mungkin akhir-akhir ini kelelahannya bertambah. Tidak hanya fisik, tapi pikiran juga. Dan aku rasanya merasa kasihan melihat suamiku sendiri. Terkadang aku yang tidak sabaran membuat Abel harus mengeluarkan sisa-sisa kesabarannya untuk menghadapi aku.

"Iya. Bosku lagi keluar kota. Jadinya aku bisa pulang."

Sebelah alisku terangkat. Tanda-tanda bahaya sepertinya. Dulu, waktu pertama-tama Abel sering ditugaskan keluar kota karena bosnya tidak mampu menjalani tugas luar kota tersebut dengan baik dan benar. Lalu sekarang, apa kejadian seperti itu akan terjadi lagi?

"Kamu enggak akan tugas luar kota lagi, kan?"

Mata Abel memancarkan senyum. Dia tahu aku khawatir kejadian itu terulang lagi setelah beberapa tahun ini posisi Abel sudah jauh lebih aman.

"Enggak. Aku udah bukan dibagian utama proyek lagi, kan."

Sedikit bisa bernapas lega, aku langsung naik ke atas motor matic yang Abel kendarai. Lalu memegang bagian jaketnya erat.

"Makan dulu yuk. Aku tahu kamu pasti capek kalau mau masak nanti. Kita makan dulu, sebelum jemput anak-anak."

Tersenyum malu-malu, kok aku jadi flashback masa-masa pacaran dulu.

"Mau makan apa?"

"Udah lama enggak makan mie."

"Asik."

Responku cukup cepat ketika Abel mengatakan mie. Maklum saja, kwetiau yang dijual di sana benar-benar enak. Dan aku rindu rasa enak itu.

Selama perjalanan menuju ke sana, banyak sekali hal yang Abel ceritakan. Mulai dari mertuanya Elin yang menghubungi Abel, dan mengatakan kesetujuannya agar anak mereka bercerai dengan Elin. Sampai tanggapan mamanya Abel yang merasa sedih karena telah salah memilihkan suami untuk putri kesayangannya.

"Terus keputusanmu gimana?" Aku kembali bertanya kepada Abel mengenai keputusan yang akan dia ambil atas masalah ini. Karena pastinya keputusan Abel akan berdampak juga untuk masa depanku.

Kok masa depanku?

Ya jelas aku dong. Kalau Abel terus-terusan membantu Elin, bisa-bisa tekor juga keuangan di rumah tanggaku.

"Kalau memang enggak bisa diselamatkan, ya terpaksa cerai. Tapi masalahnya.... "

"Masalah apa?"

Kami saling membalas tatapan dari kaca spion, sebagai media komunikasi kami ketika sedang berkendara. Dari tatapannya saja, perasaanku mendadak tidak enak karena Abel seperti sedang menguliti diriku hidup-hidup.

"Masalahnya aku pengen kamu bantu juga. Siapa tahu Elin bisa cerita sama kamu tentang kejadian yang sebenarnya?"

"AKU? KAMU ENGGAK NGIGO, KAN?"

Tuh, kan. Belum apa-apa aku sudah ngegas duluan. Ini buruknya sikapku. Saat ada kondisi yang tidak kusukai, pasti aku sudah melindungi diriku dari hal-hal yang tidak kusukai.

"Kamu kan sama Elin seumuran. Beda setahun doang. Siapa tahu kalian bisa nyambung. Mama soalnya mikir kayak gitu juga. Elin tuh enggak mau cerita ke mama, apalagi ke aku. Dan satu-satunya harapan kami cuma kamu, Ghe. Kamu pasti bisa buat Elin cerita semuanya."

Kok aneh? Tumben sekali mama mertuaku meminta aku agar bisa berkomunikasi dengan Elin terkait masalah ini. Tapi masalahnya? Apa benar Elin akan menceritakannya padaku?

Dinyinyirin dia sih, iya. Tapi kalau cerita aku sih kurang yakin.

"Kamu mau kan, Ghe?"

Abel masih menunggu jawabanku sampai kami tiba di tempat makan pinggir jalan yang sudah menjadi langganan kami sejak pacaran dulu.

Tempat ini yang awalnya hanya kecil, kini menjadi jauh lebih besar karena memang rasanya bukan kaleng-kaleng.

"Aku enggak janji ya. Tapi aku mau coba kalau memang membantu."

"Kamu enggak terpaksa, kan?" Sekali lagi Abel menatapku penuh harapan.

Aku sekilas tersenyum. Menyerahkan helmku kepada Abel, sebelum mengusap lengannya perlahan.

"Kadang berdamai dengan musuh adalah keputusan yang terbaik. Bukan hanya terbaik buat aku sendiri, tapi untuk orang-orang yang kusayang."

Kok bisa-bisanya Abel malah tertawa mendengar jawabanku barusan.

"Kok malah ketawa?"

"Jadi kamu anggap Elin musuh?"

"Iya. Salah? Enggak, kan? Kamu tahu sendiri semua hal yang pernah kuceritain tentang dia."

"Tapi masalahnya kamu nikah sama aku, kakak laki-laki dari musuhmu."

"Kamu pernah nonton film, Yang? Aku enggak sebut judulnya, tapi disemua film perang atau film-film beranteman gitu, tempat teraman untuk menetap ya di sekitar musuhmu. Kayak aku gini. Aku enggak bilang menjadi istrimu kehidupanku menjadi aman. Tapi setidaknya aku tahu, menjadi istrimu, berada di dalam pengawasanmu, aku yakin semuanya bisa terkendalikan dengan baik. Entah itu luka karena musuh-musuhku. Atau bahagia yang kamu berikan."

Mengakhiri kalimatku, Abel malah tertawa puas sekali mendengar jawaban yang kuberikan dengan penuh keseriusan.

"Kok malah ketawa sih? Nyebelin banget."

"Aku bahagia kamu menyebut orang-orang di sekitarku sebagai musuh. Karena...."

"Karena apa?"

"Pikir sendiri."

"Idih, kok gitu. Jawab cepet."

Aku mengatakan dengan nada suara yang cukup tinggi, sampai dilihat oleh beberapa orang yang ada di sana.

"Yang, jawab."

Mencoba merengek kepada Abel, akhirnya dia mengatakannya juga. Dia pasti tahu aku tidak suka dibuat penasaran.

"Karena sebagai manusia normal, biasanya orang yang dibenci, atau orang yang dianggap sebagai musuh, lebih sering kita perhatikan. Paham, kan?"

Aku mengangguk refleks. Benar juga yang Abel katakan, sejak kejadian Elin terbongkar, aku tidak henti-hentinya mengorek informasi dari Abel terkait masalah ini. Sampai aku penasaran sekali, bisa-bisanya Elin menerima KDRT hanya karena membalas chat dari teman laki-lakinya.

"Ya, kamu benar. Tanpa disadari, musuh adalah orang yang selalu kita perhatikan."

Continue..
Uwuuuu..
Bener enggak apa yang Abel bilang?
Coba bapak Abel jawab sendiri. Bener enggak?
#colekdikit

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro